Pulihkan Reputasi Pasca Krisis? Bisa, Ini Caranya!
- vstory
VIVA – “Badai Pasti Berlalu”, lagu yang diciptakan Eros Djarot pada tahun 1977 ini, sempat diaransemen ulang oleh tiga penyanyi terkenal, Chrisye, Ari Lasso hingga Noah. Pada tahun 2009 lagu ini dinobatkan menjadi lagu ketiga terbaik sepanjang masa versi majalah Rolling Stone. Lagu ini secara sederhana menceritakan bahwa badai pasti akan berlalu. Sebuah bencana pasti akan usai jua. Sama halnya dengan badai, sebuah krisis yang melanda atau terjadi pada anda juga pasti akan berlalu.
Krisis bisa terjadi dan melanda siapa saja, tanpa aba-aba dan tanpa pemberitahuan. Bisa terjadi pada saya, pada Anda, pada sebuah organisasi atau institusi baik milik swasta atau pemerintah. Dan satu hal yang pasti, krisis bisa menghancurkan reputasi dalam sekejap mata. Terkadang ada yang siap dan bisa merespons krisis dengan baik, ada juga yang kaget tidak tahu bagaimana harus menghadapi dan menangani krisis. Setelah krisis, kita akan masuk pada fase pemulihan. Fase ini adalah tahapan paling penting dalam sebuah siklus krisis. Karena di fase inilah terletak kunci untuk mendorong organisasi untuk bisa bangkit lagi, bahkan tak jarang menjadi lebih kuat dari sebelumya, atau pun sekedar berjuang untuk bisa mengembalikan reputasinya.
Namun demikian tetaplah optimis dan yakin bahwa pada akhirnya sebuah krisis pasti akan berakhir, every crisis has an end, entah itu ditangani dengan baik atau pun tidak. Tapi kemudian ada fase yang selalu luput dan tidak dianggap urgent bagi sebagian orang. Yang sudah seharusnya dipahami oleh seluruh lini yang ada dalam organisasi atau perusahaan. Yaitu fase yang tersisa setelah krisis, yakni bagaimana memulihkan reputasi pasca krisis?
Sebuah institusi perbankan misalnya, yang seharusnya memberikan layanan dan dipercaya publik untuk mengelola dana dan data pribadi nasabah, bisa saja hancur lebur dan kehilangan nasabah pasca krisis, entah karena krisis yang berasal dari internal atau eksternal. Dalam beberapa kasus, sebuah organisasi atau institusi mungkin berhasil untuk mengembalikan reputasinya pasca krisis. Respons yang baik terhadap krisis bisa mengembalikan kepercayaan publik terhadap sebuah institusi, pemimpin ataupun produk sebuah perusahaan. Tapi tak sedikit juga krisis yang kemudian berakhir dengan hilangnya kepercayaan publik terhadap instansi atau organisasi tersebut.
Lalu bagaimana caranya mengembalikan reputasi yang hancur pasca krisis? Tak mudah memang, tapi bukannya tak mungkin dilakukan. Terkadang tanpa disadari, sudah menjadi habit yang terjadi saat krisis adalah kepanikan, bingung menyusun langkah dan strategi penanganan, kewalahan menyiapkan tim manajemen krisis, hingga gagap berhadapan dengan publik saat krisis. Sekalipun semuanya bisa berlalu dan tertangani dengan baik, mengembalikan reputasi pasca krisis menjadi hal crusial yang harus dilakukan. Karena ini berkaitan dengan image dan keberlangsungan organisasi atau institusi ke depannya.
Nah, terkait hal ini ada poin menarik yang dipaparkan Andrew Griffin dalam bukunya "Crisis, Issues and Reputation Management" (2014). Ia menjelaskan tiga hal yang harus perhatikan dalam memulihkan reputasi pasca krisis, yakni; (1). Melakukan review pasca krisis terkait dengan kinerja manejemen krisis serta kesiapan menghadapi krisis, (2). Membangun kembali kepercayaan baik dari pihak eksternal maupun internal, (3). Melakukan perubahan organisasi.
Evaluasi Pasca Krisis
Pertama, hal utama yang harus dilakukan dalam melakukan review pasca krisis adalah mengevaluasi bagaimana performa manajemen krisis berdasarkan sejumlah tolak ukur. Mulai dari kebijakan, apakah pengalaman krisis merubah cara pandang organisasi dalam menghadapi krisis? Hal lain yang juga tak kalah penting diukur pasca krisis adalah bagaimana seorang pemimpin menyikapi dan menghadapi krisis dan tekanan. Tak hanya pemimpin, ketahanan seluruh tim juga perlu dievaluasi pasca krisis melanda, demikian pula dengan budaya organisasi serta hubungan dengan para pemangku kebijakan saat krisis terjadi.
Kedua, evaluasi pasca krisis harus lebih spesifik melihat respons dari tim manajemen krisis. Dimulai dari bagaimana kecepatan dan efektifitas tim krisis manajemen dibentuk dan bekerja, apakah orang orang yang ditugaskan menghadapi krisis sudah orang yang tepat pada waktu dan tempat yang tepat pula. Pada tahap kedua ini juga harus mengukur apakah strategi dan keputusan yang diambil sudah tepat.
Ketiga, evaluasi pasca krisis juga penting untuk melihat hasil atau respon dari pihak luar. Mulai dari liputan media konvensional, apakah perusahaan atau organisasi mendapatkan narasi yang bagus di media, dengan pesan kunci yang sesuai dengan narasi organisasi yang dibangun saat krisis. Selain itu juga harus memperhatikan bagaimana pemberitaan di media sosial, penting untuk menangkap percakapan yang muncul di media sosial terkait bagaimana organisasi kita menghadapi dan menangani krisis. Yang terakhir yang tak kalah penting dilakukan adalah melakukan survey, bagaimana para pihak terkait dan pemangku kepentingan melihat penanganan krisis yang dilakukan.
Griffin (2014) menekankan mengapa penting untuk mereview ketiga poin di atas, karena dari sanalah bisa terlihat kesiapan sebuah organisasi dalam menghadapi dan menangani krisis, dan bagaimana ke depannya bisa beradaptasi dalam menghadapi krisis dengan skala yang beragam, entah itu lebih besar atau lebih kecil.
Membangun Kembali Kepercayaan Eksternal dan Internal
Poin utama dalam pemulihan reputasi pasca krisis salah satunya adalah berbicara mengenai bagaimana membangun kembali kepercayaan. Tahap pemulihan ini seharusnya sudah menjadi concern diawal ketika krisis mulai terjadi. Memulihkan kepercayaan pihak eksternal atau pihak luar, seperti para stakeholder, regulator, pelanggan atau bahkan politisi.
Sementara itu memulihkan kepercayaan internal, adalah meraih kembali kepercayaan mereka yang berada di dalam organisasi, para pekerja dan karyawan misalnya. Karena memang sebuah krisis tidak hanya berdampak kepada pihak eksternal di luar organisasi saja tapi juga memberikan dampak besar kepada dalam atau internal organisasi, khususnya pada kinerja perusahaan atau organisasi. Ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Valackiene (2010), dalam “Efficient Corporate Communication: Decisions in Crisis Management”, ia menyebutkan bahwa komunikasi dalam korporasi atau intitusi harus dipersiapkan dengan baik dan dilakukan secara holistic termasuk di antaranya adalah manajemen reputasi, brand dari korporasi, pembangunan citra, komunikasi krisis darurat serta employee relations yang ini artinya berkaitan memulihkan kembali kepercayaan di internal perusahaan yang salah satunya dilakukan dengan membangun komunikasi yang baik dengan karyawan.
Meskipun membangun kembali kepercayaan pasca krisis bukanlah hal yang mudah, karena bisa saja memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Tapi janganlah sekali kali menangani krisis hanya dengan sekedar memaksimalkan fungsi Public Relations saja ataupun hanya dengan cara memaksimalkan program CSR perusahaan saja oleh tim humas. Hal lain yang bisa dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan pasca krisis adalah dengan langsung menunjukkan prestasi, bukan sekedar janji, tunjuukkan capaian sesuai dengan target awal yang sudah ditentukan.
Merubah Organisasi
Ketika sebuah krisis berlangsung, hal yang sudah pasti terjadi dan tak terhindarkan adalah kerusakan, terutama kerusakan reputasi yang akan dialami setiap perusahaan. Tapi jangan berhenti sampai di sana. Karena selanjutnya adalah perubahan. Ya, perubahan. Perubahan pasca krisis bisa dilihat dari dua point of view dalam arti bisa menjadi lebih baik atau sebaliknya malah semakin terpuruk. Tergantung dari kepiawaian kita merespons krisis. Tentunya dalam melewati masa krisis setiap individu atau entitas menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik ataupun positif. Pesan perubahan pasca krisis ini penting dan harus diamplifikasi atau digaungkan kepada publik, terlebih jika kita berhasil melewati masa krisis dengan baik.
Perubahan yang dilakukan pasca krisis tujuannya tak hanya untuk mengembalikan kepercayaan semata, tapi juga menjadi kesempatan untuk melakukan perbaikan secara mendasar, mulai dari arah, tujuan strategi hingga nilai organisasi atau perusahaan Griffin (2014). Pastinya melihat oportunity di tengah krisis bukanlah hal yang mudah dilakukan, terlebih jika kondisi krisis masih belum teratasi dengan baik. Dalam kondisi krisis masih terjadi ini artinya banyak tekanan yang diterima organisasi dari segala arah. Sebagai seorang pimpinan organisasi atau perusahaan yang visioner, kita harus bisa melihat jauh ke depan ketika berhadapan dengan krisis. Tak hanya sebatas krisis dan bagaimana penanganannya, tapi juga harus bisa melihat bahwa krisis sebagai sebuah turning point dari bencana, menjadi sebuah kesempatan untuk bertransformasi ke arah yang lebih baik lagi.
Pemulihan Citra di mata Akademisi
Sebuah tahap pemulihan harus menjalankan assesment yang benar benar jujur, terlepas dari organisasi tersebut siap atau tidak dalam memprediksikan ataupun mengatasi risk reputation. Kesiapan kita dalam menghadapi krisis adalah hal yang sangat positif, tapi akan jauh lebih baik lagi jika kita mampu menghentikan resiko ancaman pra krisis sebelum benar benar menjadi sebuah krisis yang tak terelakkan. Sejumlah penelitian terkait pentingnya mengembalikan atau memulihkan reputasi pasca krisis sudah banyak dilakukan para akademisi. Terdapat banyak insight yang bisa dikumpulkan dari penelitian terkait dengan pemulihan pasca krisis. Zebua, dkk (2021) menjelaskan bagaimana pentingnya upaya mempertahankan citra pasca krisis, dengan corrective action dan komunikasi yang baik dalam fase merespons krisis dan pasca krisis sangat berpengaruh untuk mempertahankan citra institusi.
Hasil riset lainnya dari Seeger & Griffin (2010), bisa menjadi referensi untuk tahap pemulihan, atau restorasi hingga pembaharuan, penelitian ini juga menyebutkan pentingnya peran seorang pakar komunikasi dalam menghadapi krisis. Pentingnya merespons krisis dengan benar sangat berpengaruh terhadap pemulihan citra organisasi yang hancur karena krisis, salah satunya bisa dilakukan dengan teori restorasi citra.
Griffin (2014) juga memberikan empat catatan penting terkait resolusi krisis; (1). Bahwa seorang pemimpin perusahaan harus benar benar menguasai dan menjadikan manajemen krisis sebagai kemampuan strategi tingkat tinggi yang harus dipersiapkan sedini mungkin, (2). Manajemen isu harus bisa fokus memprediksi dan memecahkan ancaman reputasi baik yang muncul dari dalam ataupun luar organisasi, (3). Lagi lagi reputasi harus menjadi aset yang harus dipahami dengan sungguh sungguh oleh semua lini dalam organisasi, (4). Setiap organisasi atau institutsi yang pernah mengalami krisis sudah barang tentu memiliki kemampuan untuk memulihkan, membangun kembali reputasi bahkan mengambil kesempatan dari krisis yang terjadi.
“Musim itu telah berlalu, matahari segera berganti”, melanjutkan syair lagu yang Anda baca diawal tulisan ini, bahwa krisis pasti akan berlalu, dan bahkan tidak mungkin akan berganti ke fase yang lebih baik jika benar-benar ditangani dengan baik. Menutup tulisan ini saya ingin mengutip pernyataan Griffin (2014), “No leader wants a crisis. But good leaders will recognize that, if a crisis does occur, it presents a change opportunity that is potentially transformational”. (Dwi Anggia Ritmadhini, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Bakrie)