- VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi
VIVA.co.id – Akhir bulan lalu, 31 Januari 2016, Nahdlatul Ulama (NU) memperingati hari jadinya yang ke-90 tahun. Ibarat usia seorang manusia, NU tak lagi muda. Dalam perjalanannya, NU telah mencatatkan diri sebagai organisasi yang aktif dalam pembangunan republik. Prestasi dan nama besar NU sebagai organisasi, disertai pula oleh perjuangan para tokoh besarnya, K.H Hasyim Asy’ari, K.H Ahmad Shiddiq, K.H Abdurrahman Wahid (Gusdur), dan K.H Mustofa Bisri (Gus Mus) merupakan sedikit dari sederet nama besar tokoh NU.
Mempelajari, meneladani, dan meneruskan perjuangan NU sudah selayaknya menjadi tugas kita bersama. Sebagai masyarakat yang beradab, mari kita tunaikan kewajiban tersebut melalui berpikir dan bersikap kritis terhadap organisasi NU itu sendiri.
NU merupakan organisasi kemasyarakatan Islam yang berpijak pada ajaran Ahlussunnah wal Jamaah. Sebuah ajaran yang menghendaki adanya Sami’na wa Atho’na (kami dengar, maka kami taat). Singkatnya, NU kental akan nilai-nilai kepatuhan. Kepatuhan ini terjalin antara hubungan santri/penganut NU (masyarakat NU) dengan kiai.
Menurut hemat penulis, hubungan kepatuhan antara kiai dan masyarakat NU mengandung nilai ganda yang kontraproduktif. Dalam politik misalnya, masyarakat NU sami’na wa atho’na pada keputusan kiai. Entah, terlepas baik atau buruknya keputusan tersebut. Apapun yang menjadi keputusan kiai, keputusan itulah yang juga menjadi keputusan masyarakat NU. Sami’na wa atho’na: masyarakat dengar, maka masyarakat taat.
Hubungan masyarakat NU dengan kiai membentuk patronase yang teramat kuat. Pada ranah praksis, hampir di setiap momentum politik-pemilu, sowan para politisi kepada kiai acapkali diselenggarakan. Tak lain, tujuannya adalah untuk memperoleh “restu suara” kemenangan.
Dari paparan di atas, kita perlu meletakkan nilai kepatuhan sebagai nilai yang membawa konsekuensi logis tersendiri bagi masyarakat NU. Di satu sisi konstruktif sebagai pengejawantahan dari sikap/perilaku hormat, tetapi di sisi lain destruktif karena menjerat kebebasan individu (baca: kebebasan masyarakat NU). Signifikansi pengaruh hubungan patron-klien ini menyeret NU pada sebuah dilema kolektivistik; kepatuhan yang membelenggu kebebasan individu.