Memimpin Indonesia Tanpa Utang

- Halomoney
VIVA – Saya mengatakan, pemimpin hebat ialah pemimpin yang dapat memanfaatkan serta mampu mengelola sumber daya yang ada, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, tanpa bantuan dari manapun yang mengharuskan berutang. Teman saya pun menimpali dengan celotehannya, bahwa jika hanya membangun negara dengan cara berutang 'anak SD' juga bisa. Begitulah sebagian bunyinya ketika kami berdiskusi bebas sambil menyeruput secangkir kopi panas beberapa minggu lalu.
Utang negara Indonesia yang tidak pernah terlunasi dan semakin meningkat dari tahun ke tahun memang menjadi diskursus yang terus dilontarkan masyarakat. Menariknya, Indonesia saat ini masih menganut kebijakan ekspansif, yakni belanja atau pengeluaran lebih besar daripada penerimaan negara. Akibatnya terjadi defisit fiskal yang harus dibiayai dari utang.
Ketika ditanya kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawari, “Kapan kita akan berhenti pinjam?” Sri Mulyani menjawab, "Saya akan berhenti pinjam kalau pendapatan kita lebih dari belanja," Begitulah jawabannya seperti diberitakan di beberapa media.
Penyataan menteri keuangan ini memang jawaban logis yang sederhana, namun juga membuat pusing kepala saya. Lantaran muncul berbagai pertanyaan-pertanyaan baru yang begitu banyak tentang bagaimana mewujudkan pendapatan lebih itu. Bukan hanya pusing, melainkan membuat telinga sakit. Ibu Sri Mulyani juga mengatakan, "Untuk membangun Indonesia membutuhkan anggaran belanja infrastruktur yang tinggi. Dan untuk membangun, penerimaan itu tidak datang dari langit," ujarnya.
Pemerintah saat ini terus memperbaiki rasio pajak atau tax ratio untuk meningkatkan pendapatan. Tax ratio sebagai indikator jumlah pembayar pajak memang masih tergolong rendah, di kisaran 11 persen. Ini berarti masih besar peluang untuk meningkatkan penerimaan pajak. Pertanyaannya, cukupkah hal itu (pajak) untuk mengatasi utang negara? Termasuk hasil dari program tax amnesty, sudahkah efektifkah? Nyatanya utang tetaplah utang yang terus meningkat dan harus dibayar.
Komitmen pemimpin negara sangatlah perlu dalam mengatasi persoalan utang negara. Pemimpin negara perlu berkomitmen dan berkata, "Indonesia tidak akan lagi berutang". Dengan begitu, dukungan dari rakyat akan mengalir deras, termasuk kesadaran membayar pajak. Tidak merasa muak dengan kenaikan tarif listrik demi negaranya yang bebas utang.
Namun, jika komitmen itu tidak ada, dengan dilanjutkannya kebijakan "utang dan utang", maka nihil hasilnya. Bukankah Tuhan sudah mengatakan, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka” (QS. 13:11).