BBM dan Kemiskinan
- vstory
VIVA - Pada tahun 2022, tepatnya pada September terjadi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang menyebabkan terjadinya kenaikan harga komoditas yang lain. Pada saat itu, harga Pertalite mengalami kenaikan dari harga Rp 7.650 menjadi Rp 10.000 per liter sedangkan harga Pertamax dalam kisaran Rp 14.500 hingga Rp 15.200 per liter.
Kenaikan harga BBM mengakibatkan terjadinya inflasi. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi merupakan persentase tingkat kenaikan harga sejumlah barang dan jasa yang secara umum dikonsumsi oleh rumah tangga. Akibatnya, komoditas-komoditas yang biasa di konsumsi masyarakat umum mengalami kenaikan sehingga daya beli masyarakat menurun. Harga beras pun mengalami kenaikan harga akibat kenaikan harga BBM. Misalnya, berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional harga beras pada awal Agustus tahun 2022 (sebelum kenaikan harga BBM) di Provinsi DKI Jakarta sekitar 13.400 rupiah per kg. Namun pada November tahun 2022 (setelah kenaikan harga BBM) menjadi sekitar 13.850 rupiah per kg.
Berdasarkan data BPS, beras merupakan komoditas makanan yang memberikan sumbangan terbesar terhadap garis kemiskinan pada September tahun 2022. Komoditas makanan tersebut memberikan sumbangan sebesar 18,98 persen di wilayah perkotaan dan sebesar 22,96 persen di wilayah perdesaan. Garis kemiskinan adalah suatu nilai pengeluaran minimum kebutuhan makanan dan bukan makanan yang harus dipenuhi supaya tidak dikategorikan miskin. Komponen garis kemiskinan terdiri dari garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan bukan makanan. Pada September tahun 2022, garis kemiskinan sebesar Rp 535.547 rupiah per kapita per bulan. Angka tersebut meningkat dibandingkan kondisi Maret tahun 2022 sebesar 5,95 persen. Angka tersebut mengalami kenaikan karena tidak terlepas dari kondisi inflasi akibat kenaikan harga BBM.
Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan yang sering terjadi di berbagai negara. Berbagai macam langkah telah dilakukan namun kemiskinan tetap saja terjadi. Pada tahun 2024, Indonesia memiliki harapan untuk menurunkan angka kemiskinan ekstrem hingga mencapai target 0 persen. Berdasarkan klasifikasi wilayah, persentase penduduk miskin di wilayah perdesaan masih lebih dominan tinggi dibandingkan wilayah perkotaan. Misalnya berdasarkan data BPS pada kondisi September tahun 2022 persentase penduduk miskin di Pulau Kalimantan wilayah perdesaan sebesar 7,07 persen. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan wilayah perkotaan Pulau Kalimantan yang hanya sebesar 4,7 persen.
Sektor pertanian merupakan sektor yang mendominasi wilayah perdesaan. Namun tidak semua penduduk miskin mampu memanfaatkan sektor tersebut. Terdapat penduduk miskin yang tidak memiliki lahan pertanian untuk diolah. Hal ini dikarenakan lahan tersebut dimiliki oleh penduduk perdesaan yang kaya. Terdapat juga penduduk miskin yang memiliki lahan pertanian namun hanya cukup untuk kebutuhan pangan. Terdapat juga penduduk miskin yang kesulitan dalam mengolah lahan pertanian dikarenakan harga produksi yang mahal. Akibatnya, penduduk desa tersebut mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan kesehatan, pendidikan, maupun kebutuhan hidup lainnya.
Kondisi semakin memperburuk keadaan apabila penduduk miskin tersebut memiliki anak. Anak merupakan amanah yang diberikan Tuhan kepada orang tua. Sangat disayangkan apabila anak tersebut tidak mendapatkan kehidupan yang layak. Anak yang sejatinya merupakan harapan orang tua dan bangsa diharapkan dapat memberikan manfaat untuk ke depannya. Namun apabila kondisi anak tersebut buruk, misalnya terjadi kasus gizi buruk dan tidak menempuh pendidikan yang tinggi dikhawatirkan ke depannya akan menjadi beban orang tua dan negara.
Berkaitan dengan masalah gizi anak, kasus stunting masih saja terjadi di Indonesia. Stunting bukanlah hanya permasalahan tinggi badan anak namun juga berkaitan dengan keterbelakangan mental, kemampuan anak yang rendah untuk belajar serta muncul penyakit kronis. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan prevalensi stunting di Indonesia mengalami penurunan dari 24,4 persen pada tahun 2021 menjadi 21,6 persen pada tahun 2022. Meskipun mengalami penurunan, kasus stunting di Indonesia masih harus dipantau.
Indonesia diperkirakan mengalami bonus demografi yang puncaknya terjadi sekitar tahun 2030 hingga 2035. Bonus demografi merupakan kondisi jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk non produktif (usia di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun). Dalam mengatasi permasalahan kemiskinan diharapkan tidak hanya berfokus dalam pengendalian harga komoditas namun juga berfokus terhadap pengembangan sumber daya manusia. Harapannya bonus demografi dapat menyelamatkan bangsa ini dan tidak terjadi peristiwa “zonk demografi”. (Dyah Makutaning D, Statistisi di BPS Kabupaten Seruyan)