DPR Minta Pemerintah Berikan Solusi Soal Defisit Anggaran

Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan
Sumber :

VIVA.co.id – Kementerian Keuangan dinilai kurang kredibel dalam mengelola fiskal tahun ini. Sebab, kebijakan pemerintah pada saat menghadapi masalah fiskal selalu direspon dengan kebijakan utang baru.

Saham Bumi Resources Meroket Usai Umumkan Rencana Kuasi Reorganisasi, Ini Penjelasan Manajemen

Bisa dilihat SBN semakin menggemuk. Hingga saat ini, totalnya sudah mencapai Rp2.707,81 triliun. Sementara utang lainnya sebanyak Rp731,98 triliun.

Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengaku sangat prihatin dengan cara-cara pemerintah mengelola fiskal.

Defisit APBN 2024 Diperlebar Jadi 2,8 Persen Gegara Subsidi Pupuk hingga BLT

"Kelihatannya  pemerintah sudah kehilangan akal dalam menyehatkan fiskal selain dengan jalan menumpuk hutang. Bukannya justru menyehatkan, cara-cara yang ditempuh pemerintah itu justru sedang menjerumuskan bangsa ini kepada ancaman guncangan keuangan. Kasarnya, pemerintah gali lubang untuk tutup lubang," ujar Heri di Gedung DPR RI, Jumat 30 Desember 2016.

Menurut Heri, gemuknya SBN untuk membiayai defisit semakin memberi ancaman baru. Kontribusi SBN terhadap total pembiayaan utang rata-rata mencapai 101,8 persen per tahun. Sedangkan terhadap total pembiayaan anggaran mencapai 103,3 persen per tahun (RAPBN 2017). Kecanduan yang berlebih terhadap SBN tersebut sudah pasti akan meningkatkan risiko fiskal.

Sri Mulyani Buka Suara soal Program Makan Siang Gratis, Defisit Anggaran 2025 Naik

"Yang paling miris, dari struktur kepemilikan SBN domestik yang diperdagangkan (tradable), tren kepemilikan asing terhadap surat utang pemerintah cenderung meningkat," ujarnya.

Dijelaskan Heri, Pada tahun 2011 porsi kepemilikan asing masih 30,5 persen, dan kemudian per September 2016 melonjak menjadi 39,2 persen atau baik hampir 10 persen.

"Resikonya adalah adanya ancaman pembalikan dana secara tiba-tiba dan dalam jumlah besar (sudden reversal) yang dapat berdampak sistemik, sehingga pasti menekan kestabilan perekonomian nasional," kata Politisi Gerindra ini.

Lebih lanjut, tambah Heri agresifitas penerbitan SBN dapat memicu perang suku bunga perbankan dan pengetatan likuiditas. Akibatnya, perbankan akan tetap menawarkan suku bunga deposito di level yang tinggi meski suku bunga acuan terus diturunkan.

"Kondisi itu pada akhirnya berujung pada suku bunga kredit yang tetap bertengger di angka double digit. Akibatnya, likuiditas makin sempit dan akhirnya ekonomi rill semakin berat untuk berkembang, disamping menurunnya daya beli," ujarnya.

Masih kata Heri, Hal lain yang juga menyedihkan adalah pembayaran bunga utang telah mencapai Rp221,2 triliun pada tahun 2017. Artinya telah terjadi kenaikan 15,8 persen dari target APBNP 2016 sebesar Rp191,2 triliun.

"Jumlah itu setara dengan 40 persen alokasi belanja non K/L. Dengan begitu, maka sepertinya kita tidak bisa berharap banyak untuk pencapaian program pencapaian kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi riil dari cara-cara pengelolaan fiskal seperti itu. Buktinya, uang hanya habis untuk membayar utang yang semakin bertumpuk," katanya.

Legislator dari Dapil Jabar IV ini menjelaskan, ia sebetulnya sangat berharap pemerintah bisa menghadirkan solusi atas jeratan defisit anggaran yang makin menganga lewat kebijakan fiskal yang kredibel.

"Ironisnya, dalam kurun lima tahun terakhir, realisasi defisit anggaran cenderung meningkat. Penyebabnya, rata-rata realisasi belanja tumbuh di kisaran 5 persen, sementara realisasi pendapatan negara hanya tumbuh kisaran 3 persen. Bahkan defisit APBNP 2015 melonjak melebihi target yaitu mencapai 2,59 persen terhadap PDB," ujarnya.

Pada APBNP 2016, sambung Heri, pemerintah kembali menargetkan defisit anggaran sebesar 2,35 persen. Bahkan, pada APBN 2017, Pemerintah kembali menaikkan defisit anggaran sebesar 12,9 persen menjadi Rp330,2 triliun atau mencapai 2,41 persen PDB.

"Yang paling mengkhawatirkan, dengan melihat realisasi fiskal sepanjang 2016 ini, diperkirakan defisit akan meningkat menjadi 2,7 persen terhadap PDB. Ini adalah tragedi bagi keuangan nasional kita. Sebab itu, pemerintah diharapkan untuk terus menghadirkan postur fiskal yang kredibel. Dan itu harus nyata jangan sampai habis di wacana dan kenyataannya tidak terbukti," ucap eks Wakil Ketua Komisi VI ini.

Hal-hal yang harus diperhatikan dan segera dilaksanakan pemerintah, saran Heri antara lain, mengevaluasi efektifitas defisit APBN yang diakibatkan oleh kebijakan fiskal ekspansif.

"Idealnya, ekspansi fiskal harus berdampak pada peningkatan produktifitas yang di antaranya harus tercermin pada peningkatan penerimaan negara dan menurunnya pembiayaan defisit ke depan. Jangan sampai yang terjadi, defisit keseimbangan primer justru semakin membengkak," ujar Heri.

Selanjutnya, pemerintah harus tegas menetapkan kriteria atau prasyarat suatu program atau proyek yang boleh dibiayai dengan utang. Di samping untuk menjamin efektif meningkatkan produktifitas, juga harus mampu mengembalikan beban bunga dan cicilan utang.

"Pemerintah perlu mengembangkan berbagai strategi alternatif pembiayaan guna tetap menjaga kesinambungan fiskal. Jangan sampai terus bergantung pada SBN dan instrumen utang lainnya yang proposirnya mencapai 98 persen dari total pembiayaan defisit. Jika pemerintah terus-menerus menumpuk utang, maka hasilnya rasio total utang pemerintah akan terus meningkat yang ujungnya akan menjadi beban fiskal pada tahun-tahun selanjutnya. Jangan sampai gali lubang, tutup lubang," katanya.

Heri mengatakan, pemerintah harus mengontrol membengkaknya SBN yang dominan dimiliki asing. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah adanya pembalikan dana dalam jumlah besar secara tiba-tiba yang sudah pasti akan memberikan goncangan terhadap keuangan nasional.

Hutang harus diarahkan untuk sektor produktif. Hingga saat ini, alokasi utang masih terkonsentrasi pada sektor jasa-jasa, persewaan dan jasa keuangan serta properti. Mestinya, lebih diprioritaskan untuk sektor produktif, seperti pertanian, industri pengolahan, maupun transportasi dan komunikasi yang memiliki multiplier lebih besar, ujarnya.

"Pemerintah juga perlu memitigasi aktivitas lazy banking yang hanya menaruh dananya di instrumen SBN yang menyebabkan likuiditas semakin sempit dan dorongan terhadap pertumbuhan ekonomi rill semakin lemah," katanya.  (webtorial)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya