Cara OJK Genjot Pembiayaan Securities Crowdfunding

Gedung Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sumber :
  • vivanews/Andry Daud

VIVA – Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Hoesen menjelaskan, pada awalnya kegiatan fintech crowdfunding diatur dalam POJK Nomor 37 Tahun 2018, tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi atau sering disebut Equity Crowdfunding.

Namun setelah dievaluasi ulang, Hoesen mengakui bahwa kegiatan equity crowdfunding itu ternyata masih memiliki banyak keterbatasan.

"Diantaranya yakni aturan di mana para pelaku usaha harus berbadan hukum perseroan terbatas (PT), dan jenis efek yang dapat ditawarkan hanya berupa saham," kata Hoesen dalam telekonferensi, Selasa 8 Juni 2021.

Sebagai gambaran, sampai dengan akhir Desember 2020 lalu jumlah penerbit atau pelaku UMKM yang memanfaatkan equity crowdfunding dari empat penyelenggara, baru mencapai 129 penerbit. 

"Dengan jumlah dana yang dihimpun mencapai lebih dari Rp191 miliar," ujarnya.

Jika dibandingkan dengan total UMKM yang ada di Indonesia, yang menurut data Kemenkop UKM tahun 2018 telah mencapai sebanyak 64 juta pelaku usaha, maka Hoesen mengakui bahwa jumlah tersebut masih terbilang sangat sedikit.

Karenanya, dengan berkaca dari evaluasi yang telah dilakukan terkait dukungan terhadap sektor UMKM, OJK pun akhirnya memutuskan untuk mencabut POJK Nomor 37 Tahun 2018, dan menggantinya dengan POJK Nomor 57 Tahun 2020.

Perubahan ketentuan ini diakui Hoesen bertujuan untuk memperluas jenis pelaku usaha yang dapat terlibat, dari yang sebelumnya hanya membolehkan PT saja namun sekarang juga badan usaha lainnya seperti CV, firma, dan koperasi. 

"Sehingga mereka juga dapat memanfaatkan pendanaan melalui layanan urun dana ini," kata Hoesen.

Selain itu, lanjut Hoesen, POJK tersebut juga memperluas jenis efek yang dapat ditawarkan, dari sebelumnya Hanya berupa saham namun sekarang telah diperluas menjadi obligasi atau sukuk.

Di samping memberikan kemudahan pada sisi penerbit, yaitu pelaku UMKM, kebijakan ini diharapkan dapat memberikan kesempatan bagi investor ritel, khususnya yang berdomisili di daerah UMKM yang menerbitkannya berdomisili. 

"Untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi di daerahnya masing-masing," ujar Hoesen.

Dia mengakui, pasca diterbitkannya POJK Nomor 57 Tahun 2020 ini, hingga 31 Mei 2021 kemarin total penyelenggara sudah bertambah menjadi lima, dan jumlah penerbit pelaku UMKM yang memanfaatkan equity crowdfunding ini juga mengalami pertumbuhan sebesar 17 persen lebih secara ytd menjadi 151 penerbit. 

Hal itu ditambah dengan jumlah dana yang berhasil dihimpun juga mengalami peningkatan sebesar 43 persen, menjadi sebesar Rp273 miliar lebih.

"Dari sisi permodalan juga mengalami pertumbuhan sebesar 49 persen, yang dari sebelumnya per Desember 2020 hanya berjumlah 22.341 pemodal menjadi sebanyak 33.300 investor atau pemodal," ujarnya.