Indonesia Bukan Tempat Karya Anak Bangsa

Akun Facebook Warsito P Taruno
Sumber :
  • Facebook/Warsito Purwo Taruno

VIVA.co.id – Keputusan penemu teknologi antikanker, Warsito Purwo Taruno mengembangkan terapi kanker Electro-Capacitive Cancer Therapy (ECCT) di Warsawa, Polandia, langsung dibanjiri beragam tanggapan.

Warsito mengumumkan pengembangan pelatihan teknologi antikanker di luar negeri melalui akun Facebooknya. Tak lama diunggah, postingan itu dibanjiri komentar dukungan, kesedihan dibagi luas ke pengguna Facebook lain.

"Warsawa adalah kota kelahiran Marie Curie, fisikawan, penemu Polon dan Radon, satu-satunya wanita yang meraih Nobel dua kali, pionir radio terapi 100 tahun lebih yang lalu. Sekarang, kami memulai pelatihan ECCT internasional pertama untuk pengobatan kanker dari tempat pertama kali Curie Intitute of Oncology, Warsawa didirikan," tulis Warsito dalam akun Facebooknya akhir pekan lalu.

Emosi dan ‘jeritan’ pengguna Facebook terlihat memenuhi dinding halaman akun Facebook Warsito. Sebagian pengguna mengucapkan selamat berjuang dan bangga kepada pria asal Karanganyar itu, karyanya diterima di luar negeri. Sementara sebagian yang lain, khususnya keluarga penderita kanker, merasakan sedih ditinggal ke luar negeri oleh Warsito.

"Saya juga sedang berusaha agar suami saya bisa mengobati tumor otaknya dengan ECCT, tapi sayang sekali kenapa harus ditutup disaat suami saya begini. Sedih kalau liat anak-anak kami yang mash kecil, kejam sekali yang menutup ini," tulis pengguna Facebook bernama akun Ratna RaFa.

Selain banjir dukungan dan kehilangan, pengguna Facebook juga menumpahkan kekecewaannya kepada pemerintah Indonesia yang dituding tak peduli dengan karya anak bangsa. Pengguna menuding Kementerian Kesehatan dan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, mengganjal karya teknologi antikanker Warsito.

"Dr. Warsito Purwo Taruno mulai menapaki perjuangannya di level dunia setelah ditolak dengan sangat dzalim oleh Kemenkes Indonesia. Ya, negara kita telah abai menghargai putera bangsa terbaiknya. Otak kita terlalu kerdil untuk menampung manusia besar semacam Dr. Warsito. Maju terus Pahlawan, Allah membersamamu demi kemanusiaan di dunia, bukan di Indonesia..." tulis pengguna Facebook dengan nama akun Ahmad Rofiqi.

Warsito, alumnus Teknik Kimia dan Teknik Elektro di Shizouka University Jepang itu mengatakan alasannya untuk beralih ke luar negeri, dibanding menunggu berbulan-bulan tanpa ada kepastian dengan status teknologi antikankernya.

Warsito mengaku memang akhirnya mengambil langkah tersebut dengan alasan Polandia sangat antusias dengan teknologi antikankernya.

"Ini (layanan ECCT di Polandia) memang atas permintaan dari sana. Setelah mengikuti presentasi yang kita berikan di Jerman bulan Juni tahun lalu," kata pria berkacamata itu.

Dia mengatakan awalnya tak begitu merespons keinginan Polandia, tapi belakangan setelah melihat antusiasme dan kondisi dalam negeri yang tak kondusif, akhirnya dia putuskan kembangkan pelatihan ECCT di sana.

Ditolak di dalam negeri, justru teknologi antikanker Warsito itu malah 'laris' di manca negara. Warsito mengatakan selain Warsawa, hampir seluruh dunia sudah antre mempelajari teknologi temuannya.

"Yang sekarang lagi menunggu yaitu Kanada, AS, Australia, Singapura, Malaysia, Sri Lanka, Rusia, Dubai, Arab Saudi, India juga," ujar Warsito.

Selain antrean dari lembaga atau komunitas, teknologi ECCT Warsito itu juga diminati kalangan individual, yang tak kalah antusias.

"Tambah perorangan banyak sekali. Kemungkinan kita akan jadwalkan training tahun ini sebisanya," ujar Warsito.

Jalan terjal karya Warsito

Teknologi antikanker Warsito memang sudah menimbulkan polemik sejak tahun lalu, meskipun teknologi itu sudah mulai dikembangkan beberapa tahun sebelumnya. Pada awal Desember tahun lalu, Kemenkes mengeluarkan surat yang isinya mempersoalkana Klinik Riset Kanker yang dikelola Warsito. Surat itu juga untuk menghentikan pengembangan riset tersebut.

Dalam surat berkop bernomor HK.06.01/IV/2444/2015 tertanggal 20 November 2015 kepada Walikota Tangerang itu, Kemenkes meminta dilakukan penertiban klinik milik Warsito tersebut.

Surat Kemenkes yang ditandatangani Sekretaris Jenderal Kemenkes, Untung Suseno Sutarjo, membeberkan teknologi temuan Warsito yaitu Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT) untuk diagnosa kanker dan Electro-Capacitive Cancer Therapy (ECCT) untuk terapi kanker.

Dalam surat itu, Kemenkes berpendapat sesuai UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 42-45, untuk menerapkan produk teknologi atau teknologi harus melalui tahapan proses riset yang benar.

"Proses yang benar yaitu melalui uji coba hewan terhadap manfaat dan keamanan alat ECCT, uji diagnosis (uji validitas) alat ECCT untuk diagnosis kanker payudara dibandingkan alat standar serta studi kasus," tulis surat tersebut.

Dalam surat itu, Kemenkes sudah mendakwa Klinik Riset yang dikelola Warsito itu menjalankan kegiatan yang tidak sesuai dengan tahapa proses penelitian yang sudah ditetapkan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes.

Warsito sempat menuruti skema dari Kemenkes dan bersedia teknologi antikankernya dievaluasi oleh dua kementerian tersebut. Dia sepakat sepanjang evaluasi, pelayanan terapi kanker dihentikan dan riset tetap dilanjutkan dengan pengawalan dua kementeria tersebut.

Tapi setela dua bulan evaluasi, hasilnya masih belum tuntas. Awal Februari lalu, Kemenkes dan Kemenristekdikti menyatakan masih dibutuhkan kajian atas teknologi antikanker tersebut. Kesimpulan dua bulan evaluasi, ECCT belum terbukti keamanan dan manfaatnya.

Pelaksana tugas Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Tritarayati, Rabu 3 Februari 2016, mengatakan penelitian terhadap ECCT akan dilanjutkan sesuai dengan kaidah pengembangan alat kesehatan sesuai standar.

Ia menjelaskan, akan dikembangkan melalui pipeline (pipa saluran) pengembangan alat ECCT per jenis kanker, mulai dari pra-klinik sampai dengan klinik, yang sesuai dengan cara uji klinik yang baik (good clinical practice).

Selama masa evaluasi memang harus 'dibayar' oleh Warsito. Dia terpaksa merumahkan 70 persen karyawan di Klinik Riset Edwar Technology. Belum lagi 6 ribuan pasien terapi Warsito yang kebingungan meneruskan proses terapi mereka.

Terkait banyaknya permintaan pelatihan teknologi antikanker di luar negeri, Warsito tak lupa dengan anak buahnya. Dia mengaku tak menutup kemungkinan akan memboyong mantan karyawannya yang sudah dirumahkan menyusul tutupnya klinik riset teknologi kanker di Tanah Air.

"Kalau di luar negeri sudah berkembang, kemungkinan bisa direkrut kembali," tutur dia.

Terkait izin klinik riset kanker yang sempat dipersoalkan Kemenkes, Warsito mengatakan dia sebenarnya sudah mengajukan izin sejak 2013. Tapi karena saat itu belum ada aturan tentang klinik kanker tersebut, maka sampai hari ini kliniknya belum mendapatkan izin dari Pemerintah Kota Tangerang sampai 2015.

Kekosongan aturan

Atas ketidakjelasan nasib status teknologinya, Warsito sudah lama mendorong pemerintah segera mengeluarkan aturan untuk penelitian alat kesehatan dan aturan uji klinis. Aturan ini, kata dia, untuk jaminan perlindungan hukum bagi praktik uji klinik dan riset alat kesehatan di Indonesia.

"Tapi itu tidak ada di Indonesia. Selama aturan tak ada, setiap orang bisa klaim valid apa yang dilakukan oleh para peneliti. Sebaliknya pula, setiap orang bisa klaim tidak valid kalau tak suka," tuturnya.

Terkait produk perlindungan hukum, Warsito mengatakan menyerahkan kepada pemerintah apakah aturan itu berupa Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri.

"PP/Permen itu turunan dari amanah Pasal 38 UU No.36/2009 tentang penelitian alat kesehatan," kata dia.

Warsito juga mengkritik sikap lamban pemerintah atas aturan penelitian alat kesehatan dan uji klinis terhadap manusia. Selama 7 tahun, ia menunggu aturan yang dimaksud, tapi sampai saat ini belum dibuat oleh pemerintah, padahal penelitian dan riset klinis terhadap manusia bisa dianggap penting.

"Dan kita disalahkan karena tidak mengikuti standar aturan yang benar, sementara aturannya sudah 7 tahun tak dibuat," keluh Warsito.

Meski sudah pasrah dan merumahkan sebagian besar karyawannya, akhir Januari lalu, Warsito mengaku tetap berupaya untuk mencoba menggulirkan aturan klinik riset. Dia mengatakan sedang mencoba melalui Asosiasi Peneliti Kesehatan Indonesia (Apkesi).

Pemerintah panik

Setelah Warsito menjejakkan kaki di Warsawa, dia mengaku dihubungi perwakilan kementerian dan pemerintah. Intinya, kata dia, mereka seperti menyesali kenapa dia memutuskan menggulirkan pelatihan ECCT di manca negara.

"Ada (yang menghubungi). Sepertinya panik juga, terutama Kemenristekdikti. Tapi ya apa boleh buat," kata Warsito kepada VIVA.co.id, Rabu malam, 10 Februari 2016.

Sementara perwakilan Kemenkes mengaku tak tahu kepentingan Warsito pergi ke luar negeri.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes, Siswanto, mengatakan, tidak mengatahui detail apa yang dilakukan Warsito di Warsawa, Polandia.

"Saya tidak tahu ke luar negeri itu dalam rangka apa. Apakah ECCT akan dikembangkan di situ (Polandia). Yang saya pahami bukan itu (Warsito hengkang ke luar negeri)," kata Siswanto kepada VIVA.co.id, Kamis 11 Februari 2016.

Siswanto mengatakan polemik teknologi antikanker yang dikembangkan Warsito sebenarnya sudah terang dan jelas dalam jumpa pers awal Februari dengan melibatkan kementerian yang mengevaluasi. Saat itu, dua kementerian dan Warsito sepakat untuk meneruskan evaluasi teknologi dan riset antikanker yang sebelum selesai.

"Teknologi antikanker (ECCT) itu kan diklaim untuk terapi kanker, maka perlu ada penanganan khusus. Jadi, bukan (riset) dihentikan, tetapi dikawal terus," ujar Siswanto.

Dia menjelaskan, riset teknologi antikanker perlu dikawal, agar sesuai tahapan yang benar dalam kategori alat kesehatan.

"Jadi, alat itu (Warsito) kan sesuai kategori (alat kesehatan), itu masuk dalam kelas tiga. Untuk bisa membuktikan atau tidak dalam manusia, harus melalui tahapan pra dan uji klinik," kata dia yang tak bsia memastikan berapa lama lagi evaluasi bakal tuntas.

Siswanto menolak spekulasi evaluasi teknologi antikanker Warsito oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi itu, disebabkan karya pria asal Karanganyar, Jawa Tengah itu bakal mengancam eksistensi industri farmasi besar.

"Sama sekali tidak (ancam industri farmasi)" tegas Siswanto.

Pejabat lembaga litbang Kemenkes itu mengatakan, evaluasi teknologi antikanker Warsito dilakukan, karena pengembangan alat terapi kankernya harus dipastikan aman bagi pasien terapi.

Alat terapi kanker yang dibuat Warsito, kata Siswanto, masuk dalam kategori alat kesehatan kelas tiga. Untuk bisa membuktikan atau tidak aman dalam manusia, harus melalui tahapan pra dan uji klinik.

Terkait aturan yang dinanti-nanti Warsito, Siswanto justru mengatakan sudah ada regulasi yang mengatur tentang proses alat kesehatan. Aturan yang menjangkau teknologi antikanker Warsito saat ini adalah Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1990/Menkes/PER/VIII/2010 tentang Izin Edar Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga.

Dalam aturan itu, alat terapi kanker besutan Warsito termasuk kategori alat kesehatan kelas tiga, yang mana ketentuannya harus melalui tahapan uji klinik.

"Pedoman di dalamya itu sesuai dengan kententuan WHO, metodologi riset. Ini standar internasional," kata Siswanto.

Jalan panjang uji teknologi

Siswanto mengungkapkan sebuah inovasi bidang kesehatan melalui tahapan panjang untuk sampai benar-benar menjadi produk akhir.

Dia mengatakan untuk menguji teknologi antikanker Warsito, tahapan pertama sebelum diterapkan ke manusia yaitu soal desain alat terapi kanker. Apakah desain itu sudah benar atau belum, frekuensi listriknya sudah optimal atau belum dan berapa lamanya paparan listrik yang dihasilkan.

"Tahapan itu dicoba di sel kanker di laboratorium, atau In Vitro," jelas Siswanto. Setelah berhasil dalam satu sel, maka teknologi itu juga harus diuji cobakan ke jenis sel kanker lainnya.

Kalau tahap laboratorium itu sudah terbukti, maka tahapan selanjutnya adalah pengujian pada hewan. Jika ada bukti keampuhan teknologi itu pada tahap ini, maka baru bisa diujicobakan dalam tubuh manusia.

Namun, perlu dicatat, uji cona dalam tubuh manusia juga bertahap. Pertama diterapkan pada orang yang sehat, kemudian pada orang yang menderita kanker.

"Tapi pada orang kanker ini harus ada pembanding terapinya. Harus ada (terapi lainnya)" kata dia.

Kemudian setelah tahapan itu terbukti, masih diuji cobakan pada orang dengan sampel yang lebih banyak. Setelah tahap ini terbukti, maka teknologi antikanker warsito itu baru busa disebut sebagai produk baru atau standar.

Minim Fasilitas Kemo, Sulit Tekan Angka Penderita Kanker

"Jadi tak langsung jadi ya," kata dia.  

Proses itu dikatakan tak bisa dijalankan dalam waktu singkat, dalam hitungan bulan.

Gen Hiu Kandung Senyawa Antikanker

Siswanto pun meminta masyarakat melihat contoh terapi kanker yang telah lahir melalui sejumlah tahapan, yaitu Novocure Clinical Trial yang berasal dari Amerika Serikat.

"Itu sama seperti punya Pak Warsito, terapi listrik, melalui TTF (Tumor Treating Fields)" kata Siswanto.

Terapi Intervensi untuk Kurangi Nyeri Penderita Kanker

Terlepas dari evaluasi yang dilakukan pemerintah, Warsito pernah menuliskan curhatnya sebagai peneliti dalam surat terbukanya.

‘Larangan’ mengembangkan teknologi antikanker tersebut, membawa ingatan Warsito pada 12 tahun lalu saat berjuang keras memulai mengembangkan terapi kanker tersebut.

Dalam suratnya, awal Desember 2015, dia menuliskankan, saat baru memulai membina riset di Indonesia selama 6 bulan, ia sangat shock saat data riset hasil kerjanya selama 15 tahun hilang dari komputernya.

Saat itu pun, Warsito mengaku langit bagaikan runtuh. "Seolah-olah mengatakan: 'Tak ada tempat buat saya di Indonesia'," tulis Warsito dalam suratnya kepada VIVA.co.id. Kini 13 tahun lewat dari masa awal pengujiannya, karya Warsito masih belum mendapatkan tempat di Indonesia.

penyakit kanker

Tak Perlu Keluar Negeri, Indonesia Kini Punya Terapi Kanker Gunakan Teknologi Tenaga Nuklir

Kanker merupakan penyakit yang paling banyak menyebabkan kematian di seluruh dunia. Di 2018 kasus kan meningkat 28 persen di Indonesia. Pada 2021, lebih dari 2 juta kasus

img_title
VIVA.co.id
19 Oktober 2022