Hari Buruh Sedunia: Negara Tak Kuasa Membendung PHK

Ilustrasi aksi Hari Buruh di Sejumlah Daerah Indonesia
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Didik Suhartono

VIVA – Peringatan Hari Buruh Sedunia pada 1 Mei 2020 menjadi salah satu sejarah kelam bagi para pekerja. Tidak ada gegap gempita demonstrasi turun ke jalan sebagaimana lazimnya tiap tahun. Wabah virus corona memaksa semua orang membatasi aktivitas sosial agar penularan dapat dihentikan dengan risiko kegiatan ekonomi lumpuh.

Taiwan Siap Berbagi Pengalaman Pelayanan Medis dengan Indonesia

Petaka lainnya ialah gelombang pemutusan hubungan kerja dan perumahan sejumlah pekerja. Pemerintah mencatat bahwa ada 1,7 juta pekerja yang di-PHK atau dirumahkan sepanjang pandemi Covid-19 di Indonesia (data 30 April). Jumlah itu tidak statis melainkan bergerak terus, yang berarti PHK massal masih akan terjadi dan tak terhindarkan hingga beberapa bulan mendatang.

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia sedari dini mengingatkan potensi besar PHK akibat pandemi corona. Industri manufaktur, pariwisata, transportasi, hingga ritel yang terdampak paling awal. Ramalan Konfederasi bahwa buruh yang bakal ter-PHK bisa mencapai ratusan ribu orang sudah menjadi kenyataan.

Khawatir Timbul Badai PHK, Ribuan Buruh Rokok Tolak Kenaikan Cukai SKT 2025

Tak terbendung

Data itu hanyalah dari sektor formal karena yang dimaksud PHK atau dirumahkan berarti pekerja seperti karyawan atau tenaga kontrak. Belum dihitung dengan orang-orang yang dipekerjakan secara alih-daya (outsourcing) dengan upah harian, pekerja sektor informal seperti pengemudi angkot/ojek, pekerja usaha mikro, kecil dan menengah, dan lain-lain.

AstraZeneca Tarik Vaksin COVID-19 di Seluruh Dunia, Ada Apa?

Pokoknya, para pekerja yang terdampak pandemi corona, di sektor formal maupun informal, menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, total mencapai lebih dari 2 juta orang.

Pagebluk Covid-19 di Indonesia diperkirakan berlangsung hingga paling cepat Agustus—bahkan ada yang memperkirakan sampai akhir tahun—yang berarti angka 2 juta itu akan bertambah lagi seiring waktu. Gelombangnya tidak dapat dibendung lagi.

Pemerintah juga pasrah. Kementerian Ketenagakerjaan, misal, cuma dapat mengimbau dunia usaha agar tidak mem-PHK para karyawannya. Kalaupun harus mem-PHK, Kementerian mewanti-wanti, itu jalan terakhir alias langkah pamungkas setelah mencoba-coba strategi efisiensi untuk tetap bertahan, umpama meniadakan lembur, mengurangi shift dan jam kerja, merumahkan bergilir dengan separuh gaji.

Sebagai semacam kompensasi kalau ada perusahaan yang tidak mem-PHK karyawannya, pemerintah menerbitkan surat utang dalam bentuk kredit khusus dengan nama recovery bond. Syaratnya, perusahaan-perusahaan tidak mem-PHK karyawannya, atau, kalau terpaksa mem-PHK, harus mempertahankan 90 persen karyawannya.

Kenyataannya, stimulus dalam bentuk apa pun tidak cukup ampuh untuk mencegah PHK. Celakanya, keputusan PHK bukan benar-benar mengakhiri segalanya. Mereka yang menjadi korban efisiensi itu juga kesulitan menuntut hak-hak mereka seperti pesangon. Tidak sedikit perusahaan yang mem-PHK karyawannya ternyata tak sanggup juga membayar pesangon.

Seorang pekerja bernama Mansyurruman, sebagaimana laporan BBC, di-PHK dari tempatnya bekerja di pabrik manufaktur mesin-mesin industri dan konstruksi di Sidoarjo, Jawa Timur, pada awal April. Namun sampai sekarang pria yang telah tiga belas tahun bekerja di perusahaan itu belum menerima hak pesangonnya yang seharusnya sebesar lebih dari Rp107 juta.

Pekerja informal yang di-PHK bukan satu-satunya yang menderita. Mereka sekurang-kurangnya masih memiliki hak pesangon dan jaminan sosial. Tetapi tidak bagi pekerja sektor informal yang juga terdampak wabah Covid-19.

Para pekerja informal, menurut laporan Organisasi Perburuhan Internasional, rata kehilangan 60 persen pendapatan mereka. Mereka bahkan juga tidak memiliki hak upah minimum, perlindungan sosial, aturan hukum untuk menangani pengaduan.

Omnibus Law

Pro dan kontra tentang Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja masih menggantung dan menjadi masalah lain bagi para pekerja. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat bersepakat untuk menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan di dalam RUU itu. Pembahasan sebelas klaster lain, yang meliputi penyederhanaan perizinan berusaha, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, serta kemudahan berusaha, tetap dilanjutkan.

Tanpa pembahasan klaster ketenagakerjaan, pemerintah dan DPR berharap RUU Ciptaker dapat mendorong peningkatan lapangan kerja dan investasi untuk memacu pertumbuhan kegiatan usaha serta meningkatkan perlindungan pekerja. Target jangka panjangnya ialah untuk kepentingan dunia usaha setelah pandemi Covid-19 mereda.

Namun, penundaan itu bukan berarti membatalkan pasal-pasal kontroversial dalam klaster ketenagakerjaan seperti yang banyak diprotes oleh serikat buruh/pekerja. Klausul-klausul kontroversial seperti penggunaan tenaga kerja kontrak dan outsourcing untuk semua jenis pekerjaan, perubahan skema upah minimum, potensi peniadaan pesangon bagi pekerja yang di-PHK, peniadaan cuti panjang, dan lain-lain, masih berpeluang disahkan sebagai undang-undang di lain waktu.

Langkah minimum pemerintah sekarang, setelah tak sanggup mencegah PHK, ialah menyediakan jaring pengaman sosial seperti Kartu Prakerja, dan program-program lain yang tidak berbentuk pemberian uang tunai, seperti padat karya infrastruktur, padat karya produktif, tenaga kerja mandiri.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya