Semua Orang Pernah Menjadi Radikalis

Gambar apa gerangan?
Sumber :
  • vstory

VIVA – Dimanakah Tuhan berada? Apakah Tuhan mempunyai rumah? Bisakah dede bertemu dengan Tuhan? Tiga pertanyaan mengenai Tuhan ini mewakili sifat mendasar dan mengakarnya pertanyaan yang dilontarkan seorang anak kecil, usia sekolah dasar. Demikian juga dengan pertanyaan terhadap asal muasal dirinya sendiri.

Pembelajaran Berdiferensiasi dan Upaya Menumbuhkan Potensi Peserta Didik

“Dari mana dede berasal?” 

"Dari perut ibu?"

Terima Penghargaan karena Menangkan Capres 5 Kali Beruntun, Denny JA Beri Pesan Politik

"Kok bisa tiba-tiba ada di perut Ibu?"

^=^&$#

Membongkar Tuduhan Pratikno sebagai Operator Politik Jokowi, Strategi untuk Menjatuhkan

Juga sejumlah pertanyaan lain yang tidak jarang membuat orang tua yang mendapatkan lontaran pertanyaan ini kewalahan untuk menjelaskannya.

Pertanyaan mendasar dan mengakar inilah menjadi ciri filsafat, yaitu (pertanyaan) radikal.  Radikal sendiri berasal dari bahasa latin, yaitu radix yang berarti akar, dan pertanyaan radikal berarti pertanyaan yang mengakar. Filsafat juga sering diartikan sebagai cara atau seni bertanya (the art of asking). Dalam hal ini, bukan jawaban yang diutamakan tetapi bagaimana cara bertanya itu sendiri yang menjadi kajian filsafat.

Cara bertanya filosofis (mendasar dan mengakar) seperti di atas, sudah dilakukan di masa anak-anak, sehingga tidak salah kalau kita mengatakan bahwa kita semua pernah menjadi seorang filosof. Dan potensi besar dari daya kritis pada anak-anak ini sering kali tanpa disadari dimatikan oleh lingkungannya entah itu orang tua atau siapapun yang merespons pertanyaan-pertanyaan ini dengan sebuah reaksi kejengkelan yang bermanifestasi intruksi untuk diam, “Sttt… jangan banyak tanya”! atau ancaman atas ketidaksiapan dengan jawaban, “Jangan bertanya seperti itu!, pamali!, kuwalat!, murtad!”    

Fenomena bahasa memang sangat menarik. Satu kata, seperti “radikal” tiba-tiba menjadi viral dan hikmahnya adalah semua dari kita kembali kepada potensi awal manusia, masa kanak-kanak, yaitu rasa ingin tahu yang besar dan seterusnya melakukan penelusuruan.

Sebelumnya sempat viral juga kata-kata, seperti: ahsyiapppp, hoax, nurhadi, garing, sontoloyo atau kalimat: Kids jaman now, di situ saya merasa sedih, penista agama, om telolet om dan lainnya. 

Filsafat dianggap barang haram, bukan merupakan isu mutakhir. Dalam sejarah Islam, perdebatan antara 2 cendekiawan Muslim, yaitu Ibnu Rusyd dan Imam Ghazali untuk 3 persoalan tentang Tuhan, alam dan kebangkitan, seolah menjadi momentum menjauhnya filsafat dari mayoritas kalangan Muslim.

Filsafat (pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan secara mendasar dan mengakar), dianggap sebagai perusak iman. Filsafat sudah tidak dianggap lagi sebagai induknya ilmu pengetahuan. Filsafat dianggap mewakili pemikiran barat, bukan datang dari Arab (kelahiran Agama Islam). Filsafat sudah tidak lagi mempunyai kontribusi atas berkembangnya disiplin ilmu dengan tinjauan filsafat ilmu yang melingkupi aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi.

Berbeda dengan cara berpikir radikal, maka radikalisme (adanya tambahan isme=ajaran=paham), justru saat ini dialamatkan kepada sekelompok Muslim dengan cara pandang yang memanipulasi agama (Islam) untuk kepentingan (politik) tertentu. Radikalisme lebih dimaknai dengan kegiatan terorisme dan aksi intoleran.

Jadi jelas, Radikalisme Islam (Muslim) itu bukan di persoalan cara berpikir, namun lebih kepada aksi. Hal ini menjelaskan bahwa radikal berbeda dengan radikalisme (versi politik/sejarah) yang sering berbenturan dengan liberalism. Apalagi dengan “radikal” versi kedokteran/farmasi yang hanya berhubungan dengan atom, senyawa atau zat: radikal bebas.  Atau terpaparnya bidang manajemen dengan istilah radikal strategi dan disain radikal, perubahan radikal yang justru mempunyai spirit dan makna positif.

Ketika anak-anak bertanya secara radikal, maka pemutus aksinya adalah orang tua dan lingkungan terdekat dengan anak-anak. Namun, ketika sekelompok anak bangsa berpaham radikalisme, maka pemerintahlah hakimnya. Ada kesamaan dalam kedua peristiwa ini, yaitu tidak adanya kesamaan persepsi antara anak-anak dengan orang tua juga kelompok masyarakat dengan pemerintah dalam memahami esensi pertanyaan (kasus anak-anak) dan perbedaan istilah radikalisme pada kasus kedua.

Dan perbedaan yang nyata terlihat dalam dua kasus di atas adalah bahwa orang tua rata-rata berhasil mematikan cara berpikir/bertanya radikal anak-anak, sehingga kebanyakan dari anak-anak sudah tidak kritis lagi. Dalam kasus kedua, pemerintah masih kesulitan untuk menangkal aksi radikalisme (versi pemerintah).

Bermula dari Persepsi

Persepsi adalah tindakan menyusun, mengenali, dan menafsirkan informasi sensoris guna memberikan gambaran dan pemahaman tentang lingkungan. Sebuah contoh klasik, sering saya sampaikan di kelas, adalah gambar yang bisa dipersepsi sebagai gambar seorang nenek atau gadis. Setidaknya peserta di kelas yang saya bina, terbagi 3 kelompok persepsi ketika gambar tersebut saya tunjukkan.

Ada yang hanya melihat gambar nenek-nenek, kelompok lain adalah hanya melihat gambar seorang gadis, kelompok berikutnya adalah mereka yang tidak melihat baik kesan gambar nenek ataupun gadis. Jarang sekali ditemui peserta yang dapat mengenali kedua kesan dari gambar yang ditunjukkan, yaitu gambar nenek dan gadis.

Soal persepsi, saya tegaskan tak ada yang salah dari 4 kelompok di atas. Dan ketika dilakukan penyamaan persepsi, maka 3 kelompok di atas segera mengenali, mengakui dan memahami bahwa gambar tersebut dapat dilihat sebagai gambar seorang nenek tua juga sekaligus gambar gadis.

Mengapa persepsi berbeda? Para ahli sudah menjelaskannya bahwa sejumlah faktor (internal dan eksternal) memengaruhi perbedaan dalam hal seorang individu mengenali sebuah kesan untuk sebuah objek tertentu. Salah satunya adalah faktor fisiologi yang menyebabkan kapasitas berbeda setiap individu, dan faktor ini, jelas taken for granted (from The God).

Persepsi juga memegang bagian dari komunikasi. Seperti yang pernah saya sampaikan dalam dua tulisan sebelumnya, bahwa komunikasi adalah ilmu (pertama) dari Tuhan. Di sinilah penyamaan persepsi dalam bentuk komunikasi diperlukan. Sebagai akibat kesalahpahaman atau ketiadaan upaya untuk saling menyamakan persepsi atau berkomunikasi.Maka sejumlah konflik terjadi.

Salah satu yang tidak kalah dahsyatnya adalah ketika daya kritis kita sudah dimatikan oleh lingkungan kita terdekat, semasa kecil. Dan kejadian tragis ini terbawa (terpapar, istilah viral sekarang) ke ranah hubungan pemerintah dan masyarakat. Maka, bersiaplah mempelajari komunikasi. Insyaa Allah dengan komunikasi efektif dna assertif semua perbedaan dan persoalan bisa dimusyawarahkan dan disepakati solusinya.

Insya Allah...

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.