Menanti Hasil Tes PISA 2022

Sumber :OECD
Sumber :
  • vstory

VIVA – Samuel Becket pada tahun 1952 menampilkan satu lakon drama yang kemudian terkenal di seantero dunia, judulnya “Waiting For Godot”. Secara garis besar drama itu menceritakan tentang dua orang yang menunggu kedatangan seseorang dalam waktu lama, dan orang itu tidak kunjung datang.

Kejar Target Pembangunan, Pekerja Proyek IKN Mudik Diantar Pakai Hercules

Meskipun demikian kedua orang tersebut tetap setia menunggu. Lakon drama itu kemudian dinisbahkan kepada siatuasi apapun yang berkaitan dengan menunggu sesuatu dalam waktu yang sangat lama dan selalu berharap bahwa pada akhirnya penantian akan sesuatu itu terwujud.

 Lakon “Waiting For Godot ini juga  bisa dianalogikan terhadap penantian panjang bangsa Indonesia yang dahaga akan hasil PISA yang lebih baik. Tes PISA sangat penting, karena itu  semua negara maju yang tergabung dalam OECD sejumlah 30 negara dan tambahan kurang lebih 50 Negara partner termasuk Indonesia sudah mengikuti tes ini sejak tahun 2000 sampai tes terakhir di tahun 2018.

Puncak Arus Balik Lebaran 2024 di Bandara Soetta Mulai Menurun

Selama dua puluh tahun kita terus berharap akan hasil yang memuaskan terhadap pencapaian PISA. Setiap kali hasil tes PISA keluar, setiap kali itu pula ranking Indonesia bertengger di bawah sepuluh besar, bahkan banyak yang kemudian menjadikan olok-olokan bahwa mencari ranking Indonesia tidak perlu dilihat dari atas langsung saja mencari sepuluh ke bawah biar gampang dan tidak bikin mata sakit.

Mengapa ranking PISA begitu penting? Karena tes ini, di samping mengukur kemampuan dasar siswa sekolah menengah, juga melihat aspek-aspek lain yang menentukan kualitas pendidikan sebuah negara seperti kemampuan guru, fasilitas sekolah, kemampuan keluarga, gender, disparitas mutu bahkan untuk negara Eropa dan Amerika juga melihat kemampuan siswa imigran dan non imigran.

Meyakini Kebangkitan Marc Marquez di MotoGP Spanyol 2024

Berdasarkan hasil tes PISA ini juga biasanya kemajuan pendidikan suatu negara diulas oleh banyak ahli-ahli pendidikan di dunia yang sekaligus menempatkan baik buruknya sistem pendidikan negara tersebut.

Seorang professor Harvad bahkan berani mengklaim bahwa pendidikan Indonesia tertinggal 128 tahun dibanding negara-negara  maju juga berdasarkan hasil tes ini.

Hal ini penulis dengar sendiri ketika sang professor menjadi salah satu pembicara di kampus penulis di tahun 2017. Bukan saja Indonesia yang selalu mendapat kritikan  buruk berdasarkan hasil tes PISA, bahkan India memboikot PISA dan menjadikan tes PISA 2009 sebagai keikutsertaanya yang pertama sekaligus terakhir. Apa pasal?

Pemerintah India tidak terima India mendapat ranking 74 dari 76 negara pada saat itu.  Langkah pemerintah India ini menuai banyak kecaman dari ahli pendidikan dalam negeri India.

Menurut mereka tes ini sangat penting untuk membuka dan memperlihatkan faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakmampuan siswa-siswa di India terutama di bidang literasi, di mana angka melek huruf India hanya di kisaran 61 persen.

Atas banyaknya desakan tersebut, Menteri Human Resource Development India mengakhiri boikot terhadap PISA dan akan mengikuti tes PISA di tahun 2022 ini. 

Pemerintah Indonesia konsisten mengikuti tes PISA meskipun selama dua puluh tahun terakhir belum beranjak dari ranking sepuluh terbawah. Pemerintah Indonesia selalu legowo menerima hasil tes PISA dan melakukan perubahan-perubahan yang dianggap perlu berdasarkan saran- saran OECD tersebut.

Perubahan kurikulum juga mengacu pada hasil tes PISA ini, bahkan keputusan menghapus UAN dan menggantinya dengan Asesmen kompetensi dan karakter tidak lain dan tidak bukan adalah berbasis hasil tes PISA 2018 dan juga menyesuaikan dengan model tes PISA.

Peluncuran kurikulum Merdeka juga adalah salah satunya berdasarkan  kesimpulan hasil-hasil tes PISA bahwa selama dua puluh tahun pendidikan kita jalan di tempat.

Tes Pisa tahun 2022 ini akan diikuti oleh 30 negara OECD dan 50 negara partner. Pemerintah dalam hal ini Kemdikbudristek diawal kepemimpinan Nadiem Makarim menerima hasil tes PISA tahun 2018 dengan posisi ranking 74 dari 79  negara.

Pada waktu itu Mendikbud dengan optimistis menyambut hasil tes PISA tersebut. Sejumlah terobosan pun dilakukan, menghapus UAN, menyederhanakan RPP, dan terakhir meluncurkan kurikulum Merdeka dan masih banyak lagi.

OECD sebagai penyelenggara PISA juga sebenarnya mempunyai tanda tanya yang besar, mengapa ranking PISA  cenderung konstan dalam artian negara-negara yang peringkat atas, tengah dan bawah juga selalu ditempati oleh negara-negara yang itu-itu saja.

Lembaga itu kemudian menduga ada faktor penentu yang menyebabkan skor PISA cenderung seperti itu,  OECD menduga bahwa ada satu faktor penentu yaitu faktor Mindset.

Untuk itu pada tes PISA  2018 OECD menyelipkan satu tes tambahan yang melihat mindset guru, dan siswa, bagaimana hasilnya apakah berbanding lurus dengan pencapaian skor siswa pada tes tiga kemampuan dasar tersebut.

OECD mengambil satu model pemikiran dari profesor psikologi  Carol S Dweck yang mengatakan bahwa orang dengan fix mindset kurang memiliki kemauan untuk bertumbuh dan memandang bahwa kemampuan pada diri seseorang adalah gift atau pemberian dari lahir, sedangkan orang dengan growth mindset akan lebih optimis untuk menerima kemajuan.

Tes-tes tambahan itu melihat bagaimana mindset guru dan siswa disekolah dan hasilnya sangat signifikan. Siswa  dan guru yang memiliki grothw mindset teryata rangking PISA negara-negara mereka juga tinggi.

Faktor Mindset ini dijelaskan secara gamblang oleh OECD dalam satu laporan yang berjudul “ The sky is the limit”  Hasil analisis dan laporan itu, ditindak lanjuti oleh  negara-negara maju dengan merespon laporan ini.

Negara-negara yang tergabung dalam OECD itu segera membuat Road Map kurikulum  dengan nama OECD Learning Compass 2030 dengan memasukan growth mindset sebagai salah satu hal yang mendapat perhatian.

Demikan juga halnya dengan Singapura, bahkan institute National Education ( NIE) satu-satunya penyelenggara kuliah keguruan di Singapura menjadikan growth mindset sebagai proyek untuk melihat mindset guru-guru Singapura dengan satu proyek yang bertema” Exploring the Designing of a Growth Mindset Curriculum in a Singaporean School’. Proyek ini berlangsung sejak 2016-2019 itu artinya sudah sejak lama Singapura memberikan perhatian penuh terhadap mindset guru dan siswa, tidak heran negara mereka selalu nangkring diposisi teratas baik itu rangking PISA maupun ranking kampus kelas dunia.

Hasil penelitian tersebut dipakai oleh pemerintah untuk memperbaiki pendidikan Singapura yang sudah sangat maju.

Bagaimana Indonesia? Apakah laporan OECD tentang growth mindset “ The sky of the limit “ ini juga mendapat perhatian khusus? Apakah ada pelatihan-pelatihan khusus yang dilaksanakan oleh Kemdikbudristek dalam rangka menciptakan guru-guru bermindset growth ataukah bentuknya lebih umum berupa guru penggerak, sekolah penggerak dan juga kurikulum merdeka? Hanya pihak Kemdikbud yang mengetahui dengan pasti.

Bagaimanapun hasil test PISA 2022 tahun ini akan sangat menentukan nama baik pendidikan Indonesia di mata dunia internasional sampai tes berikutnya lagi di tahun 2025.

Pihak Kemdikbud optimis peringkat kita akan naik. Siswa-siswa Indonesia akan diwakili oleh tiga provinsi untuk test bergengsi yang direncanakan akan berlangsung di bulan Mei 2022 yaitu provinsi  Jakarta, Jogyakarta, dan Bangka Belitung.

Tes PISA kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya Semua negara menghadapi masalah yang sama yaitu learning loss akibat pandemik Covid 19. Indonesia berjuang bukan lagi meningkatkan mutu, tapi lebih keikutsertaan semua peserta didik sebagaimana juga semua Negara. Masalah yang dihadapi pun akan sama di tes PISA.

Optimisme masyarakat terutama stakeholder pendidikan terhadap meningkatnya skor PISA di Era Menteri Nadiem Makarim cukup tinggi. Pak Menteri sudah melakukan banyak terobosan dengan program merdeka belajarnya. Semoga Skor Indonesia di tes PISA kali ini membaik, sehingga wacana menunggu Godot  kali ini tidak terjadi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.