Judicial Review IMOCA atas Permen Kominfo

VIVAnews - Para penyelenggara jasa konten yang tergabung dalam IMOCA (Indonesia Mobile & Online Content Provider Association) akhirnya mengajukan judicial review terhadap PerMenKominfo No: 01/PER/M.KOMINFO/01/2009 ke Mahkamah Agung.

Judicial review itu dilakukan karena IMOCA merasa bahwa Permen yang dikeluarkan Menkominfo tidak sesuai dengan peraturan yang ada dalam usaha ini. Hal yang sangat mengganjal bagi penye-lenggara jasa konten adalah pengenaan biaya hak penyelenggaraan (BHP) jasa telekomunikasi terhadap penyelenggara jasa konten. 

Selama ini, BHP dikenakan bagi perusahaan yang menyelenggarakan jasa telekomunikasi seperti operator selular atau internet service provider (ISP) dan mendapat izin khusus dari Depkominfo (cq. Direktorat Jenderal Pos & Telekomunikasi). Besaran BHP yang dikenakan, menurut peraturan pemerintah adalah 1% dari pendapatan kotor (gross revenue), dimana yang baru diubah menjadi 0.5%.

“Kami mengajukan judicial review atas nama klien kami para penyelenggara jasa konten, karena Permen 01/2009 tersebut mendefinisikannya sebagai penyelenggara telekomunikasi. Itu tidak tepat, sehingga cara yang ditempuh adalah judicial review,” kata Andreas Tri Suwito Adi, pengacara IMOCA pada siaran pers yang VIVAnews terima, 6 Mei 2009.

Seperti diketahui, Permen tersebut dikeluarakan pada 8 Januari 2009. Melihat ada peraturan yang tidak sesuai itu, maka para pemain bisnis konten mobile yang tergabung di IMOCA melakukan upaya untuk mengoreksi dengan harapan bisa dilakukan perbaikan. Beberapa upaya yang dilakukan adalah dengan diskusi dengan pihak BRTI, Dirjen Postel, dan juga dengan Menkominfo di berbagai kesempatan. Namun, upaya tersebut tidak mendapatkan hasil. Oleh karena itu, maka IMOCA mengajukan somasi ke BRTI, Dirjen Postel, dan Menkominfo.

Namun, sampai dua kali somasi yang dilayangkan oleh IMOCA juga tidak mendapatkan hasil. Oleh karena itu, tidak ada langkah lain kecuali judicial review. Selain mengenai BHP, sebenarnya para penyelenggara jasa konten juga keberatan dengan Permen yang mensyaratkan izin melalui BRTI. “Ini jelas tidak sesuai dengan mekanisme. Tidak ada alasan bagi penyelenggara jasa konten harus minta izin ke BRTI. Karena bukan penyelenggara jasa telekomunikasi,” ucap Andreas.

Dijelaskan, sebenarnya penyelenggara jasa konten mobile itu dalam praktik bisnisnya tidak beda dengan rumah produksi/production house (PH). Penyedia konten tidak memiliki kapasitas serta kemampuan untuk menyampaikan konten ke user (pelanggan). Penyedia konten menyampaikan konten yang dikehendaki pelanggan ke SMSC/Content Gateway operator melalui jaringan internet, koneksi kabel atau melalui CD. “Operator-lah yang notabene sebagai penyelenggara jasa telekomunikasi bertindak sebagai penyampai konten tersebut ke pelanggan. Tanpa operator yang memiliki kapasitas, kemampuan serta jaringan telekomunikasi, konten tidak akan bisa sampai ke pelanggan,” kata Andreas.

Dalam Permen tersebut dijelaskan bahwa batas waktu untuk melakukan pendaftaran ke BRTI adalah pada 8 April 2009. Namun, setelah melakukan pertemuan antara IMOCA dengan Dirjen Postel Basuki Yusuf Iskandar dan anggota BRTI Heru Sutadi disepakati untuk diundur sebulan, sehingga batas akhirnya menjadi 8 Mei 2009. 

Meski mendaftarkan judicial review, karena hal itu tidak secara otomatis menghentikan pelaksanaan Permen, maka dengan itikad baik para penyelenggara jasa konten akan melakukan pendaftaran kolektif pada 7 Mei. Pendaftaran dimaksud tidak berarti bahwa penyelenggara jasa konten mengakui Permen 01/2009 tapi karena juga belum ada keputusan yang berkekuatan hukum tetap.

Di beberapa kesempatan BRTI dan DitJen Postel menyatakan bahwa penolakan BHP oleh IMOCA sama saja ingin menghindari pajak. BHP bukanlah pajak, tapi PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak). Pengaturan pengenaan BHP (yang pada hakekatnya adalah sebuah pungutan) kepada para penyedia konten melalui PerMenKominfo bertentangan dengan UUD'45 Pasal 23A: "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang undang".

Kementerian yang sebelumnya sebenarnya sudah memberikan contoh yang baik. Ketika UU No.3/1989 tidak bisa mengakomodir perkembangan teknologi komunikasi, maka UU No. 36/1999 dikeluarkan sebagai gantinya. BHP kepada para operator telekomunikasi yang tidak diatur oleh UU No.3/1989 lalu diatur oleh UU No. 36/1999. Bukannya oleh sebuah PerMen. 

Jika para penyedia konten tetap ingin dipaksakan untuk membayar BHP sedangkan itu tidak diatur oleh UU No. 36/1999, maka UU No. 36/1999 yang tidak bisa lagi mengakomodir perkembangan bisnis teknologi komunikasi dewasa ini haruslah direvisi atau diganti dengan UU yang baru, bukan oleh sebuah Permen.

Pembubaran Ibadah Rosario Mahasiswa Katolik di Tangsel Dinilai Tak Mencerminkan Ajaran Islam
Orang tua korban saat melapor ke Disdikbud.

Kasus Siswa SD Terancam Buta karena Gagang Sapu di Jombang, Guru Jadi Tersangka

Polisi menetapkan guru sekolah siswa SD di Jombang yang terancam buta karena dilempar gagang sapu oleh temannya usai gelar perkara.

img_title
VIVA.co.id
8 Mei 2024