VIVAnews - Pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat dan tumbuh tidak sesuai dengan prediksi sebelumnya, menyusul kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) menjadi 7,5 persen dan masih tingginya impor dibandingkan ekspor.
Terbukti, pada kuartal III 2013 hanya sebesar 5,62 persen dan tidak seperti yang diharapkan pemerintah. Sebelumnya, diprediksi ekonomi akan tumbuh sebesar 5,8 persen.
Sedangkan hingga akhir tahun, pemerintah optimistis ekonomi akan tumbuh 5,8 persen, meskipun lebih rendah dari asumsi yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013 sebesar 6,3 persen.
Selain itu, keputusan bank sentral Amerika Serikat, The Fed, yang akan menerapkan kebijakannya untuk menarik stimulus moneter sepertinya turut memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Sebab, dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan, kebijakan pelonggaran moneter atau quantitative easing di AS ini menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi kawasan Asia, khususnya negara berkembang, termasuk Indonesia.
Pengamat perbankan, Eko B Supriyanto, menyatakan laju pertumbuhan ekonomi yang melambat dapat memperketat penyaluran kredit. Permintaan kredit juga diperkirakan berkurang.
"Dengan adanya perlambatan ekonomi, maka mau tak mau permintaan kredit itu juga akan menurun," ujar Eko kepada VIVAnews, Kamis 5 Desember 2013.
Menurut Eko, tingkat konsumsi masyarakat yang tinggi selama ini telah efektif menggerakkan pertumbuhan. Konsumsi ini pula yang membuat permintaan terhadap kredit tinggi.
Pembatasan kredit, ia melanjutkan, lebih disebabkan oleh kekhawatiran terhadap likuiditas bank. Untuk mempertahankan likuiditas, bank cenderung akan menaikkan suku bunga deposito. "Pada akhirnya bunga kredit juga akan ikut naik," kata Eko.
Kenaikan suku bunga kredit ditengarai akan berdampak pada penurunan pertumbuhan kredit, sekaligus meningkatkan risiko kredit bermasalah atau non performing loan (NPL).
"Nasabah baru enggan ambil kreditnya. Di sisi lain, yang sudah dapat kredit bisa macet," kata Eko.
Ekonom PT Bank Central Asia, David Samuel juga menyarankan agar pihak perbankan dan Bank Indonesia (BI) waspada terhadap kemungkinan kenaikan kredit macet atau NPL.