Nofia Fitri: Politisi Wanita Sekarang Kurang Gereget

Nofia Fitri
Sumber :
  • VIVAnews/Muhamad Solihin

VIVAlife - Sebuah peribahasa Arab yang mendunia dan diterjemahkan bebas ke dalam berbagai bahasa menyebutkan, Utlubul ilma walau bissin, tuntutlah ilmu sampai ke negeri China. Peribahasa itu yang mungkin melandasi hidup Nofia Fitri, satu di antara sedikit perempuan pemerhati politik di tanah air.

Hampir sepanjang hidupnya, wanita kelahiran Jakarta, 16 November 1984 ini, habiskan untuk belajar. Usai menamatkan S1 Ilmu Politik di Universitas Nasional, Jakarta, Nofia melanjutkan studi S2 nya ke Turki. Meski belum resmi lulus, kiprahnya di bidang perpolitikan sudah merajalela.

Mengawali dari menjadi seorang peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Indonesia, Nofia yang juga Asisten khusus Pengamat Kenegaraan Yudi Latif itu pernah mewawancarai berbagai tokoh politik ternama, termasuk Almarhum Gus Dur. Perempuan berambut pendek ini bahkan pernah terlibat  kegiatan mensosialisasikan Bali Democracy Forum (BDF) selama magang di Kemenlu.

Uniknya, Nofia mempelajari bidang ilmu yang tak banyak diminati perempuan, yakni peretasan komputer. Namanya juga telah tercatat sebagai penulis empat free e-books. Kini, selain berkegiatan sebagai sekretaris program dan peneliti Politik PSIK-Indonesia, perempuan yang hobi memetik gitar itu sering diundang menjadi pembicara di berbagai acara baik soal politik maupun bidang IT.

Sosoknya yang seakan menjelma menjadi Kartini masa kini, bisa menjadi inspirasi perempuan Indonesia. Di usianya yang masih muda, anak ketiga dari enam bersaudara itu mampu mematahkan anggapan bahwa politik dan komputer, hanya dunia laki-laki. Tak ada salahnya kita mengenal lebih lanjut soal perempuan yang satu ini. Berikut hasil wawancara VIVAlife dengan Nofia, yang dilakukan di kantor PSIK, kawasan Pancoran, Jakarta Selatan.

Apa yang membuat Anda tertarik di bidang politik?

Singkatnya, hidup saya adalah politik. Dari SD, saya sudah berorganisasi. SD menjadi Ketua Kelas, SMP Ketua OSIS, SMA masuk tim OSIS dan mengorganisasi grup filatelis, sampai kuliah pun menjadi Sekretaris Senat dan Wakil BEM. Saya juga suka membaca, kebetulan abang saya seorang aktivis mahasiswa.

Kalau waktu kecil bacaannya Bobo dan serial cantik, SMA saya sudah mulai baca buku ideologi. Tentang Komunisme, Das Kapital-nya Karl Marx, Manifesto Komunis, sampai soal Zionisme dan filsafat politik Barat. Itu saya baca karena di rumah memang tersedia dan saya penasaran. Padahal, waktu SMA saya ambil jurusan IPA. Tapi karena tertarik kajian Anarkisme, liberalisme, sampai Ekonomi Neoklasik, waktu kuliah saya ambil Ilmu Politik.

Apakah sejak kecil memang bercita-cita terjun ke dunia politik?

Kalau cita-cita sering gonta-ganti. Pernah mau jadi dokter, bahkan pernah bercita-cita jadi wartawan. Karena waktu di Unas saya jadi Pemimpin Redaksi majalah kampus. Tapi sebenarnya sih sekarang ingin jadi Profesor.

Perempuan masuk dunia politik, tidak membuat Anda khawatir?

Sampai saat ini, demi menjaga idealisme, saya belum berani masuk politik praktis. Saya masih membatasi diri di riset dan penelitian, dengan begitu saya banyak sharing pengetahuan. Saya banyak diundang berbicara, misalnya tentang partisipasi politik perempuan, tapi hanya sebagai seorang peneliti yang memantau dan mengawasi. Menjadi politisi memang tidak mudah, apalagi perempuan. Ujiannya luar biasa, harus membekali diri dulu. Saya memang belum mau, meskipun tahun 2009 sudah ada yang menawari.

Tanggapan lawan jenis saat Anda masuk ke dunia itu?

Mereka justru welcome karena ada kader perempuan yang mau berbicara. Laki-laki itu tidak akan menganggap perempuan yang terjun di bidang politik sebagai kompetisi, justru sesuatu yang unik dan memang seharusnya begitu. Perempuan harus ada representasi, membawa kepentingan, misi, aspirasi, khususnya tentang keperempuanan.

Kedudukan politisi perempuan Indonesia, menurut Anda?

Banyak kemunculan tokoh baru. Hanya saja, yang agak disedihkan, kenapa perempuan-perempuan yang muncul justru mencetak kasus korupsi. Perempuan yang menjadi harapan, justru tidak punya taring, akhirnya membuat orang tidak bersemangat lagi untuk mengusung perempuan dalam politik.

Kita seperti kehilangan figur. Tidak ada lagi tokoh seperti Ibu Khofifah Indar Parawangsa yang dulu geregetnya kenceng. Meutia Hatta pun sekarang kurang gereget. Puan Maharani juga kurang menurut saya. Yang sekarang bermunculan, tidak terlalu bertaring di parlemen. Tahun ini saya berharap lebih baik.

Peran perempuan sendiri, dalam pendewasaan itu, seharusnya seperti apa?

Kebanyakan politik perempuan background-nya bukan politik. Kalau nggak selebriti, ya keluarganya juga politisi. Kalaupun kuliah, tidak mendalami belajar politik. Seharusnya belajar teorinya dulu, pasti nantinya akan paham. Sedangkan mereka terjun ke praktek langsung, belajarnya secara instan. Memangnya seminggu cukup untuk mengenal apa itu politik?

Banyak politisi perempuan yang tidak punya dasar apa itu politik. Misalnya, memahami soal black campaign, money politic, itu memang bagian dari ruang politik dan kajian strategi politik. Politik itu adalah proses, tujuannya tetap untuk menyejahterakan rakyat.

Siapa sosok politisi yang menjadi panutan Anda?

Saya paling suka Angela Merkel, karena dia pemimpin yang simpel tapi konsep politiknya luar biasa. Dia berpolitik dari muda juga. Saya juga suka Yulia Tymoshenko yang dari Ukraina, tapi PM yang satu ini lebih ke stylist dan modis, background-nya pun bisnis. Sedangkan Margareth Thatcher punya ide, bukan hanya karena suaminya kaya raya.

Tapi, dia tidak sehebat Angela Merkel di mata saya. Sejak dia mulai memimpin partai, saya sudah mulai searching siapa pemimpin yang satu ini. Karena unik, dia sederhana sekali, bahkan tanpa make up. Kalau sosok laki-laki, saya kagum dengan Bung Karno dan Imam Khomeini, karena punya karakter kepemimpinan yang kuat dan bisa mengorganisasi massa untuk sebuah revolusi.

Inspirasi sosok itu yang membuat Anda belajar politik sampai ke Turki?

Saya belajarnya Hubungan Internasional. Awalnya di sana ikut program homestay, niatnya belajar bahasa. Waktu ditanya profesor di sana, saya jawab mau persiapan studi, akhirnya disuruh kuliah. Semester pertama, masih dibiayai keluarga sponsor. Selanjutnya, saya sudah berusaha sendiri.

Â