Perlunya Pembiasaan Guilt and Shame Culture bagi Masyarakat Indonesia

Budaya Guilt dan Shame sebagai solusi penegakan moral dan keadilan di Indonesia.
Sumber :
  • vstory

VIVA – Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang memegang tinggi agama dan nilai-nilai sosial. Namun, persoalan-persoalan korupsi dan pelanggaran etik yang jelas merugikan telah dianggap hal sepele di masyarakat. Kurangnya kesadaran akan moralitas berbangsa ini adalah sebuah masalah yang besar dan dapat dituntaskan dengan budaya guilt and shame culture.

Mengembangkan Potensi Guru Melalui Platform Merdeka Mengajar

Indonesia Darurat Rasa Bersalah

Indonesia merupakan suatu negara yang terkenal religius dengan termasuk menjadi 10 besar negara paling taat dan berpegang teguh pada agama yang mereka anut. Bedasarkan survei yang diselenggarakan oleh majalah CEOWORLD dan Global Business Policy Institute, Indonesia negara paling religius ke-7 dari 148 negara. Namun, Ironisnya di Indonesia sendiri Indonesia juga terkenal akan korupsinya yang terang-terangan berjamaah serta tidak tahu malu.

Fungsi Sosial yang Melekat pada Hak Atas Tanah

Taat beragama tapi kekurangan moral untuk merasa bersalah di depan masyarakat karena sudah merugikan mereka. Dari hal tersebut Indonesia perlu menerapkan budaya baru yaitu guilt and shaming culture agar ada suatu kompas moral dalam berperilaku terutama bagi para petinggi negara. Majunya suatu negara bergantung pada pemimpin yang memimpinya. Jika, pemimpin maupun petinggi tidak dapat menjadi penuntun maka tamatlah suatu negara.

Memahami Guilt and Shame Culture

Kepemimpinan Profetik, Transisi Kepemimpinan Nasional 2024

Guilt and shaming culture merupkan suatu kebudayaan yang diperlukan bagi masyarakat Indonesia di masa kini. Menurut Dr. Ir. Satrio Arismunandar, M.Si., M.B.A. selaku Jurnalis Independen dan doktor Ilmu Filsafat FIB UI menyatakan bahwa budaya guilt sendiri merupakan budaya yang menekankan rasa dosa atau bersalah pada suatu individu yang telah melakukan kesalahan. Sedangkan shame culture dalah segala emosi yang melibatkan orang lain dan sanksi yang dikenakan adalah sanksi eksternal. Dengan kedua budaya itu diterapkan maka korupsi yang sudah mengakar di Indonesia akan hilang karena adanya kompas moral yang dapat menjadi pedoman bagi masyarakat Indonesia terutama untuk para pejabat negara agar tidak mengkhianati rakyat.

Dari negara-negara barat hingga timur sudah banyak sekali yang menerapkan budaya rasa bersalah dan malu ini sebagai kompas dan ikatan moral dalam negaranya. Dengan menjadikan kedua budaya ini sebagai acuan moral dan etika di masyarakat, contohnya jika ada kasus pelanggaran tidak pantas oleh tokoh-tokoh publik memicu respons yang kuat dari masyarakat yang nantinya memberikan efek jera.

Indonesia memang telah mengadopsi budaya rasa bersalah dan malu ini. Namun, belum sepenuhnya tertanam. Hal ini dibuktikan banyaknya koruptor yang bersikap bodo amat, sedangkan seharusnya dia merasa bersalah dan malu karena telah menjadi tersangka kasus korupsi. Melihat kasus-kasus seperti tindakan eks Ketua KPK yang aduk dodol di tengah status tersangka pemerasan, mendorong kita untuk mempertimbangkan perlunya adopsi budaya Guilt dan Shame Culture karena secara akal sehat perilaku bodo amat tersebut seharusnya tidak dilakukan jika ada rasa bersalah dan malu, perbuatan tersebut justru akan menormalisasikan korupsi di Indonesia.

Selain itu, di sisi lain dalam politik yang sedang panas di tahun pemilu ini. Seorang cawapres yang jelas maju karena pelanggaran etik dan beritanya sudah mendunia pun, tetap lanjut berkampanye secara santai dengan dukungan yang seharusnya tidak ia dapatkan. Jika dipikirkan oleh akal sehat yang berpegang teguh pada nilai-nilai agama dan sosial, ini adalah sebuah darurat rasa berdosa dan rasa malu.Penormalisasian perilaku seperti inilah yang akan merusak suatu bangsa dan membawa sebuah bangsa ke liang lahatnya.

Urgensinya Penerepan Budaya Guilt and Shame Culture

Kurangnya integritas dan transparansi di Indonesia masih menjadi permasalahan yang harus diberikan perhatian lebih. Salah satu yang harus dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini adalah mengadopsi guilt dan shaming culture. Kebijakan dan praktek transparansi serta etika yang kuat harus ditanamkan agar membentuk sebuah pola pikir yang kontinu dan juga memberikan ikatan bagi pejabat publik agar lebih memperhatikan dampak dari tindakan mereka yang selalu dinilai oleh masyarakat.

Menerapkan rasa malu tidak akan cukup, rasa bersalah juga harus dibiasakan sejak kecil dalam pendidikan karakter di sekolah-sekolah dasar yang berada di Indonesia. hilangnya rasa bersalah pada seseorang akan mengundang banyak hal buruk yang nantinya mengakar dan menimbulkan kepribadian karakter yang culas. Hilangnya rasa bersalah akan memunculkan bibit masalah yang nantinya akan tumbuh mengakar subur dan merusak tatanan moral yang ada. Munculnya sifat culas yang menghalalkan segala cara ini akan berbuat apapun tanpa rasa malu untuk bertindak secara bengis merugikan saudara se-bangsa. Oleh karena itu, penerapan budaya guilt dan shame di Indonesia sangat perlu diberlakukan sedari dini agar terbentuk suatu masyarakat yang dapat memajukan serta menjaga kedaulatan bangsa Indonesia

Dampak Positif dan Negatif dari Guilt dan Shame Culture

Kedua budaya ini adalah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling berkaitan dengan adanya rasa bersalah dan berdosa kemudian, merasa malu karena telah melakukannya. Budaya-budaya tersebut mungkin dapat dikatagorikan sebagai budaya toksik karena bagi orang-orang yang terlalu berpegang teguh dengan budaya ini akan sering merasakan ketakutan dengan tindakan yang telah mereka lakukan dan budaya ini sendiri dapat menjadi sebuah mimpi buruk jika diberlakukan tidak semestinya namun, jika digunakan dalam konteks bermasyarakat terutama bernegara pejabat perlu sekali  menanamkan budaya ini pada dirinya agar terciptanya pemerintahan yang berintegritas dan transparan.

Menurut Arismunandar, masyarakat Indonesia cenderung lebih menerapkan budaya malu dibandingkan dengan budaya bersalah. Jika hal ini dilanjutkan nantinya berkembang suatu sifat kemunafikan yang membuat pejabat tinggi merasa tidak bersalah karena dirinya dianggap tidak melakukan tindakan yang salah dan akan terus jor-joran jika tidak dianggap bersalah dan pejabat seperti ini akan justru mengajak yang lain agar ternormalisasi.

Namun, beda cerita jika ditekankan lagi oleh budaya bersalah. Dengan mendorong pandangan religius, moral dan etika pada bermasyarakat dan bernegara, nantinya aka nada budaya yang menjadi pedoman agar tidak melakukan tindakan pelanggaran walau tidak ada yang mengetahui hal tersebut,. Budaya ini akan menciptakan kontrol diri yang membuat seseorang merasa berdosa dan bersalah jika mendapati dirinya sendiri melakukan korupsi yang jelas-jelas merugikan negara. Jika kedua budaya ini dipadukan maka terciptalah suatu ikatan moral dimulai dari kontrol diri dan kontrol dari masyarakat yang nantinya akan menaikkan tingkat integritas di Indonesia.

Penerapan serta Dukungan untuk Penerapan Guilt and Shame Culture

Jadikanlah penerapan budaya guilt dan shame ini sebagai salah satu penegak moral masyarakat serta pejabat di Indonesia. Perlu diingat kembali kedua budaya ini bukanlah untuk menciptakan permasalahan baru dan bersifat untuk menakut-nakuti, maknai lagi budaya ini adalah semata-mata untuk menciptakan negara Indonesia yang lebih bermartabat.

Tanamlah kedua budaya ini dimulai dari masyarakat kalangan bawah hingga atas dengan begitu akan tertanamkan kontrol diri dalam bertindak terutama mengedepankan integritas dalam setiap pengambilan langkah yang nantinya akan berorientasi pada kemakmuran bersama. Setelah kedua budaya tertanam dengan baik dibenak masyarakat, Indonesia akan menjadi negara yang maju serta mempunyai masa depan yang menjajikan dengan tingkat integritas yang tinggi dan masyarakat yang percaya terhadap pemerintahnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.