Soal Core Business, Pilihlah Industri Masa Depan

Menteri Pariwisata Arief Yahya
Sumber :

VIVA.co.id – Futurolog Alvin Toffler yang ngeboom dengan buku Future Shock, The Third Wave, dan Powershift melihat masa depan seolah sedang berada di depan layar film saja. Jelas, detail, deskriptif, masuk nalar, dan sulit terbantahkan. Maka, ketika pria kelahiran Brooklyne, New York, AS ini meluncurkan karya-karyanya yang mengupas mengenai revolusi digital, revolusi komunikasi, dan singularitas teknologi, tidak banyak pertentangan. Tidak ada yang menganggapnya seperti sedang mimpi di siang bolong.

Pengemudi Bus Wisata dan Umum Bakal Diawasi Ketat

“Saya juga sudah baca buku Gelombang Ketiga atau The Third Wave-nya Alvin Toffler, yang menyebut Gelombang Peradaban Manusia dibagi tiga. Gelombang I, Era Agruculture antara 800 SM sampai 1.500 M, era pertanian, perkebunan dan teknologi pertanian. Gelombang II, Era Manufacture (1.500–1970), masyarakat industri, lahirnya pabrik-pabrik, lahirnya imperialism dan kolonialisme.  Gelombang III, Era Teknologi Informasi (1970-2000), yang saat ini sudah berada di sini,” Menteri Pariwisata RI kata Arief Yahya.

Bagaimana dengan saat ini? Abad ke-21 dan ke depan? Arief Yahya menyebut Era Creative Industri, atau Creative Economy, atau bahasa gaulnya ekonomi kreatif. Pariwisata berada di sana, masuk dalam kategori industri kreatif.

Resmikan Bendungan Ameroro, Jokowi Sebut Bisa Cegah Krisis Air hingga Genjot Pariwisata

“Alvin Toffler sebenarnya sudah memprediksi, di akhir gelombang III itu ada era Industri Rekreasi (Hospitality, Recreation, Entertainmen). Ke depan, industri pariwisata yang didukung oleh industri kreatif yang sudah memiliki commercial value, akan menjadi primadona,” ujar Arief yang asli Banyuwangi ini.

Ini connect dengan kegelisahan Presiden Joko Widodo setelah menjalani kunjungan kerja (kunker) dalam rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 dan ASEAN ke Tiongkok dan Laos, lalu. Presiden pun 9 September 2016 mengumpulkan para menteri untuk membahas hasil kunkernya itu. Melalui link ini, Presiden Jokowi ingin Indonesia segera menemukan core economy, atau core business-nya buat negara. Klik di sini .

PKS Minta Kemenhub Gencarkan Ramp Check dan Sosialisasi Aplikasi 'MitraDarat' Cek Kelaikan Bus

Apa keunggulan terkuat Indonesia, dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia? Industri apa yang bisa bersaing dan memenangi pertarungan di era global saat ini? Industri apa yang harus didukung oleh semua lini dan akan menjadi andalan Indonesia di masa depan? Dengan memiliki core business itu, konsentrasi presiden pun tidak terlalu melebar, bisa lebih fokus untuk menggerakkan ekonomi publik.

Data perolehan devisa Indonesia menurut lapangan usaha, jenis komoditas Minyak dan Gas Bumi cenderung turun drastis. Tahun 2013 menghasilkan USD32,6 miliar. Tahun 2014 turun menjadi USD30,3 miliar. Dan tahun 2015 turun lagi drastis, USD18,9 miliar. Pertama, harga minyak dunia juga terjun bebas, dari USD100 per barel, menjadi USD60, turun lagi USD50, dan terakhir USD36.

“Maka sudah bisa ditebak, penyebabnya adalah harga jual jatuh, dan target lifting sulit dikejar,” ujar Arief Yahya.
Begitu pun komoditas Batu Bara, atau Coal. Tahun 2013 masih di angka USD24,5 miliar, tahun 2014 turun menjadi USD20,8 miliar. Tahun 2015, makin drastis, tinggal USD16,3 miliar saja. Begitu pun Minyak Kelapa Sawit, dari USD15,8 miliar di tahun 2013, sempat naik di USD17 miliar, lalu turun lagi di 2015 pada posisi angka USD15 miliar.

“Hanya pariwisata yang naik, dari USD10 miliar di 2013, lalu naik USD11 miliar di 2014, dan naik lagi USD12,6 miliar di 2015. Dan cenderung naik, karena industri pariwisata itu sustainable,” ungkap Menpar.

Masih ada komoditas Top 10 lain, yang semuanya turun. Sebut saja, karet olahan, pakaian jadi, alat listrik, makanan olahan, tekstil, kertas dan barang dari kertas, kayu olahan dan bahan kiia. Performance-nya, semua sedang lesu dan turun.

“Lagi-lagi pariwisata yang paling memberi harapan untuk masa depan negeri ini. Karena itu tidak salah, jika menempatkan Pariwisata sebagai core business buat negeri ini,” kata Arief Yahya.

“Pariwisata sebagai penyumbang PDB, Devisa dan Lapangan Kerja yang paling mudah dan murah. Soal PDB, Pariwisata menyumbangkan 10 persen PDB nasional, dengan nominal tertinggi di ASEAN. PDB pariwisata nasional tumbuh 4,8 persen dengan trend naik sampai 6,9 persen, jauh lebih tinggi daripada industri agrikultur, manufaktur otomotif dan pertambangan. Devisa pariwisata US$1 juta, menghasilkan PDB US$1,7 juta atau 170 persen, tertinggi dibanding industri lainnya,” kata dia.

Soal devisa, pariwisata sudah nomor 4 penyumbang devisa nasional, sebesar 9,3 persen dibandingkan industri lainnya. Pertumbuhan penerimaan devisa pariwisata tertinggi, yaitu 13 persen, dibandingkan industri minyak gas bumi, batubara, dan minyak kelapa sawit yang pertumbuhannya negatif.

“Biaya marketing yang diperlukan hanya 2 persen dari proyeksi devisa yang dihasilkan,” kata Arief Yahya.

Soal ketenaga kerjaan, pariwisata menyumbangkan 9,8 juta lapangan pekerjaan, atau sebesar 8,4 persen secara nasional dan menempati urutan ke-4 dari seluruh sektor industri. Dalam penciptaan lapangan kerja, sektor pariwisata tumbuh 30 persen dalam waktu 5 tahun. Pariwisata pencipta lapangan kerja termurah yaitu dengan USD5.000/satu pekerjaaan, dibanding rata-rata industri lainnya sebesar USD100.000/satu pekerjaan.

Tahun 2015, dibandingkan dengan Singapore dan Malaysia, dua Negara terdekat, pertumbuhan turism Indonesia niak lebih besar. Malaysia turun 15,7 persen. Singapura naik 0,9 persen, asumsikan 1 persen saja. Indonesia sangat pede dengan 10,3 persen kenaikan, menjadi 10,4 juta wisman.

“Itu menunjukkan, performance kita tidak terlalu buruk, growth dan suasana industrinya, sangat bergairah, sangat agresif dan terus bertumbuh,” ujarnya. (webtorial)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya