Catatan Pemilu 2019: Refleksi dan Harapan

Warga memasukkan surat suara saat Pemilu 2019.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra

VIVA – Pemilu 2019 tengah mendapat sorotan dari berbagai kalangan, karena dilanda sejumlah kontroversi. Mulai dari berbagai laporan dugaan kecurangan, kesalahan input pada sistem penghitungan cepat (Situng) di KPU, hingga meninggalnya ratusan petugas pemungutan suara di berbagai tempat usai menjalani tugas berat di TPS masing-masing pada Hari Pemilu Serentak 17 April lalu.

Ajukan Saksi Tambahan, Putusan Gugatan Mulan Jameela Cs Ditunda

Sejumlah pengamat pun telah menyajikan pandangan kritis mengenai Pemilu Serentak 2019, termasuk Ronny Hutahayan dari The Yudhoyono Institute. Melalui tulisannya yang berjudul "Catatan Pemilu 2019: Refleksi dan Harapan", Ronny menilai bahwa ada sejumlah pelajaran mahal yang patut dipetik dari Pemilu Serentak yang baru pertama kali diselenggarakan di Indonesia ini sehingga harus menjadi masukan yang berharga bagi pelaksanaan Pemilu periode berikutnya, agar tidak lagi terjadi masalah maupun kekurangan yang serupa.

Atas seizin penulis, VIVA menyajikan tulisan Ronny Hutahayan dari The Yudhoyono Institute berikut ini:      

Jusuf Kalla Nilai Pertemuan Jokowi-Prabowo Damaikan Politik Bangsa

Indonesia baru saja melaksanakan Pemilihan Umum atau Pemilu 2019. Pemilu yang berlangsung bebas, serta jujur dan adil merupakan tonggak teramat penting dari sistem demokrasi kita sebagaimana dimandatkan oleh UUD 1945. Terhitung sejak era reformasi, ini adalah Pemilu yang ke-5 bagi bangsa Indonesia.

Sudah menjadi hal yang lumrah, ketika seluruh masyarakat Indonesia mengharapkan perkembangan yang semakin baik di setiap pelaksanaannya. Terlebih lagi, Pemilu 2019 ini sekaligus menjadi ajang pemilihan serentak pertama untuk Presiden/Wakil Presiden serta para wakil rakyat di lembaga legislatif baik dari tingkat kabupaten/kota, provinsi hingga DPR RI serta DPD.

#03PersatuanIndonesia Sinyal Baik Pertemuan Jokowi-Prabowo

Ada sejumlah perubahan mendasar dari tata cara serta mekanisme pelaksanaan Pemilu kali ini jika dibandingkan Pemilu-pemilu sebelumnya. Di antaranya berkaitan dengan digelarnya Pileg dan Pilpres serentak; penambahan Daerah Pemilihan (Dapil) dan jumlah kursi legislatif; sistem pembagian kursi legislatif menggunakan metode Sainte Lague; meningkatnya jumlah partai politik peserta menjadi 16; dan yang teramat kontroversial yakni penggunaan ambang batas Presidential Threshold berdasarkan hasil Pileg 2014.

Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, proses Pemilu 2019 di negara kita tentunya juga banyak menarik perhatian dari kacamata dunia internasional. Kita patut bersyukur dan berbangga di dalam prosesnya hingga kini penyelenggaran Pemilu 2019 secara garis besar dapat dikatakan berjalan secara damai dan tertib, meskipun bukannya tanpa berbagai catatan merah.

Mulai dari polarisasi yang menajam di tengah sesama anak bangsa, berbagai kasus pelanggaran dan mengentalnya politik uang, hingga fakta mengejutkan tentang lebih dari 500 petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) yang meninggal dunia serta hampir 5000 petugas lainnya jatuh sakit, utamanya akibat kelelahan dan beban kerja yang terlalu berat.

Melalui tulisan pendek ini, marilah kita mengambil jeda sejenak dan melihat kembali secara objektif hal-hal yang patut menjadi pertimbangan bersama dan memerlukan koreksi ke depannya.
    
Pemilu serentak: yang pertama dan terakhir?

Ini merupakan salah satu pertanyaan paling mendesak. Berbagai persoalan yang terjadi seperti anomali penggunaan Presidential Threshold berdasarkan hasil Pileg 2014, polarisasi masyarakat yang menajam, hingga besarnya korban jiwa maupun sakit di antara para petugas KPPS sebenarnya adalah gejala-gejala luar (symptoms).

Akar permasalahannya (root cause) jika kita telusuri secara lebih jauh adalah perubahan yang diakibatkan pelaksanaan pemilihan Presiden serta Legislatif secara serentak.

Tanpa pemilihan serentak, maka hasil Pemilu 2014 tidak perlu dan tidak akan menjadi barometer prasyarat dalam pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden dalam konteks Pemilu 2019. Pilpres 2019 dapat merujuk kepada hasil Pileg 2019 sebagaimana yang telah dilakukan dalam pemilu-pemilu sebelumnya.

Artinya, menjadi sangat mungkin bahwa kontestasi Pemilu 2019 menjadi terbuka untuk munculnya calon pasangan alternatif. Dengan adanya ruang tersebut akan dapat mengakibatkan penyegaran konstelasi politik dan memberikan masyarakat kita dengan pilihan baru. Bukan serta-merta mengulang kembali pertarungan Pilpres 2014. Hal seperti ini yang semestinya mampu mengurangi tensi, mencegah polarisasi serta pada akhirnya mendewasakan proses demokrasi kita.  

Pemilu serentak juga telah mengakibatkan Pileg seolah-olah tenggelam dan menjadi tidak penting. Semua mata tertuju pada Pilpres. Media pun berlaku demikian dalam pemberitaannya yang kerap tidak proporsional. Padahal Pileg juga semestinya menjadi perhatian tersendiri karena akan menentukan para wakil rakyat yang nantinya memiliki tugas utama untuk membuat dan merumuskan undang-undang serta menjalankan fungsi pengawasan di tingkat kota/kabupaten, provinsi serta nasional.

Idealnya, diperlukan pembagian peran yang proporsional antara eksekutif dan legislatif agar pemerintahan dapat berjalan dengan baik di setiap tingkatannya. Inilah yang menjadi prinsip dasar kontrol dan keseimbangan (check and balances). Hati-hati dengan trend yang berlangsung yang semakin lama menuju pada pemusatan kekuasaan di tangan eksekutif. Bangsa ini punya rekam sejarah dan pengalaman jaman Orde Baru yang membawa kepada berbagai penyimpangan kekuasaan.

Dengan pemisahan antara Pileg dan Pilpres, maka kita juga dapat mengurangi beban kompleksitas dalam hal pelaksanaan bagi pihak penyelenggara. Tentunya diperlukan perencanaan serta persiapan yang lebih matang baik oleh pihak KPU serta Bawaslu untuk menghindari beban kerja serta tekanan yang berlebihan sehingga jangan sampai ada lagi korban jiwa yang meninggal dunia maupun sakit dalam menjalankan tugas tugasnya sebagai KPPS.

Jika yang menjadi alasan awal usulan Pemilu Serentak melalui proses hukum di tingkat Mahkamah Konstitusi (MK) adalah demi efisiensi baik dari segi waktu maupun anggaran, maka Pemilu 2019 telah membuktikan bahwa logika ini kurang tepat. Pada kenyataannya, apa yang diharapakan tidak berbanding lurus dengan pelaksanaannya.

Dari segi waktu, durasi kampanye bagi pasangan calon Presiden/Wakil Presiden bertambah menjadi hampir 7 bulan lamanya. Hal ini telah mengakibatkan tentunya tidak hanya melelahkan bagi berbagai pihak namun juga menyita fokus dan perhatian seluruh masyarakat. Sehingga akhirnya narasi publik yang berkembang tidak lagi ke arah substantif mengenai gagasan serta ide untuk mengatasi permasalahan bangsa ke depan namun lebih banyak ke arah yang non-substantif seperti berbagai pencitraan hingga penggunaan isu identitas termasuk SARA. Hoax dan ujaran kebencian melalui media sosial menjadi semakin merajalela.

Justru durasi kampanye yang demikian lama telah meningkatkan polarisasi serta kerap meninggalkan luka psikologis yang mendalam di masyarakat, siapa pun pemenangnya.
 
Dari segi anggaran, Pemilu 2019 yang dilaksanakan secara serentak ini tidak lantas menjadi lebih murah dari pemilu sebelumnya. Pagu anggaran untuk penyelenggaraan Pemilu naik 61% dari pemilu sebelumnya, yaitu dari Rp 15,62 triliun menjadi Rp 25,59 triliun. Belum lagi pagu anggaran untuk pengawasan yang naik hingga 32% serta anggaran pendukung (termasuk keamanan) yang bahkan naik lebih dari 93%. Ini secara gamblang sudah membatalkan argumentasi soal upaya penghematan uang negara melalui Pemilu serentak.

Kaji dan Tata Ulang Pemilu 2024

Berbagai protes dan tuntutan untuk segera melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait dengan pelaksanaan pemilu secara serentak sudah banyak dilontarkan oleh berbagai pihak. Termasuk mereka-mereka yang dulu mengusulkan atau menyetujui pemilu serentak. Artinya, proses perencanaan dan penyelenggaraan Pemilu kedepan harus kembali dirumuskan dengan sangat matang dan hati-hati.

Jika proses pelaksanaan pemilu dipisahkan kembali antara Pilpres dan Pileg, maka yang juga harus menjadi catatan penting adalah soal Presidential Threshold 20 persen. Sebagai ‘tiket’ yang akan digunakan partai-partai yang ingin berkontestasi, persyaratan ambang batas atau PT 20 persen suara nasional (atau 25 persen kursi parlemen) ini harus kembali dikaji secara jernih dan proporsional.

Karena penetapan ‘tiket’ yang mengacu pada suara partai pada pemilu sebelumnya, jelas-jelas merugikan dan membatasi ruang gerak partai sebagai salah satu pilar utama demokrasi. Artinya, jika PT atau ambang batas ini memang ingin tetap digunakan, maka ambang batasnya harus mengacu pada hasil Pileg yang telah dilaksanakan pada tahun yang sama seperti halnya dengan pelaksanaan Pemilu 2004, 2009 dan 2014.

Sebelumnya, proses penetapan PT 20 persen ini juga menjadi perdebatan yang cukup serius di parlemen. Salah satu partai politik yang bersikap konsisten menyikapi hal ini adalah Partai Demokrat. Demokrat selalu bersikap kritis sejak proses perencanaan terkait penetapan dan mekanisme PT 20 persen ini.

Menurut Demokrat persyaratan tersebut akan membuat proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden hanya mengerucut pada dua pasangan calon saja. Imbasnya, seperti yang kita lihat bersama dalam Pemilu 2019 ini, dimana yang terjadi lebih menyerupai pengulangan kontestasi Pilpres 2014 yang kemudian membuat polarisasi di akar rumput menjadi semakin tajam.

Selain itu, Partai Demokrat melalui tokoh mudanya, Agus Harimurti Yudhoyono atau yang kerap dikenal sebagai AHY, dalam berbagai kesempatan juga kerap menjelaskan bahwa dampak dari adanya PT 20 persen membuat masyarakat tidak mempunyai alternatif pilihan kepemimpinan nasional.

Hal yang sangat disayangkan di tengah-tengah lebih dari 260 juta rakyat kita. Jumlah yang tentunya tidak sedikit dan mestinya dapat melahirkan opsi-opsi kepemimpinan yang tidak kalah berkualitas.

Pemilu 2024 nanti tentunya menjadi tantangan baru yang akan dihadapi oleh bangsa Indonesia. Di mana para calon pemimpin baru akan siap bertarung untuk memperebutkan kursi kepemimpinan di negara ini baik melalui jalur eksekutif maupun legislatif.

Maka dari itu, harapan agar pemilihan umum nanti akan jauh lebih baik lagi adalah hal yang mutlak. Jangan sampai berbagai permasalahan yang terjadi pada Pemilu 2019 ini terulang kembali.

Perubahan dan perbaikan sistem Pemilu perlu dilakukan melalui revisi UU Pemilu No 7 Tahun 2017. Ini menjadi tugas bersama Pemerintah serta DPR mendatang dengan mempertimbangkan segala harapan dan aspirasi masyarakat.

Demikian pula proses perencanaan serta penyelenggaraan Pemilu 2024 oleh KPU dan Bawaslu mendatang harus jauh lebih baik lagi. Karena hanya dengan kualitas Pemilu yang baik maka akan dapat melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa terbaik yang mampu menjawab tantangan masa depan dan membawa Indonesia ke arah cita-cita kita bersama.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya