Pseudo Pendidikan di Masa Pandemi

Sumber: Guru Sunardi
Sumber :
  • vstory

VIVA  –  Tahun 1938 seorang guru di Amerika menulis dalam jurnal universitas Chicago edisi April, yang menjelaskan bahwa telah terjadi praktik pseudo pendidikan pada sekolah-sekolah dalam proses belajar mengajar.  Tulisannya berjudul ”Pseudo teaching versus teaching pupils to learn”.

Xiaomi Redmi Pad Pro Dirilis Global, Intip Spesifikasi dan Harganya

Guru itu bernama E.C Cline, pengajar di Morton high School, Indiana. Sang penulis menguraikan bahwa guru-guru hanya menyuruh murid-murid untuk melakukan praktik tanpa mengajari mereka terlebih dahulu dan hanya menjadi tukang nilai yang diumpamakannya seperti juru tulis. Dia menyimpulkan bahwa para siswa telah mengajari diri mereka sendiri dan bukan mendapatkan pengajaran dari guru.

Di tahun 2014, Rolanda S. Dela Cruz seorang profesor dan pemenang penghargaan pendidik yang inovatif sekaligus kepala sekolah Darwin di Pilipina telah mengklaim bahwa sekolah-sekolah di sana telah mempraktekan pseudo dalam pendidikan.

Gabung Prabowo-Gibran Sebagai Pilihan Baik, Surya Paloh: Ini Pilihan Saya, Pilihan Nasdem

Sekolah tidak lebih hanya tempat menggelembungkan nilai siswa yang bertujuan untuk mendapatkan selembar ijazah. Lebih lanjut sang profesor menjelaskan bahwa sekolah harusnya bisa memberi siswa ketrampilan yang dibutuhkan untuk menjadi seorang manusia yang utuh.

Sekolah hanyalah sebuah bangunan fisik yang dibeli label secara sosial. Sekolah tidak lain adalah gedung dari  beton, kayu atau baja yang kebetulan memiliki pekerja yang dicap sebagai guru dan juga siswa yang dicap sebagai pelajar. Menurutnya tanpa bangunan pun sekolah bisa menjalankan fungsinya dengan baik seperti di zaman Yunani kuno, di mana Plato yang hebat hanya mengajar di bawah pohon di Athena, dan Aristoteles adalah salah satu murid hebat yang menjadi buah hasil pengajarannya.

Survei di Atas 50 Persen, Elite Golkar Dorong Ridwan Kamil Maju Pilgub Jabar Ketimbang Jakarta

Pada bulan Januari 2022, majalah People melaporkan siswa-siswa New York ikut protes dan menolak  kebijakan kelas yang hanya boleh terisi separuh dan pada saat bersamaan mereka ditumpuk di audiotorium untuk situasi tertentu di tengah-tengah Covid yang belum mereda. Mereka mengatakan bahwa pseudo pendidikan tengah terjadi.

Bahkan kasus pencabulan Herry Wirawan yang menggegerkan Indonesia baru-baru ini, juga dituding bahwa sang predator santri itu telah menjalankan praktik  pseudo pesantren.

Arti Pseudo

Apa sebenarnya makna  pseudo dalam pendidikan? Secara harfiah dapat diartikan sebagai sesuatu yang semu. Jika didefinisakan secara luas, maka pseudo pendidikan artinya proses pendidikan  yang secara konsep dan praktik telah keluar dari ketentuan yang ditetapkan.

Pada pembelajaran daring, pseudo pendidikan telah terjadi di hampir semua negara. Migrasi kelas tradisional tatap muka ke platform daring yang tiba-tiba akibat pandemik Covid pada awal 2020 telah menciptakan tsunami di dunia pendidikan. Hampir semua negara kelabakan dengan situasi yang tiba-tiba ini.

Bagi negara maju sekelas Singapura mereka pun kelabakan meskipun pada akhirnya cepat menyesuaikan diri. Praktik-praktik Pseudo telah terjadi selama pembelajaran daring yang tentu saja membuat pendidikan berjalan semu. Tidak bisa  dipungkiri, tatap muka dalam kelas tetap memiliki roh pendidikan yang nyata ketimbang di ruang-ruang online. Siswa tetap butuh kehadiran guru. Bahkan siswa banyak yang mengeluh, jika hanya ingin tahu tentang sesuatu maka di Google semua ada.

Mereka butuh kehadiran guru dan berinteraksi dengan teman-sekelasnya. Bahkan banyak siswa termasuk juga mahasiswa baru yang belum pernah ketemu secara fisik dangan guru dan dosen selama dua tahun ini.  Efeknya tentu saja dirasakan secara psikologi, tidak ada kedekatan pribadi dan sosial diantara mereka.

Mereka kehilangan sosok guru yang bisa memberikan nasihat dan pembinaan karekter, intinya siswa-siswa merasa mereka lebih suka face to face ketimbang menatap layar HP dan laptop.

Beberapa kasus pseudo atau pendidikan semu selama pelajaran daring dua tahun marak menghiasi pemberitaan. Mulai  dari siswa yang bosan dan mencari trik supaya seolah-olah tetap ada di kelas-kelas online, pekerjaan rumah yang dikerjakan oleh orang lain, guru yang hanya memberi tugas tanpa penjelasan yang memadai, dan masih banyak lagi. Masalah-masalah tersebut berpotensi membuat tujuan pendidikan tidak tercapai.

Perlu Blended learning

Melihat maraknya praktik-praktik pseudo dalam pendidikan selama kelas daring, sudah saatnya semua sekolah menerapkan blended learning, di mana tatap muka tetap berlangsung walaupun tidak seratus persen.

Diharapkan kekosongan psikologi dan interaksi sosial, antar guru dan siswa dan siswa dengan siswa bisa terjadi sehingga proses belajar tercapai.  Covid belum berakhir, WHO belum juga mengumumkan bahwa dunia sudah bebas dari Covid. Yang terjadi justru Covid rajin beranak pinak dan berganti rupa. Dunia pendidikan lah yang dituntut untuk menyesuaikan diri dengan kondisi ini.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.