Moratorium Mal Baru: Berguna atau Merugikan?

Indonesia Menari 2014
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

VIVA.co.id - "Ibu Kota Mal." Julukan itu sudah cocok bagi Jakarta yang dalam satu dekade terakhir sangat pesat membangun mal-mal baru. 

Suami yang Mutilasi Istri di Ciamis Sudah Kooperatif tapi Hasil Tes Kejiwaan Belum Ada

Pusat-pusat perbelanjaan di Ibu Kota itu sudah belasan jumlahnya dan masing-masing memakan lahan lebih dari 5.000 meter per segi. Mereka sudah menjadi ikon baru, percuma datang ke Jakarta bila tidak berkunjung ke salah satu mal.  

Bahkan, tahun ini sudah siap berdiri lima mal baru. Lippo Mall Puri @ The St. Moritz di Kembangan dan Central Park Extension di Tomang. Keduanya di Jakarta Barat. Ada pula One Bel Park di Fatmawati dan Pusat Grosir Metro Cipulir, yang sama-sama berada di Jakarta Selatan. Ada lagi Mal Pantai Indah Kapuk di Jakarta Utara.

Mereka milik pemain-pemain besar di sektor properti dan masing-masing memelihara jaringan ritel raksasa. Disulap ibarat "kota mini," masing-masing mal punya paket yang sama: punya beragam sarana untuk berbelanja, mencari hiburan, makan-minum, kongkow-kongkow, mencari dawai (gadget tercanggih) hingga menyediakan lokasi pesta pernikahan.

Mal-mal ini menggambarkan stabilnya pertumbuhan ekonomi Indonesia dan makin bertambahnya kelas menengah di negeri ini. Sebagian publik pun menikmati megahnya pusat-pusat perbelanjaan itu sekaligus turut menggerakkan roda bisnis dan ekonomi di tanah air. 

Masalahnya, mal-mal yang berkembang menjadi one-stop shopping center ini berpotensi melahap para pelaku usaha kecil dan menengah. Kuatnya jaringan dan modal dari para pemilik mal bisa menggusur pelaku UKM sektor ritel bila perluasan operasinya tidak dibatasi. 

Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) bahkan memprediksi pertumbuhan pusat perbelanjaan pada 2015 mencapai 15 persen. Beberapa pusat belanja akan dibangun di luar Jawa.

Ketua Umum APPBI, Handaka Santosa, sebelumnya mengatakan, tahun ini akan ada empat sampai lima pusat perbelanjaan yang dibuka di luar Jawa, seperti Samarinda dan Balikpapan. "Pertumbuhan lebih merata, tidak hanya terpusat di Pulau Jawa," kata dia.

Namun, dia menjelaskan, Jakarta masih mendominasi pertumbuhan pusat perbelanjaan. Dari 260 pusat perbelanjaan di Indonesia, sebanyak 76 di antaranya terletak di Jakarta.

Pemerintah coba mengendalikan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta baru mulai memberlakukan Instruksi Gubernur (Ingub) DKI Jakarta tentang Moratorium Pemberian Izin Pembangunan Pusat Perbelanjaan, Pertokoan/Mal dengan luas lahan Lebih dari 5.000 meter persegi.

Jakarta menjadi tolok ukur sukses tidaknya pemerintah mengontrol ekspansi mal. Bila berhasil, ini bisa menjadi contoh bagi kota-kota lain dalam mengendalikan para peritel raksasa.

Hasil moratorium di Jakarta itu belum terlihat. Bahkan, menurut suatu survei, pasar ritel di Ibu Kota diperkirakan tumbuh 5,4 persen dengan adanya perkiraan penambahan mal tahun ini. Munculnya mereka itu berkat perizinan yang keluar sebelum diumumkannya peraturan moratorium dari Gubernur DKI sebelumnya, Joko Widodo, tahun lalu.
 
Riset pasar pusat perbelanjaan yang dilakukan Cushman & Wakefield menyebutkan, pada akhir 2015, ruang ritel sebesar 217 ribu meter per segi akan memasuki pasar. "Semua pasokan yang akan datang merupakan pusat perbelanjaan sewa. Jika pusat-pusat perbelanjaan yang direncanakan dapat terbangun sesuai jadwal, maka Jakarta akan memiliki total ruang ritel sebesar 4.232.100 meter persegi," kata Arief, seperti dikutip VIVA.co.id dalam risetnya, Rabu 18 Februari 2015.

Hingga akhir 2014, lanjut laporan itu, luasan lahan pusat perbelanjaan di Jakarta mencapai 4.015.100 meter persegi. Kawasan Jakarta Selatan dan Jakarta CBD masing-masing memiliki luasan lahan 875.200 dan 877.100 meter persegi atau rata-rata 21,8 persen.

Sementara itu, Jakarta Utara dan Jakarta Barat masing-masing menyumbang ruang ritel seluas 795.300 (19,8 persen) dan 696.500 meter persegi (17,3 persen). Sedangkan Jakarta Pusat dan Timur, memiliki luasan 448.400 (11,2 persen) dan 322.600 meter persegi (delapan persen).

Dari sisi harga sewa, kantor Cushman & Wakefield menyebut bahwa 2014 lalu, terjadi peningkatan sebesar 5,9 persen dibanding tahun sebelumnya. Hal ini, disebabkan oleh terbatasnya ruang kosong di sebagian besar pusat ritel di Jakarta. Akibatnya, harga sewa dasar terdorong naik.

Maka, bila pemerintah daerah seperti Jakarta nantinya efektif menerapkan moratorium izin pembangunan mal, ini akan sangat membantu pelaku UKM sektor ritel maupun di bidang-bidang lain. Pembatasan ini juga dipandang sebagai bentuk keperpihakan pemerintah dalam memeratakan hasil pembangunan dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Cek Hotel dan Bus Jemaah di Makkah, Menag Optimistis akan Bisa Beri Layanan Terbaik

Jadi Contoh

Keberhasilan di DKI bakal menjadi contoh di daerah-daerah lain. Ini termasuk Banyuwangi, kota di Jawa Timur.

"Kebijakan tersebut akan menggairahkan ekonomi tradisional. Saat ekonomi tradisional tumbuh, akan meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat," kata Abdulah Azwar Anas, Bupati Banyuwangi dalam suatu acara diskusi di Yogyakarta, 10 Februari 2015.

Untuk pembatasan ini, pemerintah daerah memang lebih menentukan ketimbang pemerintah pusat. Ini yang diakui Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Anak Agung Gede Puspayoga. Kementerian Koperasi dan UMKM tak bisa berbuat banyak karena kewenangan memberikan izin berdirinya toko jejaring nasional ada di tingkat bupati atau wali kota.

"Kami bisanya hanya mengimbau agar pendirian toko jejaring nasional harus diatur ketat. Jika perlu dilarang agar ekonomi kerakyatan dapat tumbuh," kata Puspayoga saat berkunjung ke Pasar Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul, DIY, 14 Februari 2015.

Dia sepakat bahwa keberadaan toko jejaring nasional hingga tingkat desa pasti akan mengganggu ekonomi kerakyatan. "Ekonomi kerakyatan itu seperti adanya pasar tradisional dan juga koperasi," kata Puspayoga.

Sementara itu, Bupati Anas mengatakan, pilihan pendekatan pemerintah lokal menentukan dinamika sosial, ekonomi, politik, dan aspek lainnya. Dia menuturkan, dengan pendekatan kesejahteraan, dia membatasi arus liberalisasi ekonomi. Salah satunya, dengan membatasi pertumbuhan ekonomi modern, seperti pembangunan mal, mini market, dan sejenisnya.

Sebaliknya, tutur dia, pihaknya meningkatkan dorongan untuk mengembangkan ekonomi tradisional. "Selama empat tahun berjalan, pemerintah Kabupaten Banyuwangi tidak memberikan izin pembukaan mal, atau mini market," ujar Anas.

"Selama itu, hanya mempertahankan pasar modern yang berdiri sebelum empat tahun silam. Dampak positifnya, pasar tradisional sangat bergairah dan tumbuh pasar-pasar tradisional baru," tambah Anas. Melihat dari statistik perekonomian lokal, menurut dia, pendapatan per kapita naik tajam di tengah pembatasan pasar modern.

Sebagai gambaran, pendapatan per kapita warga Banyuwangi 2010 sebesar Rp15 juta per orang per tahun, kini meningkat menjadi Rp23 juta per orang per tahun pada 2014.

Menurut dia, pendekatan salah kaprah terjadi di berbagai daerah, ketika pemerintah daerah mengadopsi, atau meniru program pengembangan di dalam, atau luar negeri, dengan menafikan keadaan sosial-ekonomi di tingkat lokal. Membangun mal banyak-banyak jadi contoh program salah kaprah itu.

Terpopuler: Harga iPhone di iBox Naik, Modus Peretasan WhatsApp dari Facebook
Mal Tebet Green

Ciputra Property Bicara Moratorium Mal

Ciputra menilai ada sisi positif dan negatif. Apa saja?

img_title
VIVA.co.id
26 Februari 2015