Kepentingan dalam Ekspor Benih Lobster: Kajian Etika Administrasi

Benih lobster. Sumber : kkp.go.id
Sumber :
  • vstory

VIVA – Lobster merupakan komoditas perikanan bernilai jual tinggi Indonesia. Hal ini dipengaruhi tingginya permintaan di pasar Amerika dan Eropa. Dalam perkembangannya, pasar internasional tidak hanya membutuhkan lobster ukuran konsumsi, namun juga benih lobster untuk dibudidayakan di negaranya masing-masing.

Melimpahnya jumlah benih lobster di Indonesia dinilai sebagai titik penting majunya produk kelautan Indonesia, sehingga banyak pihak yang ingin memanfaatkannya.

Tentunya, hal tersebut akan mengancam keberlanjutan lobster serta membawa keuntungan yang besar bagi negara pembudidaya. Menteri KKP periode sebelumnya, Susi Pudjiastuti telah berupaya melarang ekspor benih lobster dan lobster berukuran kurang dari 200 gram ke luar negeri karena alasan untuk menjaga kelestarian lobster dan mencegah negara lain mengeruk keuntungan dari aktivitas ekspor lobster. Hal ini dituangkan melalui Peraturan Menteri KKP Nomor 56 Tahun 2016.

Pada bulan Mei 2020, Menteri KPP Edhy menerbitkan Peraturan Menteri KKP Nomor 12/Permen-KP/2020 tentang pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan di wilayah Negara Republik Indonesia. Edhy menganggap bahwa peraturan sebelumnya tidak berpihak pada masyarakat dan dianggap menyusahkan nelayan yang selama ini pendapatannya bergantung pada ekspor benih lobster.

Selain itu, kebijakan tersebut dianggap dapat bertujuan untuk membangkitkan pembudidayaan lobster di berbagai daerah. Kebijakan ini mengundang berbagai kontroversi.

Namun tidak lama setelah kebijakan tersebut disahkan, pada tanggal 25 November 2020, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) kepada Edhy Prabowo yang terkait dengan kasus suap izin ekspor benih lobster dan menetapkan Edhy sebagai tersangka. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai penerapan etika administrator dalam pembuatan kebijakan tersebut.

Teori Etika Administrasi

Terdapat tiga pendekatan etika yang sering digunakan untuk menganalisis etika individu dan institusi sektor publik, yakni deantologis, konsekuensialis, dan etika kebijakan. Konsekuensialisme berfokus pada hasil atau akhir dari suatu keputusan ataupun tindakan yang diambil.

Pendekatan konsekuensialis membahas mengenai suatu keputusan atau tindakan yang dianggap benar secara etis apabila keputusan atau tindakan tersebut membuahkan hasil yang positif.

Komunikasi Politik sebagai Jembatan antara Warga Negara dan Institusi

Pendekatan deantologis melihat kebenaran atau kesalahan dari tindakan seseorang yang mengikat melalui kewajiban atau tanggung jawabnya tanpa melihat akibat di kemudian hari.

Pendekatan ini didasari pemikiran Immanuel Kant yang mengatakan bahwa ketika seseorang ingin berbuat sesuatu yang benar secara moral, maka dia harus bertindak sesuai kewajibannya.

Data Statistik Agraria untuk Pelaku Usaha Agrikultur di Era Modernisasi

Immanuel Kant juga berpendapat bahwa benar atau salahnya suatu tindakan dilihat dari niatan dalam melakukan tindakan tersebut. Pendekatan selanjutnya adalah etika kebajikan.

Etika kebajikan merupakan pandangan etis yang melihat ke dalam diri individu untuk memupuk karakter-karakter yang bajik dan menghilangkan karakter yang merusak.

Laporan Keuangan OJK 2022 Raih Opini Wajar Tanpa Pengecualian dari BPK

Menurut Aristoteles, etika mengasumsikan bahwa terdapat model ideal tertentu yang harus dipertahankan karena hal tersebut menjadi pengembangan kemanusiaan individu. Contoh kebajikan yang dapat kita contoh antara lain kejujuran, keberanian, kasih sayang, kedermawanan, kesetiaan, integritas, keadilan, hingga kebijaksanaan.

Siapa yang Diuntungkan dari Kebijakan Ini?                                     

Alasan Menteri Edhy memberlakukan kebijakan ini adalah untuk menyejahterakan para nelayan. Ia berdalih bahwa ketika ekspor benih lobster dilarang, para nelayan tersebut kehilangan sumber penghasilan mereka.

Menurut Menteri Edhy, kebijakan pencabutan larangan ekspor benih lobster memberikan kebermanfaatan kepada lebih banyak orang. Kebijakan tersebut memberikan kesempatan para nelayan kecil untuk melanjutkan kembali kegiatan menangkap benih lobster dan mendapat penghasilan seperti sebelumnya. Namun, kenyataannya yang diuntungkan hanyalah pengusaha eksportir.

Sistem rantai pasok benih lobster terdiri dari empat komponen. Benih lobster akan ditangkap oleh para nelayan dari laut bebas. Lalu, hasil penangkapan akan dijual kepada pengumpul lokal.

Dari pengumpul lokal akan disalurkan kepada pengumpul besar untuk nantinya dijual kepada eksportir. Eksportir akan mengirim benih lobster ke beberapa negara seperti Vietnam, Hongkong, Singapura, Thailand, Brunei Daarussalam, dan Malaysia untuk nantinya dibudidayakan di negara tersebut.

Kebijakan baru ini memicu kenaikan harga benih lobster di tingkat nelayan, dari rata-rata Rp 5.000 per ekor menjadi Rp 12.000 atau Rp 13.000 per ekor, dengan kenaikan 140%.

Kenaikan juga terjadi pada harga benih lobster mutiara dari rata-rata Rp15.000 atau Rp20.000 menjadi Rp 33.000 atau Rp35.000 per ekor. Sedangkan, di tingkat eksportir, harganya bisa mencapai USD 13 atau sekitar Rp 183.00-an menggunakan kurs Desember 2020.

Harga yang tinggi tersebut malah menyulitkan para pembudidaya lobster untuk mendapatkan benih lobster. Selain itu, hasil yang dipanen oleh pembudidaya lobster sulit dijual dan mengakibatkan harga lobster yang telah dipanen menjadi turun secara tajam.

Hal ini menyebabkan para pembudidaya lobster terancam tidak dapat melanjutkan usaha pembesaran lobster, sedangkan pihak eksportir lebih memilih mengekspor benih lobster daripada memasarkan produk budidaya lobster.

Selain itu jenis lobster yang diekspor memiliki nilai ekonomi yang tinggi yaitu jenis lobster mutiara dan pasir. Sementara, jenis benih lobster yang dibudidayakan oleh nelayan Indonesia relatif memiliki harga yang rendah.

Melihat pada alasan dari sudut pandang Menteri KP Edhy Prabowo melalui pendekatan konsekuensialis, kebijakan tersebut merupakan keputusan yang kurang etis. Meskipun kebijakan tersebut menimbulkan hal positif namun kita tetap perlu melihat konsekuensi apa yang dikorbankan dalam kebijakan ini. 

Terdapat dilema moral dalam membuat suatu kebijakan dengan membandingkan nilai-nilai moral yang berbeda dari masing-masing konsekuensi atau dampak yang akan terjadi atas kebijakan tersebut. Sesuai dengan yang tercerminkan pada pendekatan konsekuensialis, pembuatan keputusan yang dilakukan oleh Menteri Edhy mempunyai dampak negatif yang lebih banyak dibanding dengan dampak positif yang didapat.

Dilihat melalui pendekatan etika kebajikan, kebijakan ini tidak dilandaskan sifat-sifat kebajikan pada diri pembuat kebijakan. Hal-hal tersebut dibuktikan dengan ketidaksesuaian perkataan Menteri Kelautan Perikanan selaku administrator yang mencerminkan ketidakjujuran dan tidak adanya integritas.

Menteri Edhy yang awalnya bersikeras membuat kebijakan tersebut atas nama kesejahteraan nelayan ternyata hanya mementingkan kepentingan golongan lain. Ketidakbajikannya tersebut juga mencerminkan tidak adanya kompetensi pada pada diri pembuat kebijakan.

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dalam Penunjukkan Perusahaan Eksportir dan Logistik

Kebijakan ini juga diduga sarat akan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pada 25 November 2020, Menteri KKP Edhy Prabowo ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada operasi tangkap tangan.

Penangkapan ini berdasarkan dugaan penerimaan hadiah atau janji kepada salah satu mantan menteri KKP. KPK telah melakukan penyidikan terhadap Edhy Prabowo dan istrinya sejak Mei 2020 dengan bukti pengiriman uang sejumlah USD 100.000 atau sekitar Rp 1,4 miliar dari Direktur PT Dua Putra Perkasa (PT DPP). KKN disinyalir terjadi pada penunjukkan perusahaan logistik yang mengirimkan benih lobster dari eksportir ke negara tujuan.

KPPU menemukan indikasi monopoli yang dilakukan oleh PT ACK. Dimana, KKP hanya menunjuk satu perusahaan logistik. Sehingga, semua eksportir hanya dapat mengirimkan hasil pengumpulannya melalui PT ACK tersebut. Hal ini membawa keuntungan tersendiri bagi PT ACK.

Ditambah lagi, peraturan KKP lainnya yang biaya pengiriman dikenakan per ekor lobster bukan per satuan massa, sehingga biaya pengiriman menjadi lebih besar. KPK menduga bahwa PT ACK dikuasai pihak Edhy Prabowo walaupun di atas kertas dipegang oleh orang lain.

Penunjukkan perusahaan eksportir juga terindikasi kolusi karena beberapa perusahaan tersebut diduduki politisi-politisi yang menjadi pemodal, direksi, hingga komisaris. Politisi-politisi tersebut kebanyakan berasal dari partai yang menaungi Menteri Edhy

Kasus KKN tersebut membuktikan bahwa Sang Menteri menggunakan kekuasaannya untuk memenuhi kepentingan pribadi. Hal tersebut mencerminkan Sang Menteri juga tidak menjunjung karakter kejujuran, integritas, dan kebijaksanaan. Padahal karakter-karakter tersebut merupakan kebajikan yang seharusnya dimiliki administrator dalam melaksanakan tanggung jawabnya.

Dengan sifat-sifat kebajikan tersebut, selanjutnya kepentingan publik dapat terakomodir dengan baik. Sehingga, administrator dapat menjalankan fungsinya sebagai pelayan publik bukan pelayan kepentingan kelompok. Jika dilihat dari sudut pandang pendekatan deantologis, tindakan korupsi benih lobster yang dilakukan oleh mantan Menteri Edhy Prabowo ini sangat bertentangan dengan kewajiban dan tanggung jawab seorang pejabat negara.

Tindakan korupsi yang dilakukan Edhy Prabowo sangat bertentangan dengan moral yang seharusnya dijunjung tinggi dalam pendekatan deantologis. Pendekatan deantologis dalam teorinya tidak membenarkan tindakan yang dilakukan atas dasar kepentingan pribadi, tetapi murni karena tanggung jawabnya sedangkan apa yang terjadi dalam kasus ini sepenuhnya adalah demi keuntungan pribadi.

Selanjutnya deantologis mengandung teori hak dan keadilan, namun nyatanya fakta lapangan menunjukan sebaliknya dengan apa yang telah dilakukan Edhy Prabowo.

Seharusnya, terdapat keadilan yang sama di antara para pejabat publik, namun yang terjadi adalah tindakan korupsi ini menguntungkan salah satu pihak bahkan bisa mendapat “privilege” yang berbeda.

Saran

Diperlukan moratorium kebijakan dan memberikan pelatihan budidaya bagi nelayan. Budidaya menjadi solusi untuk memutus rantai ekspor lobster, sehingga perlu ada moratorium kebijakan pemerintah yang menjamin supaya harga benih lobster dapat terjangkau oleh pembudidaya.

Selain itu, perlu ada langkah konkret dari pemerintah untuk melaksanakan percepatan industri budidaya lobster, salah satunya adalah memberikan pelatihan budidaya bagi nelayan dan memfasilitasi kebutuhannya sebagai upaya memaknai nilai equality of dimension atau aspek ekologi, ekonomi, dan sosial.

Ke depannya, pemerintah perlu meningkatan dan memperketat pengawasan izin terhadap praktik penyelundupan ekspor lobster ke luar negeri, sehingga pelaksanaannya perlu dibarengi pengawasan dan pengendalian kuota tangkap.

Selain itu, tim due diligence perlu dipertahankan untuk memastikan koordinasi dalam Kementerian berlangsung secara efektif sehingga proses pemberian izin ekspor seharusnya diberikan melalui pengawasan yang ketat.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.