Ibuku, Ibu Hajar dan Ismail

Kisah ibu dan anak.
Sumber :
  • vstory

VIVA.co.id - Kring, kring ringtone khas ini berbunyi. Di layar HP muncul nama Eyang Putri. Ibu menelpon dari dusun halaman.

Arab Saudi Tak Hanya Tutup Akses Haji pada RI tapi Juga Negara Lain

"Le, waras kabeh?" Sapa Ibu membuka obrolan siang 13 Dzulhijjah. Tole, demikian Ibu memanggil anak lelakinya ini.

Ibu dan juga ayah tidak bisa ber-WA. Mendengar suara anak cucunya sudah cukup membahagiakan mereka. Salah satu "hobi" di hari tuanya, menelpon anak cucunya. Seperti siang kemarin, setiba di Mekah dari Mina, Ibu menelpon anak mbarepnya ini.

DPR Tuding Menteri Agama Tak Tahu Undang-Undang karena Batalkan Haji

"Iki ayahmu melok ngerungokno," ungkap Ibu. Keduanya sering me-loud speaker HP saat telepunan sama anak-anaknya agar bisa bersama-sama mendengarkan setiap obrolan jarak jauh.

Dalam obrolan Ibu sempat membandingkan nafar awal di zamannya haji akhir 1980. Saat itu jemaah harus ke Mekah untuk Thawaf Ifadah setelah Jumrah Aqabah baru kembali ke Mina untuk lempar jumrah berikutnya.

Haji 2020 Ditiadakan, Bagaimana Nasib Puluhan Ribu Calon Haji Jatim?

Saya jelaskan. Zaman sudah berubah. Demi maslahah untuk jemaah yang jumlahnya terus bertambah dan pertimbangan arus lalu kepergiaan jemaah, Thawaf Ifadah dilakukan setelah semua lempar Jumrah selesai semua. Kecuali untuk para jemaah haji "khusus."

"Ibu mambengi wetenge luoro gak karuan. Tak celuki peyan. Moro-moro waras. Pas lapo mambengi. Ndungakno Ibu tah le."

"Kulo mantun thawaf Ifadhah kale Sai Bu." Ya selepas Thawaf hampir tengah malam, saya bersimpuh di Multazam memanjatkan permintaan agar penyakit yang mengganggu Ibu diangkat.

Saya memohon di tempat Mustajab itu umur yang panjang untuk Ayah Ibu dan agar Yang Maha Penyayang berkenan menyayangi keduanya yang hingga kini tanpa berharap apa-apa, tetap menyayangi kami, anak-anaknya.

"Nyetrum berarti yo Le," ujar Ibu terbata-terbata seperti sedang akan menangis. Sebelum mengakhiri pembicaraan, kami lanjut bercerita tentang Sai. Ibu teringat Desember tahun lalu saat kami bareng-bareng umrah.

Saat itu, Ibu yang dari awal semangat melaksanakan umrah dari Hotel, mendadak merasa gak confidence dan pengen naik kursi roda selepas Thawaf.

"Ibu pegel Le. Gak kuat rasane." Segera saya nyari jasa pendorong kursi roda di dekat Shofa. Akhirnya kami sekeluarga pun terpisah. Ayah bersama Istri dan anak2, saya mengawal Ibu didorong oleh petugas kursi roda melibas ruas jalan khusus di Masa'a.

Kata melibas ini menggambarkan betapa cepatnya langkah si pendorong roda waktu itu.

"Ibu aminkan saja. Kulo sing ndungo. Robbighfir, warham, wa'fu, watakarram, watajawaz.." saya membaca doa setengah berlari mengikuti laju kursi roda ibu. Selesai, Sa'i hanya kami berdua. Ibu mengelus-elus kepalaku, persis saat kecil dulu.

Seperti Ibu Hajar yang mondar mandir dari Shofa dan Marwa untuk mencari sesuatu buat anaknya Ismail, Ibu saya juga melakukan hal sama. Sebagai guru, Ibu setiap hari "sa'i" dari rumah di Beji ke Pasuruan dan sebaliknya.

Ibu mengajar agama di SDN Kandang Sapi kemudian pindah mengajar di SMPN 1 Pasuruan. Kedua skolah ini dekat dengan terminal Bus Pasuruan sehingga Ibu tinggal melangkah tanpa harus "over" naik angkutan kota.

Berbeda dengan Ibu Hajar dalam jarak tempuh, dalam "sa'inya" ibu harus menempuh jarak sekitar 23 KM. Ibu Hajar jalan kaki, Ibu naik bus bernama Tjipto, Scala, Laju, Akas.

Ibu sesekali jalan kali dari jalan raya skitar 1 KM ke rumah, jika ayah atau Pak Lik tidak menjemput. Jarak tempuh "sai" ibu memendek setelah pindah ngajar di MAN Bangil hingga akhirnya purnatugas sebagai guru.

Salah satu yang terekam di memori, Ibu dulu sering membawa boneka kecil, beberapa lembar kecil kain putih dan kapas. "Ini untuk praktik memandikan dan mengafani jenazah," ungkap Ibu.

Jika Ibu Hajar meninggalkan zamzam yang terus mengalir utk kita anak cucunya, Ibu meninggalkan kenangan kepada murid-muridnya.

Setiap lebaran atau libur akhir tahun, rumah Ibu tak pernah sepi dari kunjungan murid-muridnya. Mulai yang sudah jadi jenderal sampai yang biasa memandikan dan mengafani jenazah.

Ibu, sebagai ismailmu, aku memang tak bisa senurut dan setulus Ismailnya Ibu Hajar. Ismail sosok pilihan, saleh, dan baktinya kepada orang tua tak bakal ditemukan padanannya. Dari garis keturunan Ismail, lahir kemudian Sang Penerang Zaman, Muhammad.

Ibu, sebagai Ismailmu aku memohon kepada Yang Menjaga Ibu Hajar agar Ibu diparingi panjang umur dan nyaman beribadah, agar dapat mendoakan anak cucumu.

Seperti Ibu Hajar yang melahirkan Ismail kemudian Muhammad di kemudian abad, Ibu pun insyaallah akan melahirkan Ismail-Ismail lain yang saleh individunya dan manfaat buat sesama. Amiin. (Ahmad Muhibbuddin, Alumni Madrasah Aliyah Program Khusus Jember dan UIN Syahid Jakarta)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.