Eksekusi Mati di Tengah Tekanan Dunia

Kunjungan Terakhir Keluarga Tereksekusi Hukuman Mati
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Idhad Zakaria
VIVA.co.id
- Organisasi HAM Amnesty International (AI) mengkritik keputusan pemerintah Indonesia, yang bersikeras melaksanakan eksekusi mati terhadap delapan terpidana, pada Rabu dini hari, 29 April 2015.


AI dalam pernyataan resmi, menyebut Indonesia tidak peduli terhadap proses hukum dan standar perlindungan HAM. "Eksekusi mati ini benar-benar cacat," kata Rupert Abbott, Direktur Riset AI untuk Asia Tenggara dan Pasifik, dalam pernyataan yang diterima VIVA.co.id.


Benarkah begitu?


"Filipina memohon untuk masalah kasus Mary Jane dikaji, akhirnya kita putuskan menghormati proses hukum. Baru presiden menyampaikan kepada jaksa eksekutor," kata Jaksa Agung HM Prasetyo di Dermaga Wijayapura, Cilacap.


Pernyataan Prasetyo, bahwa akhirnya diputuskan untuk menghormati proses hukum, seakan menegaskan kebenaran tudingan AI, mengenai Indonesia tidak peduli terhadap proses hukum dan standar perlindungan HAM.


Namun dengan prasangka positif, kalimat Prasetyo bukan berarti Indonesia tidak menghormati proses hukum. Semua terpidana sudah diberikan kesempatan, untuk menempuh semua proses hukum yang dimungkinkan.


Tapi pernyataan Prasetyo bisa dimanfaatkan sebagai peringatan, bahwa komentar dari pejabat pemerintah harus disampaikan dengan baik, mempersempit kemungkinan untuk disalahartikan.


Penarikan duta besar oleh Australia, setelah sebelumnya dilakukan Belanda dan Brasil, bukti bahwa eksekusi mati warga negara asing adalah isu sensitif, yang dapat berdampak serius dalam urusan diplomasi.


Saat ini Indonesia tengah menjadi sorotan komunitas internasional, tekanan datang terutama dari negara-negara yang warganya dieksekusi dan terancam akan dieksekusi mati.


Indonesia tentunya harus menanggapi dengan baik tekanan dari luar. Dampak negatif mungkin akan ada, apabila kesalahan-kesalahan ucap dan pemahaman, terjadi dalam upaya Indonesia membela diri.


Johan Budi Harusnya Tanggapi Laporan Haris Azhar
Setiap pihak punya pendapat masing-masing, sekalipun sama ingin membela negaranya. Namun jika disampaikan dalam banyak versi dan cara yang kurang cermat, tentu berbahaya bagi citra Indonesia di mata dunia.

Dua Tahun Haris Azhar Simpan Rahasia Freddy Budiman

Jawaban Pemerintah

Polri, TNI dan BNN Diminta Cabut Laporkan Haris Azhar

Juru Bicara Kemlu Arrmanatha Nasir, mengaku Kemlu belum menerima informasi resmi terkait pemanggilan pulang dubes Australia. Tapi dia mengatakan langkah Australia dapat dimengerti.

“Kami bisa mengerti langkah yang dilakukan Australia. Namun demikian, kami tetap berharap bahwa hubungan bilateral antara Australia dengan Indonesia  tetap baik," ucapnya.
 
Arrmanatha mengatakan pemerintah memandang Australia sebagai negara penting dalam hubungan bilateral, begitupun Australia juga seharusnya memandang Indonesia sebagai negara yang penting di kawasan.

Sementara Jokowi menegaskan tentang kedaulatan soal pemanggilan dubes Australia. "Ini kedaulatan hukum kita. Saya tidak akan mengulang-ulang lagi. Jangan ditanya itu lagi," katanya.


Jawaban yang sama kembali diucapkan Jokowi, menjawab pertanyaan tentang implikasi terhadap hubungan bilateral Indonesia dan Australia. "Ini kedaulatan hukum kita," ucapnya.


Berbeda lagi tanggapan Jaksa Agung. "Ah, itu reaksi sesaat dan menjadi urusan ranah diplomatik. Nanti kami menyelesaikan," kata Prasetyo. Lantas Wapres Jusuf Kalla, mengatakan tidak perlu khawatir dengan penarikan dubes Australia.


"Kita pernah menarik duta besar kita dari Australia, jangan lupa," kata Kalla. Dia yakin ketegangan diplomatik hanya akan berlangsung sementara. "Satu atau dua bulan juga kembali (pulih) lagi."


Dia mengatakan ketegangan tidak bakal mengganggu hubungan perdagangan, apalagi karena Indonesia selama ini menjadi konsumen. "Kita lebih banyak mengimpor dari Australia. Berarti kalau menghentikan perdagangan dia rugi," kata Kalla.


Saat eksekusi mati pertama kali dilakukan pemerintahan Jokowi, pada Januari, Brasil memprotes keras eksekusi terhadap warganya melalui penarikan dubes. Juga beberapa sikap lain yang mengundang kecaman dari Indonesia.


Toto Riyanto yang ditunjuk untuk menjadi dubes baru RI untuk Brasil, memperoleh perlakuan tidak menyenangkan pada 20 Februari lalu, saat akan menyerahkan surat kepercayaan kepada Presiden Brasil Dilma Rousseff.


Dilma menerima dubes negara-negara lain dan menyisihkan Toto, sehingga mengundang banyak reaksi keras dan kecaman dari Indonesia, yang kemudian menarik pulang Toto kembali ke tanah air.


Rousseff dikutip Wall Street Journal, 22 Februari 2015, mengatakan insiden penolakan dubes Indonesia tidak akan berdampak negatif, lantaran perdagangan Brasil dengan Indonesia hanya $4 miliar atau Rp51 triliun pada 2014.


Jumlah itu disebutnya tidak sampai 1 persen dari total perdagangan Brasil dengan negara-negara lain sebesar $454 miliar atau Rp 5.871 triliun. Terhentinya perdagangan dengan Indonesia, tidak akan banyak berpengaruh.


Pernyataan Rousseff dapat dianggap sangat meremehkan Indonesia. Reaksi dari Indonesia justru terkesan lebih baik. "Kami menganggap semua negara yang memiliki bilateral dengan kita negara penting, negara sahabat," kata Arrmanatha, pada 25 Februari.


Dia menegaskan, Indonesia tidak akan membuat komentar yang memperkeruh keadaan. Kita tidak mau berspekulasi, apa yang harus kita lakukan ke depan," katanya.


Sementara Kalla mengaitkannya dengan posisi Indonesia sebagai pihak yang lebih banyak mengimpor, disebutnya membuat Indonesia punya posisi tawar lebih baik ketimbang Brasil.


(umi)


Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya