- U-Report
VIVA.co.id – Matahari malas membakar siang. Setelah tergelincir di arah barat ia membisu. Sementara awan terapung resah, menaungi langkah-langkah kakiku yang gontai. Pantofel bututku bergerak liar, menyusuri trotoar yang lebih tepat disebut kawasan pedagang kaki lima. Warung-warung tenda berjejer tak rapi.
Kebanyakan menjajakan makanan pengenyang perut dengan harga murah. Di antaranya, tempat tambal ban, kios rokok, dan pengecer bensin. Tiga perempat lebar trotoar dimakannya, sisanya diperebutkan antara pejalan kaki dan motor yang terparkir liar.
Aku yang seharusnya berhak atasnya, justru harus mengalah. Sesekali aku turun ke jalan raya yang dipenuhi lubang-lubang menganga. Sungguh ironi. Jalan akses ke kawasan industri kondisinya sangat mengenaskan. Hampir sebagian aspalnya mengelupas. Sejauh mata memandang seperti jerawat yang tumbuh di wajahku. Bahkan lebih parah.
Setiap hari truk-truk besar berlomba merusaknya. Aspal yang tergerus menunggu hujan menyapunya ke selokan yang bersampah. Tak ada kabar pasti kapan akan diperbaiki. Isu yang berkembang katanya, jalan ini akan dibeton. Entah kapan, aku tak peduli. Pabrik-pabrik itu juga tak peduli denganku. Mereka hanya mementingkan laba. Tak peduli limbah dan polusi meracuni warga sekitar. Kawasan industri ini sudah berdiri ketika aku lahir.