Mengapa Para Pangeran Senior Saudi Ditahan Mohammad bin Salman

BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc
AFP
Mohammed Bin Nayef (tengah) - mantan putra mahkota - termasuk yang ditahan. Di sini ia bersama Mohammed Bin Salman (kiri) dan Raja Salman (kanan).

Penahanan tiga orang pangeran senior Arab Saudi oleh penguasa de fakto Putra Mahkota Mohammad bin Salman, telah memicu spekulasi soal alasan penahanan tersebut.

Putra Mahkota Mohammad bin Salman sendiri dikenal akrab dengan kontroversi dan memperlihatkan ambisi besar untuk mencapai puncak kekuasaan politik dengan membungkam pesaing dan lawan politiknya dari berbagai spektrum sejak ia berkuasa tahun 2015.

Kali ini yang harus tersingkir adalah anggota keluarga kerajaan Saud sendiri. Yang paling menonjol dari mereka adalah pamannya, Pangeran Ahmed bin Abdul Aziz, mantan menteri dalam negeri, dan sepupunya, Pangeran Mohammad bin Nayef (alias MBN), mantan putra mahkota dan menteri dalam negeri.

Mereka ditahan untuk diinterogasi dan diselidiki dengan alasan pengkhianatan, sekalipun tak ada tuduhan terhadap mereka.

Keduanya sudah tak memiliki kekuasaan lagi. MBN telah disingkirkan dari jabatannya pada tahun 2017 ketika Raja Salman melicinkan jalan bagi MBS - anaknya - untuk mengambil tahta.

Pangeran Ahmad kemudian memilih menghabiskan waktu dan uangnya di London sebelum kembali ke kerajaan Saudi akhir tahun lalu.

Pertanyaannya kemudian adalah mengapa MBS memutuskan untuk sekali lagi mengincar pesaingnya ini, khususunya mengingat mereka sudah dilemahkan dan tak mampu lagi menantang cengkraman kekuasaannya.

Yang tahu jawaban pasti hanya ia sendiri. Dan di negara yang tertutup seperti Arab Saudi, mustahil untuk bisa tahu kebenaran yang utuh dari sumber-sumber resmi negara.

Namun satu hal yang jelas, putra mahkota ini sadar bahwa tindakan ini tidak akan membawa akibat berarti baginya - baik secara domestik maupun internasional.

Desas-desus dan intrik

Sesudah berhasil keluar dari gelombang cercaan internasional menyusul pembunuhan terhadap wartawan Jamal Khashoggi di Konsulat Saudi di Istanbul tahun 2018, MBS tidak punya hal yang ia takutkan.

Gedung Putih di bawah Presiden Trump mendukung penuh MBS. Inggris dan Prancis tanggung-tanggung mengkritiknya dan masih berbisnis dengan Riyadh. Sementara Rusia dan China tak tampak peduli.

Reuters
Donald Trump terus jadi sekutu dekat MBS sekalipun sang putra mahkota dicurigai berada di balik pembunuhan terhadap wartawan Jamal Khashoggi.

Dengan begini MBS bisa melakukan - kurang lebih - apapun yang ia inginkan guna mengamankan kekuasaan dengan menyingkirkan sektor-sektor dalam kehidupan publik di Saudi yang menghalangi jalannya.

Baik itu ulama, keluarga yang jadi pesaing, pelaku bisnis, kelompok penekan, MBS bisa menghancurkan mereka satu demi satu dengan menggunakan kekuatan negara.

Ini adalah jelas-jelas politik kediktatoran, tapi dilakukan dengan gaya Abad ke-21. Misalnya, tahun 2017 para pengeran pesaingnya ditahan di lingkungan mewah di hotel Ritz Carlton di ibu kota Riyadh.

MBS juga dengan hati-hati tampil rendah hati saat ia melemparkan sepupunya MBN keluar jendela tahun 2017 sembari berlutut dan mencium tangan dengan takzim.

Naiknya MBS sembari menyingkirkan pesaingnya MBN tidak terjadi tanpa ironi. Hingga awal 2017, kebijakan negara-negara Barat umumnya mendukung MBN yang dipercaya dan disukai oleh berbagai lembaga keamanan di seluruh dunia. MBN dilihat sebagai raja masa depan yang kompeten.

Namun, sekalipun MBN tampak kompeten dalam mengelola keamanan nasional Arab Saudi, ia tak siap dan tak sebanding dengan tipu daya dan ambisi MBS.

Permainan kekuasaan di dalam Keluarga Kerajaan Saudi selalu membuat gosip beredar. Beredar desas-desus bahwa Raja Salman sudah menjelang ajal atau MBS sedang mencium adanya rencana kudeta di istana dan bergerak cepat untuk menghantamnya.

Tak ada kebenaran yang mendukung klaim-klaim ini, dan ini semua mengabaikan jawaban yang lebih jelas: ini merupakan pesan baik dari Raja Salman maupun dari MBS kepada seluruh anggota keluarga agar merapatkan barisan.

Ini adalah sebuah tindakan pendisiplinan untuk menjamin kesetiaan dan memastikan siapa sesungguhnya yang jadi bos.

Dan jangan salah, dengan tegas MBS menyatakan ia adalah bos di Arab Saudi.

Michael Stephens adalah Associate Fellow di Royal United Services Institute think-tank yang memfokuskan diri untuk urusan Timur Tengah. Ia dapat diikuti di Twitter.