- FOTO ANTARA/Rapot Pardomuan
VIVAnews - Pemerintah berencana mengembangkan pusat penanggulangan dan renovasi korban bencana (Disaster Reduction and Human Renovation Centre) yang diadopsi dari negara Jepang.
Bersama Wakil Presiden Boediono, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida S Alisjahbana beberapa waktu lalu mengunjungi lembaga itu di Kobe, Jepang.
Kobe pernah diguncang gempa pada 1995 sebesar 7,5 SR. Saat itu gempa menelan 6.000 korban jiwa, serta merusakkan 250 ribu bangunan.
Lalu bagaimana Jepang menangani bencana, tanggap darurat, dan melakukan pemulihan? Menurut Armida, penanggulangan pertama sangat mengandalkan bantuan masyarakat sendiri. "Masyarakat terdekatlah yang membantu mereka," kata Armida, Jumat 19 November 2010.
Bantuan dari masyarakat sekitar ini bisa untuk mengantisipasi keterbatasan respon pemerintah. Pada tahap awal, korban tidak mengandalkan bantuan pemerintah.
Di Pusat Penangulangan Bencana ini, menurut Armida, keluarga di Jepang diberi pengetahuan tentang bencana, termasuk menyiapkan bekal jika bencana tiba. Bekal itu berupa peralatan darurat, seperti selimut, pakaian, penerangan, serta makanan kering.
Pusat Bencana ini juga memiliki tugas melakukan pendidikan dan sosialisasi bencana kepada masyarakat dan memberikan dukungan terhadap korban. Lembaga ini juga melakukan penelitian dan kerja sama dengan negara-negara yang rentan terhadap bencana. "Ketahanan semacam inilah yang kita pelajari dari Jepang," ujar Armida.
Armida menuturkan, Presiden dan Wakil Presiden Boediono menilai Indonesia sebagai negara yang rawan bencana perlu mengembangkan lembaga semacam ini. Meski di Aceh sudah ada Tsunami Centre, di daerah lain secara spesifik belum ada.