Arti Kemenangan Erwiana atas Majikan di Hong Kong

Majikan di Vonis Bersalah Erwiana Sulistyaningsih Tersenyum Bahagia
Sumber :
  • REUTERS/Bobby Yip

VIVA.co.id - Bulatan biru lebam melingkari mata kirinya, sementara perban melilit di tangan dan kaki perempuan muda bertubuh kurus dengan pandangan mata sayu itu.

Tidak banyak orang mampu mengabaikan keberadaannya di bandara Hong Kong, pada suatu pagi di Januari 2014 lalu. Termasuk Riyanti, seorang buruh migran Indonesia (BMI), yang dalam perjalanan pulang ke tanah air.

Dia pun mendekati perempuan itu, yang memperkenalkan diri sebagai Erwiana Sulistyaningsih, yang meninggalkan kampung halamannya Desa Pucangan, Ngawi, lebih dari tujuh bulan sebelumnya.

Riyanti pun bertanya, meminta, membujuk dan sedikit memaksa Erwiana membuka perban, yang ternyata untuk menutupi lebam serta kulit yang mengelupas, memperlihatkan luka yang belum lama terjadi.

Sambil memapah Erwiana untuk masuk ke dalam pesawat, Riyanti pun meminta perempuan berusia 22 tahun itu untuk menceritakan apa yang telah menimpa dirinya.

Diketahui kemudian Erwiana ditinggalkan begitu saja di bandara oleh majikannya, yang sengaja membelikan tiket untuk perjalanan pagi, agar Erwiana tidak banyak bertemu dengan orang lain.

Derita Erwiana

Setelah tiba di Hong Kong pada Mei 2013, melalui agen tenaga kerja PT Graha Ayukarsa, Erwiana ditempatkan di rumah majikannya yang bernama Law Wan-tung dan dijanjikan gaji sebesar HK$ 3.920 atau Rp 6 juta per bulan saat itu.

Namun sebulan setelah bekerja, majikannya tidak memberikan gaji yang disebut telah diberikan pada agen pengirimnya. Erwiana diklaim memiliki utang biaya keberangkatan, yang harus dibayar dengan memotong gajinya selama enam bulan.

Merasa tidak diperlakukan secara adil, Erwiana menyatakan keinginannya untuk berhenti dan ditolak oleh majikannya. Sejak itu siksaan bertubi-tubi mendera Erwiana, yang hanya mendapat makan satu piring nasi tanpa lauk sehari.

Soal Hukuman Penyiksa Erwiana, Pemerintah RI Tak Mau Banding

Erwiana Sulistyaningsih, TKI yang disiksa di Hong Kong

Sementara dia harus bekerja 18 jam dan istirahat selama empat jam sehari. Kelaparan dan kelelahan tidak seberapa, karena Erwiana juga disiksa secara fisik dengan pukulan menggunakan gantungan baju hingga gagang sapu.

Pengadilan Hong Kong, Selasa, 10 Februari 2015, menyatakan Law terbukti memukul Erwiana hingga giginya patah, memasukkan tabung besi dari mesin penyedot debu ke dalam mulut Erwiana, hingga lidahnya terpotong.

Law juga pernah menelanjangi Erwiana, lalu mengguyurkan air dingin saat musim dingin, setelah itu mengarahkan kipas angin pada Erwiana. Selain Erwiana, Law juga dinyatakan bersalah menyiksa seorang BMI lainnya, Tutik Lestari Ningsih.

Law disebut menampar dan menendang Tutik, kemudian melukai tubuh Nurhasanah. Law mengatakan pada Erwiana, bahwa suaminya sangat kaya dan punya banyak koneksi di Indonesia.

Vonis Bersalah

Pengadilan Hong Kong akhirnya menjatuhkan vonis bersalah pada Selasa pagi, setelah berbulan-bulan masa persidangan yang melelahkan, sejak sidang perdana pada 25 Maret 2014.

Belum ada putusan tentang berapa lama hukuman untuk Law, yang ditangkap pada 20 Januari 2014 di ruang tunggu bandara, dalam perjalanannya melarikan ke Bangkok, Thailand.

“Kita terus pantau proses persidangan di Hongkong. Kita ingin hukuman yang setimpal bagi setiap majikan yang menganiaya TKI, “ kata Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri, Selasa.

Menurut Hanif, vonis hukuman berat terhadap pelaku penyiksaan harus dilakukan, agar menjadi pelajaran bagi semua pengguna jasa BMI di Hong Kong, dan kejadian sama tidak terulang.

Polisi Hong Kong yang dikutip Reuters, Selasa, menyebut Law dapat dijatuhi hukuman paling lama tujuh tahun penjara. Lepas dari lama hukuman, apakah vonis bersalah terhadap Law bisa dilihat sebagai kemenangan bagi BMI?

Erwiana yang menyebut telah memberi maaf bagi majikannya, mengatakan sangat senang dengan putusan pengadilan, karena selain maaf keadilan tetap harus ditegakkan.

Kemenangan?

Mengingat derita yang dialami Erwiana, serta banyaknya kasus yang mendera BMI di luar negeri, sikap pemerintah Hong Kong untuk menuntut Law Wan-tung perlu mendapat apresiasi.

Putusan pengadilan yang memenangkan Erwiana, setidaknya memperlihatkan bahwa orang kecil seperti Erwiana bisa memperoleh keadilan di Hong Kong, apalagi dengan banyaknya kasus kekerasan terhadap BMI di negara-negara lain.

Menurut data yang dikutip dari situs BNP2TKI antara 1 Januari-30 September 2014 saja ada 12.450 kasus yang menimpa warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri, yang sebagian besar melibatkan BMI.

Total sekitar 92,43 persen atau sebanyak 11.507 kasus. Tidak disebutkan berapa banyak diantara kasus-kasus itu merupakan tindak kekerasan terhadap BMI di luar negeri.

Tapi menurut data Migrant Care, pada 2009 saja ada sedikitnya 5.314 kasus kekerasan terhadap BMI. Itu yang dilaporkan dan tercatat. Kasus terbanyak terjadi di Malaysia dengan 1.748 kasus.

Berikutnya adalah Arab Saudi dengan 1.048 kasus dan Yordania sebanyak 1.004 kasus. Sementara kasus kematian TKI ada 1.018 jiwa, terbanyak juga di Malaysia dengan 687 jiwa.

Berikutnya Arab Saudi 221 jiwa dan Hong Kong dengan 32 jiwa. Pada 2010 angka kematian bertambah menjadi 1.075 orang, yang memperlihatkan adanya kenaikan kasus dari tahun ke tahun.

Nasib TKI

Pemerintah selalu mengklaim adanya upaya perlindungan bagi BMI di luar negeri. Apakah meningkatnya jumlah kasus kekerasan dan kematian TKI, memperlihatkan upaya itu?

Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayat, pada 2011 lalu, menyebut pemerintah bukan hanya tidak pernah mengusut penyebab BMI meninggal di luar negeri, tapi juga menyangkal data kematian BMI.

Erwiana Tidak Puas Mantan Majikan Hanya Dibui 6 Tahun

Law Wan-tung, wanita Hong Kong penyiksa Erwiana Sulistyaningsih

Law Wan-tung, warga Hong Kong yang menyiksa Erwiana. (Foto: Reuters)

Penganiaya Erwiana Hanya Dipenjara 6 Tahun, RI Tidak Puas

Anis menyebut antara 2007-2011 ada setidaknya 10 orang BMI yang meninggal karena disiksa majikan. Diantaranya Kurniasih di Malaysia (2007), Animah binti Jari di Kuwait (2007), Siti Tarwiyah dan Susmiyati di Saudi (2009), Munti binti Bani di Malaysia (2009).

Fauziah yang tewas karena penyiksaan dan kekerasan seksual di Malaysia (2010), Kikim Komalasari yang jenazahnya dibuang di tempat sampah Arab Saudi (2010), Sariah karena disiksa dan kekerasan seksual di Kuwait (2010).

Ernawati di Saudi (2011) dan Isti Komariah di Malaysia (2011). Majikan mereka atau para pelakunya bebas, seiring tidak terdengarnya upaya menegakkan keadilan terhadap derita para korban.

Pemerintah sejak lama memberi julukan mentereng bagi para BMI, yaitu pahlawan devisa. Jelas saja, BMI memang memberi sumbangsih tidak sedikit. Coba simak SK Dirjen Binapenta No. 186 Tahun 2008 tentang biaya penempatan BMI di Hong Kong.

SK itu menyebut biaya penempatan BMI tujuan Hong Kong sebesar Rp 15.550.000. Selain Hong Kong, tentunya ada biaya penempatan BMI di negara lainnya. Itu maksudnya devisa dari para pahlawan?

Perlakuan Pemerintah

Pada Januari 2014 lalu, menanggapi kasus Erwiana, Muhaimin Iskandar yang menjabat Menaker menjawab kasus penyiksaan pekerja domestik di Hong Kong relatif kecil, karena baru dua yang muncul.

Disusul Direktur Pelayanan Pengaduan BNP2TKI Christofel De Haan beberapa hari kemudian, yang menyarankan keluarga Erwina menempuh jalur damai dengan majikan, bukan jalur hukum.

Dia menyebut jalur damai bukan hanya lebih cepat, tapi juga memberi manfaat bagi keluarga berupa uang yang jumlahnya dapat disepakati melalui pengacara yang ditunjuk Konsulat Jenderal RI Hong Kong.

Apakah itu sikap yang menggambarkan dukungan pemerintah? Kemenangan Erwiana bukan hanya melawan majikannya, atau sistem hukum di Hong Kong. Tapi juga menghadapi perlakuan dari pemerintah di negara asalnya.

Dikutip dari laman Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSD-BM) Hong Kong, Erwiana mendapat banyak tekanan selama proses persidangan yang berlangsung berbulan-bulan.

Menurut PSD-BM, Erwiana dipaksa menginap di gedung KJRI Hong Kong dengan pengawasan 24 jam. Dia bahkan diancam polisi Hong Kong akan dideportasi jika tidak menuruti kemauan KJRI dan polisi Hong Kong.

Jaringan BMI Hong Kong kemudian mengecam pemaksaan itu. Setelah perundingan yang alot, KJRI akhirnya membolehkan Riyanti sang penolong Erwiana, untuk tinggal menemati Erwiana di KJRI.

Prosedur Penanganan

PSD-BM menyebut insiden tidak masuk akal itu menandakan, bahwa Kementerian Luar Negeri RI tidak melakukan prosedur penyelesaian pengaduan secara bebas dan transparan.

"Erwiana datang atas undangan, bukan sebagai narapidana yang harus ditahan," kata Sringatin, juru bicara Komite Keadilan untuk Erwiana. Open Society Foundation mengeluarkan pendapat senada.

Basina Farbenblum dalam laporan berjudul 'Akses Buruh Migran Terhadap Keadilan di Negara Asal: Studi Kasus Indonesia,' disebut bahwa banyak BMI tidak disertakan dalam proses penanganan kasus.

Majikan di Vonis Bersalah Erwiana Sulistyaningsih Tersenyum Bahagia

Erwiana mendapat sambutan hangat dari teman-teman sejawatnya di Hong Kong. (Foto: Reuters)

Staf kedutaan besar Indonesia tidak melibatkan BMI yang menjadi korban, dalam komunikasi atau negosiasi yang dilakukan dengan pihak majikan. Mereka tidak dapat mengetahui apa yang terjadi selama proses negosiasi.

Kemenangan Erwiana tentu layak disyukuri, bahkan dijadikan pelajaran. Tapi belum menjadi kemenangan bagi semua BMI. Masih banyak persoalan yang harus dibenahi terkait keselamatan mereka.

Jangan sampai derita para BMI di luar negeri, hanya dijawab dengan hashtag #akurapopo atau #bukanurusansaya. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya