Sumber :
- iStock
VIVAlife
- Bisa dibilang ini permainan paling universal. Hampir seluruh anak di dunia menyukai permainan cilukba. Sebenarnya, mengapa permainan itu begitu disukai anak-anak?
Menurut penelitian yang dipimpin James Russell di University of Cambridge, cilukba membuat anak merasa tidak terlihat. Itu seperti melambungkan harapan dan kepercayaan diri anak.
![Halaman Selanjutnya]( "Halaman Selanjutnya")
Baca Juga :
DPR Tolak Iuran Pariwisata Dibebankan ke Industri Penerbangan, Tiket Pesawat Bisa Makin Mahal
Menurut penelitian yang dipimpin James Russell di University of Cambridge, cilukba membuat anak merasa tidak terlihat. Itu seperti melambungkan harapan dan kepercayaan diri anak.
Untuk menyimpulkan itu, peneliti melakukan analisis terhadap sekelompok anak berusia tiga hingga empat tahun. Mata mereka ditutup, kemudian ditanya apakah mereka terlihat bagi peneliti.
Sebagian besar anak menjawab mereka tak terlihat. Mereka juga percaya, para peneliti tidak dapat melihat orang dewasa yang memakai masker mata. Artinya, mereka menganggap siapapun yang menutup mata seperti mengaburkan pandangan dari orang lain.
Dalam eksperimen lain , peneliti Gerrod Parrott dan Henry Gleitman melakukan serangkaian tes untuk mengetahui kunci permainan. Anak-anak diminta menutup mata, kemudian membukanya kembali.
Sementara itu, para peneliti ada yang tetap berada di tempat saat anak membuka mata. Ada pula yang mencoba bersembunyi atau muncul di tempat lain. Kali ini, permainan berkaitan dengan harapan anak.
Disimpulkan, anak lebih tersenyum saat mendapati orang yang sama hadir di tempat semula sebelum dan sesudah mereka membuka mata. Senyum mereka hilang, saat mendapati orang itu muncul di tempat lain atau bahkan hilang sama sekali.
Itu artinya, permainan cilukba menimbulkan harapan anak soal identitas dan tempat orang akan kembali. Tingginya harapan membuat mereka menikmati permainan itu. Namun saat harapan itu dihancurkan, mereka jadi tak menikmati lagi permainannya.
Sumber:
Daily Mail
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Untuk menyimpulkan itu, peneliti melakukan analisis terhadap sekelompok anak berusia tiga hingga empat tahun. Mata mereka ditutup, kemudian ditanya apakah mereka terlihat bagi peneliti.
