Tafsir Konsep Kepemimpinan Keluarga dalam Surah An-Nisa Ayat 34

Wanita Muslimah
Sumber :
  • vstory

VIVA – Al-Qur'an adalah kitab yang ayat-ayatnya yahtamil wujuh al-ma'na artinya banyak makna atau tafsir. Seorang tokoh sufi pernah berkata: “Jika seorang hamba diberi pemahaman tentang Al-Qur’an dalam setiap surahnya, dia pasti tidak akan kehabisan semua makna yang terkandung dalam Firman Allah. Karena sama seperti Firman Allah, itu adalah sifat-Nya, itu juga tidak terbatas.”

Di Festival Islam Kepulauan di Belanda, Kemenag Kupas soal Penghulu Era Modern

Secara historis-faktual, seiring dengan sejarah peradaban Islam, tafsir mulai menggunakan alat dan pendekatan penafsiran yang berbeda. Perbedaan latar belakang, keilmuan dan konteks sosio-historis penafsiran turut mewarnai pola penafsiran Al-Qur'an.

Secara historis setiap penafsiran telah menggunakan satu atau lebih metode untuk menafsirkan Al-Qur'an. Pilihan metode ini tergantung pada kecenderungan dan sudut pandang mufasir, serta pada pelatihan ilmiah dan aspek lain yang melengkapinya. Penafsiran Al-Qur'an terus dilakukan oleh para ulama tafsir, termasuk tafsir terhadap kepemimpinan.

Pemimpin Muslim Berpengaruh di Dunia Sebut Islamofobia Berawal dari Kesalahpahaman

Kepemimpinan dalam Islam sering dikaitkan langsung dengan surah an-Nisa ayat 34 yang Artinya:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

3 Wanita Asal Bogor Ditangkap di Bandara Kualanamu Diduga Selundupkan Sabu-sabu 19 Kg

Dalil ini seakan memberi laki-laki otoritas mutlak untuk menjadi pemimpin perempuan, apapun kualitasnya. Ayat ini sering digunakan sebagai pembenaran dalam penafsiran klasik dan abad pertengahan untuk menggambarkan superioritas laki-laki dan perempuan.

Dalam konteks ayat tersebut perlu dibedakan penggunaan kata an-nisa yang merujuk pada kata perempuan dalam konteks sosial atau gender, dan muannats yang merujuk pada kata perempuan dalam arti biologis. Juga, konsep ar-rijal terkait gender berbeda dengan kata al-dzakkar. Tidak hanya terkait dengan gender, tetapi juga dengan karakteristik budaya tertentu, terutama maskulinitas. Kata al-dzakkar mengacu pada biologis, dalam hal ini gender.

Ungkapan “ar-rijalu qowwamuna ala an-nisa” dalam surah an-Nisa ayat 34 tidak sendirian karena ada lanjutan ayat lain yang memberikan kriteria khusus bagi laki-laki yang menjadi pemimpin di bidang sosial. Surah an-Nisa harus dibaca dalam konteks keluarga dan tidak menyiratkan tuntunan mutlak laki-laki atas perempuan pada umumnya.

Dua syarat yang disebutkan untuk kepemimpinan laki-laki dalam keluarga adalah bahwa dia lebih tinggi dari istrinya dan bahwa dia telah memenuhi kewajiban untuk menafkahi keluarga.

Para ahli tafsir berbeda pendapat dalam menafsirkan kata qowwamuna. Sebagian ulama mengartikannya sebagai pemimpin dan sebagian lagi sebagai pelindung.

Penafsiran Kementerian Agama Republik Indonesia mengartikan kata qowwamuna sebagai pemimpin. Sedangkan Ibnu Asyria mengartikannya sebagai pelindung. Dalam terjemahan Abdullah Yusuf Ali, qowwamuna diartikan sebagai protector, artinya pelindung. Sedangkan dalam terjemahan Al-Qur'an terbitan Kementerian Agama tahun 2006, kata qowwamuna diartikan sebagai pendamping dan tidak ada hubungannya dengan suami istri.

Dalam konteks ini, baik laki-laki (suami) dan perempuan (istri) sama-sama memiliki kewajiban untuk memberikan rasa nyaman terhadap pasangannya, untuk saling membantu dan melengkapi. Dalam surat an-Nisa ayat 34, kelebihan laki-laki diungkapkan dengan menunjukkan bahwa laki-laki (suami) dan perempuan (istri) adalah satu anggota tubuh, dengan laki-laki sebagai kepala dan perempuan sebagai tubuh.

Saling melengkapi, tidak lengkap tanpa kehadiran yang lain. Tidak lebih unggul atau lebih lemah, tetapi mereka menyadari peran masing-masing dan didorong dan tidak mendominasi yang lain. Selain itu, kata qowwamuna untuk laki-laki merupakan pernyataan kontekstual dalam budaya Arab pada masa Nabi Muhammad SAW.

Pada masa Nabi Muhammad SAW, kekuasaan umat sangat kuat dan menjadi latar turunnya ayat ini. Artinya laki-laki menjadi pemimpin dalam konteks lingkungan keluarga di bawah kondisi yang berlaku berbeda, dan konteksnya dapat berubah seiring waktu.

Kepemimpinan dalam keluarga adalah kepemimpinan yang demokratis, yang juga mengutamakan rasa keadilan dan pertimbangan dalam memecahkan masalah. Hal ini terkait dengan tujuan pernikahan yaitu keluarga sakinah, mawadda wa rohmah, di mana setiap laki-laki dan wanita merasa damai.

Untuk menjaga kebahagiaan keluarga, seorang pemimpin harus memainkan peran strategis. Konteks Surah an-Nisa adalah kepemimpinan dalam rumah tangga dan tidak bisa menjadi dalil pelarangan kepemimpinan perempuan di ranah publik. Namun, kepemimpinan keluarga harus mengutamakan keadilan, mengutamakan kesetaraan, dan memperlakukan pasangan dengan baik.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.