Terorisme itu Nyata, Tapi Kenyataannya...

Ilustrasi penangkapan teroris (www.aa.com.tr/id)
Sumber :
  • vstory

VIVA – Jika kita memang sepakat bahwa terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, atau menimbulkan kerusakan terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas lainnya dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

Maka, tindakan tersebut dapat kita benarkan, dengan adanya berbagai rentetan peristiwa pengeboman yang terjadi baru-baru ini.

Sebut saja peristiwa ledakan bom di depan Gereja Katedral Makassar dan peristiwa penyerangan Mabes Polri, Jakarta. Serangan ini terjadi berselang dua hari setelah peristiwa sebelumnya, yang membuat gempar masyarakat di Indonesia.

Peristiwa tersebut bisa dipandang sebagai suatu aksi konyol, absurd, bodoh dan tidak sesuai dengan norma dan ajaran agama manapun.

Namun, muncul satu pertanyaan mendasar. Ada bahaya begitu besar, yang telah terjadi begitu saja. Tentu dengan rencana-rencana yang telah disusun sebegitu rupa dan sistematis oleh para pelaku, tapi kenapa negara tidak bisa mensinyalir untuk melakukan upaya-upaya pencegahan?

Dengan peralatan negara yang lengkap mulai informasi, intelijen, kenapa tidak dilakukan pencegahan terhadap aksi teror tersebut? Itu sebenarnya yang menjadi tanda tanya besar.

Bahkan ada data yang menyebutkan, ada 7 agen negara yang terkenal paling hebat dan jarang gagal dalam melakukan misinya. Salah satunya adalah intelijen Indonesia.

Jika Indonesia sudah memiliki sistem intelijen yang kuat, di mana sumber-sumber masalah dapat dideteksi sedini mungkin dengan valid dan dapat diantisipasi sebelum menjadi masalah, tentu akan menciptakan rasa aman dan nyaman bagi masyarakatnya.

Limabelas Kali Berturut-turut, Kemenperin Kembali Raih Opini WTP

Tapi mengapa peristiwa-peristiwa aksi terorisme itu terus terjadi? Semacam tidak ada upaya pencegahan, sebagai langkah antisipasi.

Ke mana kekuatan negara? Ke mana kekuatan intelijen terbaik itu? Sedikit kita bisa menaruh kecurigaan. Jangan-jangan negara dalam hal ini benar-benar membiarkannya, lalu motif apa di baliknya?

Komunikasi Politik sebagai Jembatan antara Warga Negara dan Institusi

Dikutip dari Republika, Trevor Aaronson, dalam bukunya 'The Terror Factory: Inside the FBI's Manufactured War on Terrorism' yang dapat diperoleh dari Amazon, menjelaskan tentang bagaimana FBI telah berubah dari lembaga penegak hukum yang reaktif menjadi organisasi kontraterorisme proaktif yang menjebak dan membiarkan orang-orang yang malang di bidang teroris untuk melakukan aksinya, lalu keadaan tersebut dimanfaatkan untuk menikmati $ 3 miliar yang dibelanjakan negara setiap tahun untuk memerangi terorisme.

Jangan-jangan hal itu benar-benar terjadi di Indonesia? Mungkin selain motif uang, bisa jadi sebagai momentum untuk mendeksriminasikan para ulama-ulama yang memiliki jamah atau kelompok tersendiri, yang dianggap berseberangan dengan kekuasaan, lalu dengan mudah untuk dibubarkan, dengan dalih kelompok-kelompok tersebut beridieologi sesat yang melahirkan para teroris. Yang mengancam demokrasi dan keutuhan NKRI.

Data Statistik Agraria untuk Pelaku Usaha Agrikultur di Era Modernisasi

Kemudian pemberitaan dengan rapi dikuasai oleh negara, secara cepat disebarluaskan, ditayangkan di seluruh stasiun televisi dan media-media mainstream lainya.

Hal tersebutlah yang membuat warga negara semakin panik dan mengutuk-ngutuk aksi terorisme tersebut, lalu negara berserta aparaturnya hadir sebagai pahlawan, sekaligus seolah-olah sebagai korban.

Kepanikan yang telah dihasilkan, secara tidak langsung akan membuat warga negara mengambil keputusan untuk mempercayai negara secara sutuhnya. Sehingga semakin berkurang pikiran-pikiran kontra dengan para penguasa. Alhasil, setiap kebijakan untuk membasmi terorisme, termasuk di dalamnya membubarkan ormas-ormas mendapat dukungan tanpa kritikan.

Terorisme memang dapat melakukan aksinya di mana saja, kapan saja dan pada target apa saja, tidak mengenal ruang dan waktu. Namun, sepanjang sejarahnya hampir memiliki pola-pola yang sama, tapi mustahil sekali negara tidak mengetahuinya, dalam hal ini kita sebut saja rezim yang berkuasa.

Masyarakat pada dasarnya memang menghendaki ketenangan secara menyeluruh dan terpeliharanya kemerdekaan, termasuk kemerdekaan bagi kaum-kaum minoritas dalam memeluk keyakinannya. Baik itu di gereja, masjid, dan tempat-tempat ibadah lainnya.

Tetapi yang sempat terlupakan, terkadang kepentingan telah mengalahkan segalanya. Kekacauan menjadi kepentingan esensial yang digunakan untuk menikmati keadaan.

Sehingga tidak peduli itu benar atau salah, tidak peduli itu akan mengakibatkan hancurnya harta benda dan jatuhnya korban jiwa.

Teroris itu memang nyata, entah di sekitar kita atau di tengah-tengah kita, tapi aksi-aksi teror tersebut bisa menjadi sarana yang dinikmati oleh negara, karena ada maksud-maksud tertentu yang kita sendiri sebagai warga negara tidak biasa melihatnya. Mungkin? 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.