Kisah Sukses Penyandang Difabel Jadi Driver Ojek Online
VIVA – Kebutuhan ekonomi yang semakin besar dan terbatasnya akses kerja bagi mereka penyandang difabel, menjadi tantangan tersendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Adalah Dede Atmo Pernoto, seorang bapak asal Karangjati Tarub, Tegal, Jawa Tengah yang akhirnya memilih profesi menjadi driver Go-Jek untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Pria yang akrab disapa Dede Yusuf oleh teman-temannya ini, memutuskan untuk menjadi mitra Go-Jek setelah sekian lama menggeluti berbagai macam pekerjaan. Kegagalan demi kegagalan yang ia alami dalam menjalankan pekerjaannya tersebut, akhirnya membawanya berlabuh pada Go-Jek. Meskipun baru dua bulan menjadi driver Go-Jek, namun bapak satu anak ini mengaku bahwa Go-Jek menjadi satu-satunya solusi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya.
"Saya waktu itu mendaftar ketika saya ada kebutuhan ekonomi yang mendesak. Dan pekerjaan saya yang lama tidak bisa memenuhinya. Kemudian, saya melihat peluang dari Go-Jek dan saya mendaftar lewat SMS. Akhirnya, saya datang ke kantornya, Alhamdulillah diterima. Tapi saya harus melengkapi SKCK saya," ujar pria berusia 40 tahun ini.
Dede melanjutkan, yang membuat dirinya tertarik menjadi mitra Go-Jek yakni karena sistem di perusahaannya yang tidak sama dengan perusahaan lainnya, yang membutuhkan ijazah dari institusi pendidikan. Hanya dibutuhkan persyaratan dokumen kelengkapan seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan Surat Catatan Keterangan Kepolisian (SKCK).
Untuk kendaraannya sendiri, Dede sengaja membuat motor roda tiga yang membantu dirinya bekerja mengantar penumpang. Motor roda tiga tersebut diakuinya, sudah dibuat jauh-jauh hari sebelum dia masuk Go-Jek. "Kebetulan waktu itu saya ada rezeki. Saya buat motor roda tiga ini. Alhamdulilah, enggak lama dipanggil kerja di Go-Jek," ujarnya sambil tersenyum.
Dalam kesehariannya menarik penumpang, tak jarang Dede mendapatkan pengalaman menarik. Dari mulai penumpang yang kaget karena dirinya difabel, cancel order karena si penumpang takut celaka, sampai penumpang yang dermawan memberikan ongkos lebih kepada Dede. Itu semua dijadikan pengalaman olehnya.
Kini, dengan menjadi driver Go-Jek yang beroperasi di wilayah Tegal, Dede mengaku sudah bisa memenuhi kebutuhan hidup istri dan anaknya. Dede mengakui, peran Go-Jek dalam hidupnya saat ini sangat luar biasa. Bahkan, sebagian uang penghasilannya saat ini, bisa disisihkan untuk menabung. Hasil tabungan yang sedikit demi sedikit yang ia sisihkan tersebut, diakuinya untuk menyekolahkan anak-anaknya hingga menjadi sarjana kelak.
"Anak saya harus lebih dari saya. Dengan adanya saya bermitra dengan Go-Jek, saya bisa menabung untuk masa depan anak-anak saya nanti. Ya, jangan sampai seperti bapaknya. Sekolah yang tinggi dan jadi orang berguna untuk orang banyak," ujar pria yang pernah bekerja sebagai penjual rokok, penjual pakan burung, dan penyemir sepatu dengan kursi roda.
Dia pun berjanji akan bekerja dengan sepenuh hati menjadi driver Go-Jek yang setiap hari mengangkut penumpang yang berbeda. Keterbatasan, bukan menjadi penghalang baginya untuk bekerja demi orang-orang yang ia cintai. Meskipun dia pernah diprotes oleh keluarga yang memintanya untuk bekerja di profesi yang lain, namun Dede yakin, derajat keluarganya bisa terangkat dengan pekerjaannya saat ini.
Saat ini, selain bekerja sebagai pengemudi ojek online, Dede juga disibukkan dengan kegiatan organisasi yang giat mengawal isu difabel dan kusta. Kelompok Difabel Slawi Mandiri (DSM) merupakan nama organisasi yang diampunya bersama kawan-kawan difabel lainnya.
Banyak kegiatan yang ia lakukan bersama rekan-rekan difabel lainnya demi mendapatkan penyamarataan status dengan orang normal. Salah satunya dengan mengadvokasi masyarakat soal pendidikan, identitas, dan kartu sehat yang layak diterima oleh masyarakat yang difabel.
"Di sini banyak kantor yang belum ramah difabel. Masih belum ada perhatian terhadap kaum seperti kita. Itu sering kami suarakan. Kalau untuk pendidikan, kami menyuarakan agar sekolah-sekolah umum itu bisa menerima murid-murid yang difabel. Sedangkan untuk KTP, kami suarakan betul. Karena kalau mereka tidak punya KTP, mereka tidak bisa punya kartu sehat dan tidak terdaftar juga sebagai penduduk Indonesia," jelasnya.
DSM sendiri, Dede menjelaskan, sudah 8 tahun berdiri di Slawi. Dan saat ini memiliki 150 anggota. Tak hanya kegiatan advokasi saja yang ia jalankan bersama rekan-rekannya, namun juga kegiatan rutin lainnya. Seperti sharing sesame anggota difabel, senam, pentas seni, dan pendataan-pendataan.
Baginya, menjadi bagian dari DSM dan Go-Jek, tidak membuatnya lelah dan merasa jenuh. Karena baginya, ketika tubuh dan pikirannya bermanfaat untuk orang lain utamanya untuk sesama kaum difabel, ada kebanggaan tersendiri yang dirasakan. "Prinsip saya satu. Meskipun saya seperti ini, tapi saya ingin sekali bermanfaat, berguna buat orang lain. Ketika saya terbatas, saya tidak mau merugikan mereka yang normal," tutupnya. (Tulisan ini dikirim oleh Glien Mourinsie)