Bawa Isu Minyak Sawit ke Belanda, Gubernur Isran Noor: Bukan Lingkungan, Tapi Persaingan

Gubernur Kalimantan Timur, Dr H Isran Noor
Sumber :
  • Pemprov Kalimantan Timur

VIVA – Isu minyak sawit juga dibawa Gubernur Isran Noor ke Belanda. Pasalnya, hingga saat ini, Indonesia masih kerap mendapatkan ‘teror’ dalam bisnis kelapa sawit dari negara-negara Eropa. Mereka berulang kali membawa isu lingkungan dan pengrusakan hutan.

Potensi Besar Ekspor Seafood RI, Aruna Pede Bidik Pasar Global

“Menurut saya, ini bukan persoalan lingkungan dan pengrusakan hutan, tapi kompetisi,” kata Gubernur Isran Noor di Kedutaan Besar Republik Indonesia Denhaag, Senin (17/7/2023)

Alasan Gubernur, bila dibandingkan dengan minyak matahari yang banyak diproduksi di Eropa, sawit lebih ramah dari sisi lingkungan. Pertama karena sawit bisa bertahan hidup selama 25 tahun, bahkan 30 tahun. Selama itu pula, sawit tetap menjadi pohon, meski homogen.

Sosok 'Jenderal Pembangkang' pada Masa Rezim Soeharto, Kini Raih Pangkat Bintang 5

Kalau bunga matahari, setiap enam bulan dipanen. Saat itu hutan dibuka kembali, karena harus dipanen.

“Kalau sawit tidak. Selama 25 tahun dia akan tetap menjadi pohon untuk menahan hantaman panas matahari, penguapan terbatas dan kalau ada air hujan dia akan menyerap air,” beber Gubernur Isran Noor.

Terinspirasi Langkah Indonesia, Amerika Serikat Suarakan Penundaan dan Perubahan Kebijakan EUDR

Persaingan yang diyakini Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia itu adalah tentang produktivitas dan produksi. Sebab satu hektare sawit sama dengan 10 hektare minyak matahari. Jadi sesungguhnya, minyak matahari tidak mungkin bersaing dengan minyak sawit.

Ditegaskan juga bahwa penanaman sawit juga selalu mengacu pada kaidah-kaidah lingkungan. Salah satunya, sawit tidak ditanam di kawasan hutan, tapi kawasan nonkehutanan, yakni areal penggunaan lainnya (APL). Sayangnya, banyak kelompok-kelompok di dalam negeri yang justru memberikan data dan informasi yang salah ke Eropa.

Gubernur mengungkapkan produksi crude palm oil (CPO) Indonesia mencapai 55 juta ton per tahun. Sebesar 20 juta ton digunakan untuk keperluan dalam negeri sebagai bahan baku minyak goreng dan biodiesel. Sisanya diekspor.

“Dari 35 juta ton ekspor itu, hanya 8 persen yang diekspor ke Eropa, kecil sekali. Kalau saya dijadikan juru runding pemerintah, tidak usah saja ekspor ke Eropa,” sindir Gubernur.

Menjawab keluhan Ketua Umum APPSI itu, Duta Besar (Dubes) Republik Indonesia Denhaag Mayerfas meminta agar produksi dan ekspor CPO ke Belanda dan Eropa tetap dilanjutkan.

“Tanpa sawit, mereka pasti sulit. Beberapa waktu lalu, ketika kita stop dua bulan, mereka (Eropa) teriak,” kata Dubes Mayerfas.

Belanda sendiri kata Mayerfas, menjadi partner utama perdagangan Indonesia di Eropa. Tahun lalu ekspor Indonesia mencapai USD 65 miliar dan surplus sebesar USD 5 miliar. Belanda juga merupakan investor terbesar Eropa ke Indonesia, termasuk besarnya kunjungan wisatawan ke Tanah Air. Jumlahnya berkisar 250 ribu per tahun. Wisatawan dari Belanda berkunjung ke berbagai daerah di Indonesia, bukan hanya Bali.

“Jadi lanjutkan saja sawitnya Pak Gubernur. Yang pasti, Belanda akan terus memberi banyak nilai tambah secara ekonomi untuk Kaltim dan Indonesia,” tutup Mayerfas.

Hadir bersama Gubernur Isran Noor, Wakil Gubernur Sulawesi Tengah Ma’mun Amir, Ketua DPRD Kaltim Hasanuddin Mas’ud, Sekda Kaltim Sri Wahyuni dan Ketua Dewan Pakar APPSI Prof Ryas Rasyid.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya