AS Tambah Pagu Utang hingga US$31,4 Triliun, RI Bakal Terdampak?

Presiden AS Joe Biden.
Sumber :
  • AP Photo/Patrick Semansky.

VIVA Bisnis  – Pemerintah Amerika Serikat (AS) dan pihak parlemen menyepakati kenaikan plafon utang pemerintah federal menjadi US$ 31,4 triliun atau setara Rp 467,86 kuadriliun (asumsi kurs Rp 14.900 per US$), hingga 1 Januari 2025. Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya gagal bayar (default).

Nantinya, kesepakatan antara pihak eksekutif dan legislatif AS itu akan dibawa ke kongres, guna menghadapi mekanisme pemungutan suara. Presiden AS, Joe Biden pun menyebut, hal ini merupakan kabar baik bagi rakyat Amerika Serikat.

Lalu, apabila nantinya kongres AS menyetujui usulan kenaikan pagi utang tersebut, lalu apa dampaknya bagi perekonomian Indonesia?

Analis Pasar Modal, Ibrahim meyakini, sebenarnya tidak akan ada dampak apapun yang signifikan dari kenaikan pagu utang AS tersebut, bagi perekonomian Indonesia. Sebab, alih-alih berefek secara global, Dia menilai bahwa masalah kenaikan pagu utang ini merupakan masalah politik di pemerintahan AS dan oposisinya.

Ilustrasi ekonomi Amerika Serikat

Photo :
  • BusinessInsider

"Dampak kenaikan pagu utang AS terhadap Indonesia, kemungkinan besar sangat kecil sekali dampaknya. Karena ini kan permasalahan di internal AS saja antara kubu Partai Demokrat dan Republik," kata Ibrahim saat dihubungi VIVA, Senin, 29 Mei 2023.

Ibrahim yang juga Direktur PT Laba Forexindo Berjangka itu menjelaskan, dibandingkan terhadap AS, ekonomi RI saat ini justru cenderung lebih terpengaruh oleh dampak dari ekspor-impor dengan sejumlah negara Asia. Seperti misalnya China, Jepang, dan India.

"Kalaupun seandainya (kenaikan pagu utang AS) ada dampaknya bagi ekonomi Indonesia, kemungkinannya yakni di saham-saham sektor perbankan. Di mana, pada saat terjadi krisis permasalahan utang di AS, pasti akan berdampak ke sektor perbankan di Indonesia," ujarnya.

Terlebih, Ibrahim meyakini bahwa dengan adanya pertemuan antara Joe Biden dengan pihak parlemen AS kemarin, terkuak bahwa sebenarnya pihak parlemen AS juga menyetujui rencana kenaikan pagu utang tersebut. Syaratnya, yakni bahwa biaya operasional untuk federal dikurangi.

"Nah, ini yang masih belum menemui kesepakatan. Karena saat ini AS tengah jor-joran dalam masalah pertahanan. Kemungkinan besar dengan adanya jeda waktu untuk pembayaran obligasi, itu mengindikasikan ada deal-deal antara pemerintah dan parlemen hingga ketakutan gagal bayar terhadap obligasi Amerika ini sedikit surut," kata Ibrahim.

Ibrahim mengaku sudah sering menegaskan bahwa Amerika Serikat hampir mustahil terjebak dalam default atau gagal bayar, bahkan mengalami kebangkrutan. Berkaca pada pengalaman AS di era Barack Obama, dimana sempat terjadi keterlambatan pencairan anggaran federal, menurutnya hal ini hanyalah dinamika politik biasa di perpolitikan AS itu sendiri.

"Amerika tidak mungkin gagal bayar dan Amerika tidak mungkin bangkrut. Karena pengalaman serupa di zaman Obama itu, operasional pemerintahan (gaji PNS AS) bahkan sampai telat 1 bulan sehingga dirapel di bulan berikutnya," kata Ibrahim.

"Jadi ini sebenarnya masalah politik di internal Amerika Serikat saja, karena Partai Demokrat dan Partai Republik memang selalu gontok-gontokan. Jadi tidak akan ada dampak yang signifikan terhadap ekonomi Indonesia, karena kita melihat bahwa kebangkrutan Amerika Serikat itu tidak mungkin," ujarnya.