Menteri Bahlil: Tidak Ada Investasi Smelter Nikel yang Rugi

Menteri Investasi Bahlil Lahadalia.
Sumber :
  • Repro video.

VIVA – Menteri Investasi atau Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menantang perbankan untuk aktif membiayai para pengusaha yang ini membangun smelter produk pertambangan khususnya nikel di dalam negeri.

Sebab, dia mengatakan, selama ini perbankan dalam negeri cenderung takut-takut ingin membiayai sektor bisnis tersebut. Padahal bangun smelter hanya membutuhkan biaya Rp3-4 triliun.

"Orang bangun nikel smelter itu kalau dua tungku bisa sampai Rp3-4 triliun. IRR-nya, break even point-nya itu tidak lebih 3 tahun," kata dia di acara CIMB Niaga Forum Indonesia Bangkit, Kamis, 29 September 2021.

Bahlil menegaskan, pemerintah sendiri telah mengupayakan berbagai cara supaya para pengusaha tersebut mudah berinvestasi membangun smelter, termasuk dengan memberi berbagai insentif.

"Kita tahu tax holiday kita kasih, insentif master list kita kasih, tapi perbankan nasional kita enggak ada yang mau membiayai. Andai pun ada minta equity-nya 40-50 persen," tegasnya.

Oleh sebab itu, Bahlil menilai, tidak adil bilamana ada investor dari luar negeri yang berani untuk berinvestasi di Indonesia membangun smelter, seperti yang berasal dari China.

Baca juga: Erick Thohir Ungkap Pengaruh Besar Banyak BUMN Go Public di BEI

Lagi pula, dia melanjutkan, pada dasarnya tidak perlu takut investasi untuk pengolahan nikel, sebab menurutnya tidak ada satu pun investor smelter nikel yang merugi sampai dengan saat ini.

"Katakan lah dari China atau dari negara mana kita ribut, padahal enggak ada yang melakukan investasi smelter nikel yang rugi, tunjukkan kepada saya, enggak ada," ungkap dia.

Bahlil menjelaskan, ini disebabkan Harga Patokan Mineral (HPM) logam nikel dengan Ni kadar 1,8 persen memiliki harga jauh lebih tinggi di pasar dunia sekitar US$70-80 per metrik ton.

"Di pasar dunia itu US$70-80 di Indonesia hanya US$35 per metrik ton. Maka kita sekarang lagi mendorong untuk melarang ekspor ore nikel dengan menjadikan Indonesia sebagai pusat industri baterai dunia," ucap Bahlil.

Di sisi lain, dia melanjutkan, 45 persen komponen mobil listrik itu ada pada baterainya yang bahan bakunya sebagian besar ada di Indonesia, yaitu nikel, manganese dan cobalt. Hanya lithium yang tidak ada.

"Lithium saja kita yang enggak punya itu ada di Australia atau kita impor. Nah 25 persen total cadangan nikel dunia itu ada di Indonesia dengan demikian maka ini momentum untuk Indonesia bangkit," papar Bahlil.