KTT G20 Sukses: Indonesia di Puncak Dunia?
- vstory
VIVA – Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Group of Twenty (G20) ke-17 di Bali yang ditutup pada 16 November 2022 sukses diselenggarakan oleh Indonesia. Pertemuan ini menghasilkan komunike berisikan 1.186 halaman dan 52 poin utama sikap para pemimpin G20 atau yang disebut sebagai Bali Leader’s Declaration.
Dalam deklarasi itu, ada lima poin penting yang telah disepakati secara konsensus oleh seluruh negara anggota G20. Pertama, pemimpin dunia sepakat untuk cepat dan fleksibel menjalankan kebijakan makro ekonominya. Kedua, berkomitmen melindungi stabilitas makro ekonomi dan keuangan.
Ketiga, mengambil tindakan mendorong ketahanan pangan, energi dan mendukung stabilitas pasar. Keempat, terus berinvestasi kepada negara berpenghasilan rendah, menengah dan negara berkembang. Kelima, berkomitmen mempercepat pencapaian pembangunan berkelanjutan (SDGs).
G20 memiliki peranan yang sangat strategis di dalam membahas berbagai isu global terkait pertumbuhan dan perekonomian serta stabilitas ekonomi dan keuangan. Hal ini dikarenakan keanggotaannya yang terdiri dari kombinasi negara maju dan berkembang. G20 merepresentasikan lebih dari 60% populasi bumi, 75% perdagangan global, dan 80% Produk Domestik Bruto (PDB) dunia.
Indonesia dinilai sukses menjalankan forum kerja sama multirateral yang terdiri dari 19 negara utama dan Uni Eropa (UE) ini, meski dalam situasi yang genting karena pandemi dan kondisi geopolitik global yang tidak menentu. Kesuksesan G20 menjadi bukti nyata bahwa Indonesia mampu memainkan peranan strategis dan diterima dengan baik dalam forum internasional. Meski demikian, apakah memang kita bisa berbangga diri telah menjadi pemegang Presidensi G20 tahun 2022?
Indonesia patut berbangga, karena merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tergabung dalam G20. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, neraca perdagangan Indonesia dengan negara anggota G20 pada Januari-Oktober 2022 secara total berhasil mencatatkan nilai surplus sebesar US$26,7 miliar atau sekitar Rp417,02 triliun (kurs Rp15.619/US$). Jika ditilik dari sisi pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tercatat tumbuh di 5,72 persen (year-on-year/yoy) di tengah ancaman resesi globlal menjadi salah satu yang terbaik di antara negara-negara anggota G20.
Kendati demikian, secara per kapita perekonomian Indonesia masih tergolong rendah. PDB per kapita merupakan salah satu indikator untuk mengukur kemakmuran suatu wilayah. Cara menghitungnya, nilai seluruh produk dan jasa yang dihasilkan di sebuah negara dalam suatu tahun, dibagi dengan rata-rata jumlah penduduk dalam tahun yang sama.
Berdasarkan data dari Bank Dunia tahun 2020, PDB per kapita Indonesia hanya sekitar US$3.870 atau setara Rp54,6 juta (kurs kala itu Rp14.000/US$). Di G20, PDB per kapita Indonesia berada di posisi ke-19, satu tingkat di atas India. Di Asia Tenggara pun, PDB per kapita Indonesia berada di posisi kelima di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand. Dengan besaran PDB per kapita tersebut, Indonesia perlu mengejar ketertinggalan dari negara lain.
Selain tertinggal dari produk domestik bruto (PDB) per kapitanya, Indonesia juga tertinggal di bidang teknologi. Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (Information and Communications Technology/ICT) Indonesia tertinggal dibandingkan negara anggota Group Twenty (G20) lainnya. Indeks yang didapatkan Indonesia pada 2017 sebesar 4,33 poin. Angka ini berada di posisi 114 dunia atau kedua terendah di G20 setelah India.
Dilihat dari kualitas manusianya, Indoneisa juga masih tertinggal. Badan PBB untuk Pembangunan (UNDP) kembali merilis Indeks Pembangunan Manusia (IPM) negara-negara di dunia. Indonesia berada di peringkat 114 (skor 0,750) dari total 191 negara pada tahun 2022. Di G20, IPM Indonesia juga berada di posisi terendah, hanya satu tingkat di atas India. IPM merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk melihat perkembangan kualitas hidup masyarakat di sebuah negara. Untuk mengukur IPM, UNDP menggunakan empat indikator utama, antara lain hidup yang sehat dan umur panjang, angka harapan sekolah, rata-rata lama sekolah, dan pendapatan nasional bruto per kapita.
Kita harus mengakui bahwa kita masih tergolong “ketinggalan” di antara negara anggota G20 dalam membangun ekonomi, teknologi, hingga kualitas manusianya. Akan tetapi kita perlu tetap optimis, karena berbagai capaian dan apresiasi yang telah diraih menujukkan bahwa Indonesia berpeluang besar untuk lebih maju. Bahkan melalui tema “Recover Together, Recover Stronger”, Indonesia mengajak seluruh negara di dunia untuk saling bahu-membahu, mendukung untuk pulih bersama serta tumbuh lebih kuat dan berkelanjutan.
Berbagai manfaat yang didapat saat Indonesia memegang Presidensi G20 harus dimaknai dengan serius. Presidensi G20 di tengah pandemi membuktikan persepsi yang baik atas resiliensi ekonomi Indonesia terhadap krisis. Presidensi G20 di tengah pandemi membuktikan persepsi yang baik atas resiliensi ekonomi Indonesia terhadap krisis.
Momentum presidensi ini hanya terjadi satu kali setiap generasi (+ 20 tahun sekali) dan harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk memberi nilai tambah bagi pemulihan Indonesia, baik dari sisi aktivitas ekonomi maupun kepercayaan masyarakat domestik dan internasional. Moment ini harus dijadikan kesempatan menunjukkan kepemimpinan Indonesia di kancah internasional, khususnya dalam pemulihan ekonomi global. Dari perspektif regional, Presidensi ini menegaskan kepemimpinan Indonesia dalam bidang diplomasi internasional dan ekonomi di kawasan, mengingat Indonesia merupakan satu-satunya negara di ASEAN yang menjadi anggota G20.