HNW: Bingkai Politik dengan Akhlak Sebagai Rujukan Konkret

Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid
Sumber :

VIVA.co.id – Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid saat memberi kuliah umum di hadapan anggota Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang datang dari berbagai daerah, Bekasi, Jawa Barat, 18 Februari 2016, mengatakan bahwa manusia diturunkan ke bumi sebagai khalifah. Sebagai khalifah maka tugas manusia adalah memakmurkan bumi bukan malah menghancurkan.

Untuk memakmurkan bumi, manusia bisa melakukan dengan cara beribadah. Ditegaskan oleh Hidayat Nur Wahid bahwa ibadah yang dilakukan bukan hanya untuk diri sendiri namun juga untuk kemaslahatan ummat dan berorientasi ke masa depan.

Untuk memakmurkan bumi maka manusia menurut Hidayat Nur Wahid harus mewariskan sesuatu yang baik. Untuk mewariskan sesuatu yang baik maka manusia harus bekerja keras, tidak bisa hanya dengan kerja yang biasa-biasa saja. "Yang kerja keras saja belum tentu berhasil apalagi yang kerja biasa-biasa saja," ujarnya.

Dalam kesempatan itu, Hidayat mengharap agar semua mengedepankan akhlak dalam kehidupan. Dengan akhlak maka semua masalah menjadi jelas. Dengan menggunakan akhlak maka kita tidak akan memberi ruang kepada LGBT sebab Allah menciptakan makhluk dengan fitrah yang jelas. Diungkapkan ini bukan masalah diskriminasi sebab diskriminasi itu ada batasnya.

“Kita tak mungkin memberi ruang kepada pencopet dengan alasan hak asasi manusia. Bila pencopet, misalnya, dilegalkan maka tunggulah kehancuran Indonesia," ujarnya.

Lebih lanjut dikatakan bila kita membingkai politik dengan akhlak maka kita mempunyai rujukan yang konkret.

Indonesia menurut Hidayat adalah realitas keterkaitan antara manusia yang menjadi warga negara dengan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam perdebatan bentuk negara dalam masa sebelum merdeka ada dua kelompok, kelompok kebangsaan dan Islam.

Ditegaskan oleh Hidayat bahwa perdebatan antar dua kelompok itu di BPUPKI masing-masing ingin menonjolkan kepentingannya. Meski demikian perdebatan yang terjadi sangat seru namun para pendiri bangsa tidak ingin atau tak memikirkan ideologi bangsa dan negara dalam bentuk komunis atau ateis. Dalam kesepakatan ideologi Pancasila dalam sidang BPUPKI maupun PPKI selalu disepakati adanya sila pertama yang mengandung nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. (rin)