Pemerintah Diminta Tunda Eksekusi Mati Tahap Tiga

Hukuman mati/Ilustrasi.
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Pemerintah didesak menunda pelaksanaan eksekusi mati tahap tiga terhadap narapidana kasus narkoba. Sebab, beberapa kasus dicurigai bermasalah dalam keadilan kepada narapidana.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengaku prihatin atas sikap pemerintah yang bersikeras melakukan eksekusi mati. Walau pemerintah Indonesia berulang kali menyatakan tujuan penerapan hukuman mati sesuai dengan hukum dan standar internasional.

"Berdasarkan beberapa hasil monitoring dan laporan banyak organisasi, ada beberapa kasus yang diduga unfair trial terhadap terpidana yang masuk daftar eksekusi mati saat ini," kata Direktur Eksekutif ICJR, Supriyadi Widodo Eddyono, dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu 23 Juli 2016.

Untuk itu, dia melanjutkan, ICJR bersama organisasi masyarakat lain mendorong agar pemerintah melakukan kajian ulang terhadap kasus-kasus yang dicurigai melanggar fair trial yang dialami beberapa terpidana mati. "Kami mendorong agar pemerintah membentuk tim independen, berdasarkan keppres, untuk mendalami kasus-kasus persidangan yang tak adil di Indonesia," ujar dia.

Selain itu, pemerintah diharapkan membentuk badan independen dan imparsial untuk meninjau semua perkara hukum yang mana terjadi penjatuhan vonis mati dengan maksud meringankan hukuman mati. Terutama dalam perkara yang mana hukuman mati dijatuhkan pada yang tidak memenuhi standar-standar peradilan yang adil atau dalam perkara yang secara prosedural cacat. "Sebelum melakukan hal ini Indonesia sebaiknya melakukan moratorium," katanya.

Berikut kasus yang diduga tidak berkeadilan temuan ICJR terhadap terpidana mati;

Terpidana YT berasal dari Riau, Indonesia. Dia bekerja sebagai buruh perkebunan. Dia meninggalkan sekolah dasar dan tidak dapat membaca atau menulis.

Menurut polisi, dia lahir pada 1993, namun YT mengaku lahir tahun 1996, yang berarti dia bisa jadi berusia di bawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan dan ketika dia dijatuhi hukuman mati.

Dia dipidana mati atas pembunuhan tiga orang pada April 2013 di Kabupaten Nias Utara, Sumatera Utara. Dia tidak mengajukan banding karena tidak diberitahu oleh pengacaranya bahwa memiliki hak untuk mengajukan banding.

Dalam putusan PN Gunung Sitoli Putusan No. 08/Pid.B/2013/PN-GS Hakim PN Gunung Sitoli menyatakan bahwa pengakuan terpidana mati dan permohonan penasihat hukum terpidana mati, agar terpidana mati dihukum mati menjadi alasan keduanya dihukum mati.

Padahal, sebelumnya jaksa menuntut keduanya dengan hukuman seumur hidup. Pembela YT yang baru saat ini mendorong PK berdasarkan novum bukti forensik gigi YT yang pada saat disidik ternyata masih anak-anak.

MJV, warga negara Filipina berusia 30 tahun bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Dia dihukum dan dijatuhi hukuman mati karena perdagangan narkoba, mengimpor heroin ke Indonesia, pada 2010.

Eksekusi matinya dihentikan di menit terakhir pada 29 April 2015, sehingga dia bisa memberikan kesaksian di persidangan atas orang yang dituduh memperdayanya untuk menjadi kurir narkoba. MJV diduga kuat sebagai korban perdagangan manusia.

ZA, warga negara Pakistan berusia 51 tahun adalah seorang pengusaha garmen. Dia ditangkap di rumahnya di Jawa Barat pada 21 November 2004 dan didakwa dengan kepemilikan 300 gram heroin. Dia dijatuhi hukuman mati pada 2005. Putusannya dikukuhkan oleh Mahkamah Agung pada 2006.

ZA saat disidik hanya paham sedikit bahasa Inggris, juga menerima bantuan penerjemahan terbatas dan hanya mendapat terjemahan ke dalam bahasa Inggris selama proses persidangan. Dalam Putusan MA No. 2253 K/PID/2005 dengan terpidana mati ZA, terpidana mati dan beberapa saksi bahkan memberikan pengakuan telah diintimidasi dan disiksa oleh penyidik, hasilnya mereka bersama-sama mencabut keterangan dalam berita acara pemeriksaan (BAP).

Dalam bukti rekaman persidangan yang dilampirkan kuasa hukum ZA pada memori kasasi, terungkap bahwa terpidana mati, saksi GP dan saksi GS mencabut BAP dikarenakan adanya tekanan fisik dan mental pada tahap penyidikan.

Laporan: Yunisa Herawati