China Ditekan 40 Negara Soal Minoritas Muslim Uyghur di Xinjiang

China menuduh desakan untuk menyelidiki pelanggaran HAM di Xinjiang didorong oleh motivasi politik. (Reuters: Thomas Peter)
Sumber :
  • abc

Lebih dari 40 negara mendesak China untuk mengizinkan ketua Komisi HAM PBB berkunjung ke Xinjiang terkait dugaan pelanggaran HAM terhadap jutaan orang Uyghur.

Desakan ini disampaikan melalui pernyataan bersama yang dibacakan oleh Duta Besar Kanada, Leslie Norton pada, Selasa kemarin (22/06).Diantara mereka yang mendesak adalah Australia, Inggris, Prancis, Jerman, Jepang, dan Amerika Serikat.

Tapi China membantah semua tuduhan adanya pelecehan dan pelanggaran hak asasi  terhadap orang Uyghur, menyebutkan kamp-kamp penampungan sebagai fasilitas pelatihan kejuruan untuk memberantas ekstremisme agama.

"Laporan yang dapat dipercaya menunjukkan lebih dari sejuta orang telah ditahan secara semena-mena di Xinjiang," bunyi pernyataan tersebut.

"Ada pengawasan luas yang secara tidak adil menargetkan orang-orang Uyghur dan warga minoritas lainnya serta pembatasan kebebasan dasar dan budaya Uyghur."

"Kami mendesak China agar memberikan akses segera dan tidak terbatas ke Xinjiang bagi pengamat independen, termasuk Komisaris Tinggi (urusan HAM PBB)," demikian isi pernyataan merujuk pada Michelle Bachelet.

Michelle Bachelet adalah Komisaris Tinggi urusan HAM PBB, yang pada Senin kemarin menyatakan pihaknya berharap dapat memenuhi persyaratan kunjungan tahun ini ke China, termasuk Xinjiang, untuk memeriksa laporan pelanggaran serius terhadap umat Islam di sana.

Komisi Hak Asasi di PBB telah merundingkan syarat-syarat mendapatkan akses kunjungan ini sejak September 2018.

Tanggapan China

Jiang Yingfeng, diplomat senior dalam misi China untuk PBB di Jenewa, menolak pernyataan bersama itu dan menyebutnya sebagai campur tangan yang didorong oleh "motif politik".

"Kami menyambut baik kunjungan Komisaris Tinggi ke China, ke Xinjiang," katanya.

"Kunjungan ini untuk mempromosikan pertukaran dan kerja sama daripada penyelidikan atas dasar praduga bersalah," katanya.

Pernyataan bersama yang dimotori Kanada menyebut terjadinya penyiksaan, sterilisasi paksa, kekerasan seksual dan pemisahan paksa anak-anak dari orangtua mereka di Xinjiang.

Pernyataan juga mengecam UU Keamanan Nasional yang diberlakukan di Hong Kong sejak tahun lalu.

Persidangan pertama atas tuduhan pelanggaran UU itu akan berlangsung pekan ini.

"Kami sangat prihatin dengan memburuknya kebebasan dasar di Hong Kong akibat UU Keamanan Nasional dan tentang situasi HAM di Tibet," bunyi pernyataan bersama tersebut.

Menanggapi hal ini, Jiang berkata, "Sejak UU Keamanan Nasional berlaku, Hong Kong telah mengalami perubahan dari kekacauan menjadi supremasi hukum."

Beijing kecam pelanggaran HAM di Kanada

Sebelum Kanada membacakan pernyataan bersama pada hari Selasa (22/06), China dan beberapa negara lain juga menyampaikan pernyataan mereka sendiri di Komisi HAM PBB.

China dan sekutunya menyerukan perlunya penyelidikan atas penemuan tulang-belulang anak-anak pribumi di Kanada di lokasi bekas sekolah asrama, memicu kemarahan dari PM Justin Trudeau.

Tulang-belulang 215 anak-anak ditemukan di Kamloops Indian Residential School di British Columbia yang telah ditutup pada 1978.

"Kami menyerukan penyelidikan menyeluruh dan tidak memihak atas semua kasus di mana kejahatan dilakukan terhadap masyarakat adat, terutama anak-anak, untuk menyeret mereka yang bertanggung jawab ke pengadilan, dan menawarkan upaya pemulihan penuh kepada para korban," ujar Jiang Duan, pejabat senior China di PBB.

PM Trudeau mengatakan komisi kebenaran dan rekonsiliasi Kanada telah bekerja dari tahun 2008 hingga 2015 untuk menangani pelanggaran HAM terhadap penduduk asli.

"Di mana keberadaan komisi kebenaran dan rekonsiliasi China? Di mana kebenaran mereka? Di mana keterbukaan mereka, seperti yang ditunjukkan Kanada, atas kesalahan mengerikan di masa lalu?" katanya.

Pernyataan China yang disampaikan di Komisi HAM PBB ini dilakukan mewakili Rusia, Belarusia, Iran, Korea Utara, Suriah dan Venezuela.

Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News dalam bahasa Inggris