Menakar Demokrasi Indonesia
- vstory
VIVA – Demokrasi, merupakan salah satu aspek yang tertuang di dalam salah satu sila yakni sila ke-4 Pancasila yakni: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.”
Walaupun secara langsung kata “demokrasi” tidak tertulis langsung pada sila ke-4, namun keterwakilan frasa “hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” sangat kental akan makna demokrasi. Tentunya dengan demokrasi yang kuat dengan berlandaskan dasar negara yang kokoh, masyarakat Indonesia jelas mengharapkan demokrasi yang sehat di dalam NKRI.
Lalu, bagaimana keadaan demokrasi Indonesia saat ini? Demokrasi merupakan suatu tatanan hidup masyarakat yang sulit diukur secara objektif. Kita sering mendengar pendapat para pakar demokrasi tentang keadaan demokrasi Indonesia saat ini. Namun darinya didapatkan opini-opini dianggap masih subjektif.
Ditambah, keterwakilan wilayah analisis demokrasi para pakar masih mencakup wilayah-wilayah strategis saja seperti ibu kota negara atau kota-kota besar lain di Indonesia. Untuk itu dibutuhkan suatu penakaran yang lebih representatif serta objektif untuk mengetahui tingkat demokrasi yang sebenarnya.
Menakar Demokrasi
Nyatanya, Indonesia memiliki suatu alat ukur mumpuni yang mampu menakar keadaan demokrasinya sendiri. Bahkan, negara lain pun belum memiliki alat ukur demokrasi yang serinci dan sekomprehensif yang dimiliki oleh Indonesia. Indikator yang selama ini dikenal dengan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI).
IDI dipercaya sebagai pengukur keberhasilan tatanan berdemokrasi di Indonesia. Terbukti, keberhasilan sasaran pembangunan nasional RPJMN 2015-2019 khususnya di bidang demokrasi tercermin dari nilai indeks demokrasi.
IDI merupakan alat pengukuran empiris yang dapat dijadikan landasan pengambilan kebijakan dan perumusan strategi yang spesifik dan akurat di bidang demokrasi dan politik di Indonesia. Indeks ini dihitung oleh BPS dengan stakeholder penggagasnya yakni BAPPENAS, KEMENKOPOLHUKAM, dan KEMENDAGRI. Indeks ini telah merekam maju-mundurnya tatanan demokrasi dan politik nasional sejak 2009 lalu.
Sebagai indikator yang komposit, IDI tergabung dalam tiga aspek sebagai dasar pengukuran. Aspek-aspek tersebut tersusun dari kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga negara. Tiga bagian itu tidak hanya mendeskripsikan demokrasi pada sisi birokrasi saja, melainkan aspek peran masyarakat, lembaga legislatif (DPRD), partai politik, serta lembaga peradilan dan penegak hukum.
Perkembangan demokrasi Indonesia
RPJMN 2015-2019 menetapkan sasaran indeks demokrasi nasional sebesar 75,00 poin. Dalam perkembangan satu dasawarsa terakhir, IDI nasional belum pernah sekalipun sentuh angka tersebut. Angka IDI juga begitu fluktuatif, yang berarti indeks ini beriring-iring dengan pola naik dan turun. Tahun 2009, IDI nasional menyentuh angka 67,30. Lalu naik-turun sampai 2013 dan mencapai puncak pada 2014 dengan angka 73,04. Dengan pola berulang, nilai IDI kembali fluktuatif hingga mencapai angka 72,39 di tahun 2018.
Bagaimana meningkatkan IDI? Nilai IDI nasional merupakan gambaran umum dari seluruh IDI di masing-masing provinsi di Indonesia, sehingga dibutuhkan treatment perbaikan demokrasi dan politik yang berbeda di tiap-tiap provinsi yang ada.
Semisal Provinsi Aceh. Tahun 2018 terjadi peningkatan pesat indeks demokrasi di Aceh, bahkan kenaikannya merupakan yang tertinggi di Indonesia. IDI Aceh naik dari 68,09 poin di tahun 2017 menjadi 77,67 poin pada 2018. Kenaikannya hingga mencapai 9,04 poin. Aceh menunjukan keberhasilan dalam meningkatkan keseluruhan aspek demokrasi dan politiknya terutama pada aspek kebebasan sipil dan lembaga demokrasinya.
Aspek kebebasan sipil berhasil naik disebabkan adanya penurunan kasus ancaman kekerasan atau penggunaan kekerasan oleh aparat pemerintah yang menghambat kebebasan berpendapat. Ditambah, pada 2018 tidak ditemukan lagi adanya ancaman kekerasan yang sama namun dilakukan oleh masyarakat sekitar.
Aspek lembaga demokrasi meningkat lebih tinggi lagi di Aceh. Peran partai politik meningkat pesat dengan banyak ditemukannya kaderisasi partai politik peserta aktif pemilu. Lalu jumlah kasus penghentian penyelidikan yang kontroversial oleh jaksa atau polisi di Aceh menurun tajam hingga tidak ada sama sekali.
Berbeda dengan Provinsi Aceh, terjadi penurunan signifikan pada tatanan demokrasi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) yang tercermin pada penurunan IDI-nya. Penurunan mencapai 6,68 poin dari 72,89 (2017) ke 63,76 (2018). Hal ini disebabkan oleh berkurangnya aspek hak-hak politik dan lembaga demokrasi di Babel ini.
Penurunan hak-hak politik di Babel diakibatkan berkurangnya partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan oleh masyarakat Babel yang berbentuk pengaduan masyarakat mengenai penyelenggaraan pemerintah.
Lalu, jebloknya aspek lembaga demokrasi di Babel disebabkan kurang aktifnya peran DPRD. Tidak aktifnya DPRD ditandai dengan sedikitnya perda inisiatif yang dibuat tahun 2018 dan jumlah rekomendasi DPRD ke eksekutif Babel yang berkurang setengahnya. Dan juga, masih kurangnya upaya transparansi APBD yang diusahakan oleh Pemda Babel di tahun 2018.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat ditemukan banyak hal yang mempengaruhi naik-turunnya nilai IDI di dua provinsi tadi. Baik Aceh maupun Babel memiliki persoalan demokrasi dan politiknya berbeda. Begitu pula dengan provinsi lainnya di Indonesia, terdapat persoalan yang berbeda satu sama lain dan membutuhkan pemecahan masalah yang juga tidak sama.
Lain lagi dengan Papua dan Papua Barat. Kedua provinsi ini menghadapi demonstrasi yang bersifat anarkis yang lagi-lagi juga menurunkan nilai IDI di daerahnya. Aksi-aksi penyampaian pendapat yang tak damai inilah yang selalu sukses membuat Papua dan Papua Barat setia diperingkat terbawah di dalam kacamata indeks demokrasi.
Epilog
Kompleksnya demokrasi dan politik Indonesia melahirkan indeks pengukuran yang juga tak kalah kompleks. Untuk menghasilkan IDI yang lebih baik ditahun berikutnya dibutuhkan usaha yang tak mudah. Dibutuhkan perlakuan berbeda-beda dari tiap provinsi untuk memperbaiki demokrasinya.
Dan perlu diperhatikan, yang menyebabkan naik turunnya nilai IDI bukan hanya dari sisi kinerja pemerintah setempat, melainkan partisipasi aktif dari banyak aktor demokrasi-politik yakni masyarakat sendiri, lembaga legislatif, kepolisian, kejaksaan, parpol dan lain sebagainya.
Terakhir, indeks demokrasi nasional 2019 nyaris menyentuh angka 75,00 poin dengan skor tepat berada pada angka 74,92 poin. Dibandingkan tahun sebelumnya indeks demokrasi kita meningkat 2,53 poin.
Walau tidak sampai menyentuh target RPJMN 2019, ini membuktikan bahkan kualitas demokrasi Indonesia mengalami peningkatan yang pasti dan mendekati kondisi ideal yang kita harapkan. Naiknya angka demokrasi 2019 disinyalir karena adanya perbaikan jalannya Pemilu 2019 dibandingkan 2014 serta peran birokrasi pemerintah daerah yang semakin baik. (Dedy Susanto, SST, Fungsional Statistisi, BPS Provinsi Papua)