Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan

Ekonomi Berkelanjutan
Sumber :
  • vstory

VIVA – Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (2016-2019) menitikberatkan pembangunan ekonomi yang memperkuat ketahanan pangan, energi, dan air, pembangunan maritim dan sumber daya kelautan serta mempertahankan keanekaragaman hayati dan kualitas lingkungan hidup.

Pemberlakuan Tax Holiday saat Pajak Minimum: Untung atau Buntung?

Berbagai kebijakan dan dokumen untuk merealisasikan rencana tersebut di antaranya program ekonomi hijau, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH 2009), Undang-Undang Perencanaan Ruang (UU PR 26/2007), program One Map dan One Data, Program REDD+ Indonesia, pengukuhan Kawasan Hutan, program WAVES yang dikoordinasikan World Bank, dan inisiatif desentralisasi.

Namun, dalam pelaksanaannya, Indonesia masih kesulitan dalam menghubungkan isu lingkungan dan ekonomi untuk saling terintegrasi. Saat ini, penghitungan PDB Indonesia belum melibatkan faktor kerusakan lingkungan sebagai faktor pengurangnya. Pemerintah masih fokus untuk terus mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan peningkatan akumulasi modal investasi.

Ketertarikan China terhadap Minyak Nigeria

Di dalam struktur PDB lapangan usaha Indonesia triwulan III tahun 2019, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan merupakan sektor kedua terbesar penyumbang PDB sebesar 13,45 persen. Klasifikasi sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan mencakup segala pengusahaan yang didapatkan dari alam dan merupakan benda-benda atau barang-barang biologis (hidup) yang hasilnya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri atau dijual kepada pihak lain. Subesektor perkebunan memiliki kontribusi terbesar di dalam PDB pertanian.

Besarnya kontribusi subsektor perkebunan di dalam sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan berkorelasi positif terhadap besarnya lahan hutan yang dialihfungsikan. Berdasarkan data BPS melalui publikasi Sistem Terintegrasi Neraca Lingkungan dan Ekonomi Indonesia 2013-2017, mayoritas terjadi pengurangan tutupan lahan berupa hutan dan lahan pertanian, meliputi pertanian lahan kering bercampur semak, hutan lahan kering sekunder, hutan rawa sekunder, dan pertanian lahan kering. 

Bantu Perangi Terorisme di Afrika, Adakah Niat Terselubung Amerika?

Sebaliknya terjadi penambahan pada lahan perkebunan, permukiman, hutan lahan kering primer dan sawah. Adanya penambahan pada lahan perkebunan disebabkan aktivitas pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit baru yang merupakan komoditas unggulan Indonesia.

Pengurangan luas tutupan lahan hutan memberikan dampak terhadap keberlangsungan ekosistem hutan. Meskipun merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui, pemanfaatan dan pengelolaan harus tetap memperhatikan keseimbangan dan kelestarian ekosistem. Pemanfaatan hutan yang berlebihan hingga menyebabkan kerusakan alam akan menjadi ancaman bagi seluruh makhluk hidup.

Sepanjang tahun 2013 hingga 2017, luas tutupan hutan yang hilang di Indonesia sebesar 3.032.493 hektar atau berkurang 1,58 persen. Informasi mengenai luas tutupan hutan dan luas tutupan yang hilang menjadi indikator dalam mengevaluasi poin Sustainable Development Goals (SDGs) nomor 15 tentang melindungi, memulihkan, dan meningkatkan pemanfaatan secara berkelanjutan terhadap ekosistem darat, mengelola hutan secara berkelanjutan, memerangi desertifikasi, dan menghentikan, memulihkan degradasi hutan dan menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati.

Tantangan Perekonomian Indonesia

Ke depannya, perekonomian Indonesia dituntut tidak hanya memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi juga memperhatikan faktor lingkungan sebagai bagian dari pembangunan ekonomi berkelanjutan. Pembangunan ekonomi berkelanjutan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kualitas kehidupan, dengan tanpa harus membahayakan kemampuan generasi mendatang.

Pengukuran ekonomi melalui Produk Domestik Bruto (PDB) seharusnya diperluas dengan memperhatikan penipisan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan, supaya mampu memberikan gambaran secara keseluruhan terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan.

Produk Domestik Bruto (PDB) yang memperhatikan penipisan sumber daya alam dapat dibangun melalui Sistem Neraca Lingkungan (SISNERLING). Saat ini SISNERLING telah dipublikasikan oleh BPS mulai dari tahun 2007 hingga 2017. Namun, tantangan terbesar di dalam penyusunan SISNERLING adalah sulitnya memperoleh keterbukaan data yang diberikan baik oleh pemerintah maupun pihak swasta. BPS perlu membentuk kesepakatan bersama kementerian/Lembaga lain dan pihak swasta di dalam penyusunan neraca lingkungan tersebut.

Penyusunan SISNERLING berpedoman pada System of Environmental Economic Accounting (SEEA) yang meliputi neraca arus fisik, neraca fungsional untuk transisi lingkungan, neraca aset dalam satuan fisik dan moneter, dan neraca ekosistem. Aspek yang paling sulit dalam pengambilan keputusan di sektor lingkungan hidup adalah memutuskan trade-off antara aset lingkungan yang digunakan untuk menyediakan beragam barang dan jasa non-pasar, termasuk jasa ekosistem.? Valuasi nilai aset lingkungan menggunakan metode nilai neto saat ini (net present value) dari ekspektasi pendapatan masa depan dari penggunaan aset lingkungan.

Penyusunan neraca lingkungan yang komprehensif dan terintegrasi ekonomi dapat menjadi solusi terhadap permasalahan penghitungan ekonomi berkelanjutan. Informasi yang diberikan diharapkan dapat menjadi dasar pembuatan kebijakan ekonomi Indonesia yang mulai memperhatikan faktor kerusakan lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam sehingga ekonomi Indonesia dapat terus tumbuh dan dirasakan generasi mendatang.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.