China! Jauhi Natuna

KRI Silas Papare-386 saat menangkap kapal ikan asing di Natuna
Sumber :
  • TNI AL

VIVA – Laut Natuna Utara kini mulai diseret dalam sengketa Laut China Selatan, sebagaimana diprediksi para pakar sebelumnya. Klaim kedaulatan China didasarkan U-shape yang membentuk sembilan garis yang diberi nama Nine Dash Line yang menyinggung perairan Natuna.

Di laut Natuna, kapal nelayan China dan kemudian kapal ikan Vietnam lagi-lagi tertangkap basah mengambil hasil laut. Tak tanggung-tanggung, mereka dikawal oleh Coast Guard, Patroli Keamanan Laut negaranya. Atas nama Nine Dash Line, China mengusik laut Natuna, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) milik Indonesia.

Sejak lama klaim Nine Dash Line menjadi masalah. Usungan China itu mengatasnamakan argumen historis yang sebenarnya tanpa dokumen valid yang bisa diterima komunitas internasional.

Meski demikian, China terus bertahan. Diketahui Negeri Tirai Bambu itu selama lebih 10 tahun terakhir sudah bersengketa dengan sejumlah negara yang perairannya dianggap bagian Nine Dash Line tersebut.
  
Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, dan Taiwan merupakan negara-negara yang hingga saat ini belum menerima sejumlah kepulauan mereka diklaim China. China dengan arogannya tak segan menyisir wilayah laut China Selatan.

Sikap unilateral China direspons dengan membawa sengketa itu ke Pengadilan Arbitrase Internasional oleh Filipina. Terbukti untuk kasus wilayah Filipina, negara itu dianggap lebih punya dasar kuat terkait Kepulauan Spratly dan Paracel.

Sekalipun demikian, gugatan mereka soal China melakukan tindakan ilegal dan melakukan praktik kejahatan pencurian di wilayah itu memang tidak dimenangkan.

Sementara itu, China hingga saat ini memang dianggap oleh pihak internasional tak memiliki dasar dan bukti kuat atas klaim historis bahwa dahulunya wilayah itu adalah milik China dan dengan demikian berhak berdaulat atasnya.

Dalam sumber tertulis About Certain Legal Problems of the South China Sea oleh ZHAO yang diterbitkan pertama kali pada 1995 diterakan bahwa China memang tidak bisa meyakinkan komunitas internasional mana pun atas bukti jelas yang mendukung klaim Nine Dash Line agar bisa diterima secara legal. Klaim historis sebagai bangsa great powers pada zamannya yang pernah menguasai wilayah itu yang menjadi dasar klaim China selama ini.

Di sisi lain, ASEAN selalu mendorong agar penyelesaian sengketa Laut China Selatan dilakukan dalam kerangka China berhadapan dengan ASEAN sebagai perhimpunan negara-negara Asia Tenggara. Jadi, setiap negara ASEAN tak perlu berhadap-hadapan dengan China sendirian, mengingat kapasitas China relatif lebih kuat dan dimungkinkan menekan negara per negara.
 
Kecaman

Tertangkapnya kapal nelayan China dan nelayan asing lainnya yang sedang mencuri di Natuna kemudian membuat Indonesia bereaksi. Kecaman demi kecaman terhadap klaim China muncul.

Pelanggaran oleh kapal pencuri meliputi kegiatan ilegal, unreported and unregulated  fishing. Sementara itu, aktivitas Coast Guard China juga melanggar batas Natuna sebagai ZEE Indonesia. Zona Ekonomi Eksklusif itu diakui dalam Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS).

Kapal-kapal Angkatan Laut Indonesia lalu ditempatkan di Natuna. Personel ditambah. Diputuskan pula bahwa empat jet tempur Angkatan Udara akan berpatroli sepekan di langit Natuna.

Tak hanya itu, di luar pemerintahan, muncul wacana agar dibentuk Sea and Coast Guard Indonesia demi memberikan efek gentar bagi ancaman terhadap kedaulatan wilayah Indonesia.

Sementara itu, pada Rabu, 8 Januari 2020, Presiden Joko Widodo kembali bertolak ke laut Natuna. Di sana, Jokowi melakukan pengecekan wilayah dan penjagaan hingga bertemu dengan ratusan nelayan. Jokowi pada Rabu siang juga menggelar rapat di atas kapal perang KRI Imam Bonjol-383.

“Ini memberikan sinyal bahwa pemerintah Indonesia terutama Bapak Presiden dalam persoalan Natuna ini benar-benar memberikan attention serius," ujar Sekretaris Kabinet Pramono Anung, ditemui di kantornya, Jakarta, Rabu 8 Januari 2020 diberitakan VIVAnews.

Di Natuna, Presiden Jokowi kembali memberikan pernyataan. Dia menyebut kapal Coast Guard China hanya melintas di ZEE Indonesia. Kapal-kapal asing memang boleh kalau sekadar melintas, namun jangan sampai mengeruk satu sen pun kekayaan yang ada di ZEE Natuna.

“Yang ada (kapal asing) hanya masuk ke Zona Ekonomi Eksklusif. Itu lewat semua kapal bisa,” kata Presiden Jokowi sebagaimana dirilis Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden.

Presiden menambahkan, sekalipun kapal asing boleh lewat, namun kekayaan alam di dalamnya hanya milik Indonesia dan kebijakan Indonesia berlaku di dalamnya. Oleh karena itu, apabila terindikasi ada kapal yang melakukan tindakan ilegal maka harus diusir keluar dari ZEE tersebut.

Keyakinan China

Sementara itu, sebelumnya Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Gheng Shuang justru sangat percaya diri menyatakan bahwa China memang memiliki kedaulatan dengan Kepulauan Spratly, wilayah yang juga sedang jadi objek sengketa dengan negara ASEAN lain itu. Natuna memang cukup berdekatan dengan Spratly, kepulauan ini berada di bagian timur laut Natuna.
 
Gheng Suang dalam konferensi pers dilansir The New York Times menyebut bahwa wajar jika baik nelayan China dan Indonesia melakukan aktivitas menangkap ikan di sana. Dia menyebutkan, Indonesia tak punya wewenang atas Spratly dan perairannya yang diklaim teritori China. 

Pernyataan itu tak lama direspons Kementerian Luar Negeri RI yang mengingatkan bahwa tak ada tumpang tindih perairan China di Natuna. Oleh karena itu, Indonesia tidak akan mau membicarakan hal tersebut dalam konteks sengketa. Perairan Natuna adalah milik Indonesia sebagaimana diatur dalam UNCLOS.
 
Kaya

Wilayah Laut China Selatan dengan klaim Nine Dash Line sebagian besar memang secara gigih terus diklaim oleh China bukan tanpa alasan. Setidaknya wilayah perairan itu sangat krusial dan kaya dalam dua hal.

Pertama, mengandung sumber daya alam dan kedua, menjadi jalur transportasi laut bagi China. Di sejumlah wilayah di Laut China Selatan bahkan dilaporkan China tak segan-segan menempatkan militernya.

Selain itu, sengaja membuat pulau-pulau buatan. Hal ini yang membuat negara-negara yang bersinggungan wilayahnya dengan klaim itu meradang.

Jalur perairan ini juga menjadi rute perdagangan via laut yang penting bagi China yang akan mendukung sepak terjangnya melebarkan sayap kekuatan ekonomi.
 
Dari sisi sumber daya alam, Laut China Selatan tak bisa dianggap sepele. Di dalamnya terkandung sumber energi minyak dan gas alam yang diyakini berjumlah besar.

Sementara itu, Kepulauan Natuna diperkirakan memiliki potensi blok minyak sekitar 25.446 barel per hari, kemudian produksi minyak bumi 489,21 MMSCFD. Kemudian untuk sumber perikanan bisa lebih dari satu juta ton per tahun.

Menyikapi hal yang terjadi di perairan Natuna, Kemlu RI beberapa hari setelah kapal Coast Guard China wara-wiri di Natuna telah melayangkan nota protes. Hal itu dilakukan sebagai bentuk sikap tegas atas tindakan China.

Direktur Jenderal Perjanjian Internasional Kemlu RI, Damos Dumoli Agusman, menilai bahwa nota protes tak boleh dianggap sekadar pernyataan politik di atas kertas.

“Keliru sekali karena nota ini ada nilai hukumnya,” kata Damos merespons anggapan nota protes tak bergigi sebagaimana dituliskannya melalui akun Twitter dan diperbolehkan dikutip.

Damos mengatakan, negara yang melakukan protes justru sedang menggunakan hak hukumnya untuk bersikap persistent objection terhadap klaim negara lain.

“Dengan menggunakan hak ini maka Indonesia tidak akan terikat pada klaim itu dan menghalangi klaim ini menjadi embrio dan terkonsolidasi menjadi norma,” kata dia.

Oleh karena itu, jika Indonesia tak segera melakukan nota protes, dalam hukum internasional akan bisa terjadi acquiescence yakni pengakuan diam-diam dan sepihak yang nantinya lebih berbahaya. Artinya diam soal Natuna bisa diartikan menerima. (art)