Ampuhkah Deradikalisasi WNI eks ISIS yang Sempat Pulang

Seorang wanita berkerudung penuh menggendong bayinya melarikan diri dari kelompok Negara Islam di Baghouz pada 13 Februari 2019 - Getty Images/AFP/DELIL SOULEIMAN
Sumber :
  • bbc

Sejak 2016 hingga 2019, sebanyak 196 WNI eks ISIS beserta anak-anak mereka dideportasi ke Indonesia dari sejumlah negara.

Mereka mendapatkan rehabilitasi selama sebulan di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani di Jakarta Timur.

Langkah ini berbeda dari kebijakan saat ini di mana pemerintah berencana menolak kepulangan 689 WNI eks ISIS yang masih berada di Suriah dan sekitarnya.

Kepala PSMP Handayani, Neneng Heryani, mengatakan sebagian besar para deportan adalah perempuan dan anak-anak.

"Tujuh puluh persen anak-anak dan perempuan. Sisanya laki-laki," katanya kepada wartawan BBC News Indonesia, Muhammad Irham, Kamis (13/02).

Dalam proses rehabilitasi di panti, ratusan WNI eks ISIS ini diberikan terapi selama sebulan sebelum dikembalikan ke masyarakat. Dalam proses rehabilitasi, dilakukan pemeriksaan dasar kepada para deportan, termasuk kesehatan.

Setelah itu, mereka mendapat pemeriksaan dari psikolog. Hasil pemeriksaan akan mempengaruhi jenis terapi yang akan diberikan.

Selama proses rehabilitasi, mereka juga mendapatkan pembekalan mengenai nilai-nilai kebangsaan. "Diterapi dan disiapkan untuk kembali ke masyarakat," kata Neneng.


Semenjak kekalahan kelompok kekhilafahan ISIS kira-kira dua atau tiga tahun lalu, keluarga para petempur ISIS - para perempuan dan anak-anak - di tempatkan di kamp pengungsian yang dipadati lebih dari 70.000 orang. - Getty Images

Sejauh ini, kata Neneng, belum ada laporan keberadaan mantan simpatisan ISIS ini ditolak masyarakat.

"Belum ada sampai saat ini kita dengar (ada penolakan)," katanya.

Keberadaan deportan ini, masih diawasi dinas sosial di masing-masing daerah.

"Tapi beberapa ada dimonitoring sama kita. Kita melakukan ke Jawa Tengah tahun kemarin. Mereka sudah bagus ya, ada yang jadi guru kembali ibunya. Anaknya sudah sekolah lagi," lanjut Neneng.

Selain diawasi dinas sosial, keberadaan para deportan juga masuk ke dalam bagian program deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).


Situasi di Kamp Al-Hol - AFP/FADEL SENNA

`Kalau dia diisolir, pasti kembali ke jaringan lama`

Pejabat BNPT, Irfan Idris, mengatakan tak ada batasan waktu dalam program deradikalisasi mantan simpatisan ISIS yang dipulangkan ke tanah air.

"Tergantung tingkat keterpaparan dan kondisi psikologis, dan sosiologis di mana mereka berada," kata Direktur Deradikalisasi, Irfan Idris kepada BBC News Indonesia, Kamis (13/02).

Irfan menambahkan ukuran keberhasilan deradikalisasi bagi mantan teroris maupun simpatisan ISIS adalah tidak kembali lagi ke jaringan lama. "Tidak berbuat lagi dan tidak berpikir macam-macam lagi tentang khilafah, tentang ISIS, tentang jihad," katanya.

Lebih lanjut, menurut Irfan, keberhasilan program deradikalisasi juga tergantung dukungan masyarakat. Selama masyarakatnya menerima mantan teroris, kecil kemungkinan mereka kembali ke jaringannya.

"Kalau dia diisolir. Siapa pun tidak kuat. Pasti dia kembali ke lingkungan yang tidak mengisolir dia. Siapa lingkungan yang mau menerima dia? Ya, jaringan lama," katanya.

Irfan mengeklaim, BNPT terus memantau mantan teroris, maupun simpatisan jaringan ISIS yang ikut program deradikalisasi. Khusus anak-anak, sebagian dari mereka disekolahkan di pesantren.

Dalam laporan kepada DPR 2018 lalu, BNPT mencatat sebanyak 591 WNI eks ISIS yang dideportasi dari pelbagai negara seperti Turki, Jepang, dan Singapura. Sebanyak 196 telah menjalani rehabilitasi di PSMP Handayani.

Indikasi keberhasilan deradikalisasi versi mantan teroris

Mantan narapidana teroris yang juga mantan anggota Al-Qaeda, Sofyan Tsauri, punya catatan tersendiri tentang keberhasilan program deradikalisasi.

Keberhasilan itu ketika mantan teroris menyatakan kesetiaan terhadap dasar-dasar negara dan mengikuti kegiatan seminar. "Itu menjadi tolak ukur bahwa dia bisa berkomunikasi," katanya.

Selain itu, tolak ukur keberhasilan deradikalisasi adalah membentuk komunitas. "Di situ kita bisa berbagi rasa, berbagi curhatan. Itu bisa saling menguatkan," lanjut Tsauri.

Namun, ia mengakui tak semua mantan teroris atau pun simpatisan ISIS mau mengikuti program deradikalisasi.


Perempuan dan anak-anak di Kamp Al-Hol. - AFP/FADEL SENNA

"Mereka menolak ikut program. Tapi dia tidak melakukan terorisme. Waktu jaman Jemaah Islamiyah banyak seperti itu. Takutnya mereka tidak diakui lagi oleh jemaah (organisasi) lagi," kata Tsauri.

Mereka yang menolak program deradikalisasi ini memiliki kecenderungan untuk menutup diri dan berpindah-pindah alamat rumah. "Itu bisa jadi bom waktu," kata Tsauri.

Sebelumnya Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan pemerintah tidak berencana memulangkan sekitar 689 WNI yang diduga menjadi petempur teroris lintas batas atau foreign terrorist fighters (FTF) di beberapa negara.

"Keputusan rapat (kabinet) tadi, pemerintah dan negara harus memberi rasa aman dari ancaman terorisme dan virus-virus baru teroris terhadap 267 juta rakyat indonesia," kata Mahfud di hadapan wartawan, usai mengikuti rapat kabinet di komplek Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa (11/02) sore.

Namun pemerintah masih mempertimbangkan untuk memulangkan anak-anak usia di bawah 10 tahun. "Anak-anak di bawah 10 tahun akan dipertimbangkan case by case (kasus per kasus), apakah anak itu di sana ada orang tuanya atu tidak," kata Mahfud MD.


Empat orang WNI ini dua tahun memilih meninggalkan Indonesia untuk hijrah di wilayah yang diklaim sebagai wilayah ISIS di Suriah. - AFP

Diragukan efektivitasnya

Bagaimana pun proses deradikalisasi terhadap ratusan WNI eks ISIS ini masih diragukan efektivitasnya. Hal ini dibuktikan dari aksi bom bunuh diri pasangan suami-istri Ruille Zeke dan Ulfah. Padahal, keduanya telah menjalani program deradikalisasi.

Menurut Pengamat Deradikalisasi Keluarga, Haula Noor dalam proses rehabilitasi pemerintah Indonesia kurang siap menangani para WNI eks ISIS yang dideportasi. Tiap deportan memiliki motivasi yang beragam untuk bergabung dengan ISIS sehingga perlu penanganan khusus.

Motivasinya antara lain sekedar ikut-ikutan, mencari suami, bergabung menjadi tentara, hingga mencari kehidupan yang lebih baik di bawah naungan ISIS.

"Kalau kita bisa melihat mapping (pemetaan) itu, setelah itu kita harus memeriksa juga selama mereka tinggal di sana, apa yang sudah mereka lakukan," kata Haula kepada BBC News Indonesia, Rabu (13/02).

Selain itu, durasi rehabilitasi terhadap eks ISIS selama sebulan dinilai terlalu singkat. Proses radikalisasi seseorang, menurut Haula, membutuhkan waktu yang lama. Begitupun masa rehabilitasinya, semestinya memerlukan waktu lebih dari sebulan.


Perempuan dan anak-anak di Kamp Al-Hol - AFP/FADEL SENNA

"Menurut saya proses deradikalisai itu harus bertahap, dan sebulan itu kayak nggak ada apa-apa," kata Haula. Ia menyarankan pemerintah melakukan pengecekan anak-anak dan keluarganya saat di pengungsian Suriah agar penanganannya ketika sampai di Indonesia lebih bernas.

`Anak eks-ISIS harus satu paket dengan ibunya`

Haula Noor juga menilai rencana pemerintah Indonesia memulangkan anak-anak di bawah 10 tahun dari Suriah hanya akan membawa bencana baru.

Sebab, anak-anak tersebut hanya akan menyimpan dendam terhadap pemerintah karena telah menelantarkan orangtua mereka di Suriah.

"Tapi kalau mereka dipulangkan ke Indonesia tanpa orang tuanya, itu dendam yang tumbuh karena kekecewaan kenapa saya harus dipisahkan dari orang tua saya. Jadi bisa dibayangkan," kata Haula.