Arif Budimanta: Kebijakan Pajak Era Jokowi untuk Indonesia Maju

Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta.
Sumber :

VIVA – Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta menegaskan bahwa kebijakan perpajakan menyangkut tiga hal. Satu, sebagai instrumen penerimaan negara. Kedua, sebagai insentif untuk menghela produktivitas dan alat pemerataan pembangunan. Ketiga, pajak juga dapat menjadi instrumen untuk mempersempit ketimpangan.

“Jadi, wacana mengenai pemangkasan tarif harus dilihat dalam tiga perspektif tersebut. Dan yang harus diingat adalah pajak merupakan wujud gotong royong dalam praktik membangun bangsa. Yang berlebih membantu dan mengangkat yang lemah dan terlemahkan,” kata Arif di Jakarta, Selasa (15/1).

Jika dibandingkan dengan tarif pajak perorangan (PPh/personal income tax) di negara-negara maju, seperti di Jerman dan China, keduanya menerapkan tarif pajak PPh sampai dengan 45 persen. Selain itu, negara besar lainnya seperti Korea Selatan menerapkan tarif pajak  PPh sampai dengan 42 persen.

Bahkan, di Swedia tarif pajak PPh hingga 60 persen. PPh tersebut terdiri dari pajak yang dipungut dari daerah (municipal) dan nasional. Dengan pajak tersebut, Swedia mendistribusikan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi rakyatnya.  Artinya, tarif pajak di Indonesia yang sebesar 30 persen terbilang sudah baik di tengah basis pajak yang belum maksimal.

“Dengan demikian tidak menutup kemungkinan ketika basis pajak semakin meluas, maka bisa dilakukan relaksasi terhadap tarif pajak,” ucapnya.

Arif menjelaskan untuk bisa meningkatkan basis pajak diperlukan lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya sehingga industrialisasi menjadi tugas penting ke depan. Industrialisasi diharapkan dapat menciptakan pekerjaan yang berkualitas dengan upah yang layak.

Pemerintahan Jokowi pun terus melakukan reformasi perpajakan melalui tax amnesty agar basis pajak semakin luas. Selain itu, juga memberikan insentif pajak berupa tax holiday  dan tax allowance ke berbagai jenis usaha produktif yang banyak menciptakan lapangan pekerjaan.

“Cita cita kita semua tentunya orang yang bayar pajak semakin banyak sehingga suatu hari nanti tarif pajak bisa diturunkan. Sehingga lapangan pekerjaan dibutuhkan salah satunya melalui industrialisasi,” ucapnya.

Demi meringankan beban pajak masyarakat, pemerintahan Jokowi telah dua kali melakukan pemangkasan terhadap besaran pendapatan yang terkena pajak penghasilan selama kepemimpinannya dalam empat tahun terakhir. Saat ini, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebesar Rp4,5 juta per bulan atau Rp54 juta setahun. Kebijakan ini mencerminkan keberpihakan terhadap rakyat kecil.

Bahkan besaran PTKP tersebut masih lebih tinggi dari Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta yang sebesar Rp3,9 juta. Padahal, pada 2017 sektor yang menyerap tenaga kerja paling banyak adalah pertanian.

“Bisa dibayangkan apabila besaran PTKP tidak ditingkatkan akan memberatkan rakyat kecil. Data itu juga menunjukan potensi basis pajak kita masih sangat terbuka lebar,” ucapnya

Seperti yang diketahui, pemerintah telah memangkas pajak dengan menaikkan besaran PTKP hingga dua kali sejak 2014. Pada 2015, melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 122/PMK.010/2015, besaran PTKP meningkat menjadi Rp3 juta. Setahun kemudian besaran PTKP menjadi Rp4,5 juta berdasarkan PMK No. 101/PMK.010/2016.

Besaran PTKP tersebut, lanjut Arif, tidak jauh berbeda dengan PTKP yang diterapkan oleh Thailand. Berdasarkan Revenue Department of Thailand per 2017, Negeri Gajah Putih tersebut memberlakukan bebas pajak terhadap penghasilan 150.000 bath atau sekitar Rp5 juta. Sementara itu, mengacu pada Inland Revenue Board of Malaysia per 2017, pemerintah Malaysia menetapkan besaran PTKP yakni RM5.000 atau sekitar Rp17,5 juta/bulan.

Arif menegaskan, hingga saat ini kontribusi pajak terhadap penerimaan negara masih sangat besar. Mengacu pada data Kementerian Keuangan, pada 2017, pajak menyumbang pendapatan negara sebesar 80,6 persen.

“Sementara itu, sepanjang tahun lalu realisasi kontribusi pajak terhadap pendapatan negara dalam data realisasi sementara sebesar 85,4 persen. Ini angka yang besar sekali sehingga tidak mungkin pajak dipangkas secara besar-besaran,” tutup Arif.

.