Takut Kekerasan, Waria Depok Tolak Perda LGBT

Waria di Depok kena razia
Sumber :
  • Zahrul Darmawan/VIVA.co.id

VIVA – Komunitas waria Kota Depok menolak keras wacana peraturan daerah atau perda terkait larangan perilaku lesbi, gay, biseksual, transgender (LGBT) di  kota tersebut. Mereka menilai aturan itu melanggar hak asasi manusia (HAM).

“Itu kan wacananya sudah dari tahun 2018. Kami jelas menolak lah. Kalau merugikan kaum kami, ya kami menolak. Karena kan kami enggak banyak di Depok ini,” kata Ketua Persaudaraan Waria Depok atau Perwade, yang menyebut dirinya bernama Sofie pada Rabu, 24 Juli 2019.

Sofie menjelaskan, LGBT tidak hanya waria. Yang paling banyak itu menurutnya adalah gay atau pria pecinta sesama jenis. Karena itu, mereka ingin mendapat perlindungan karena jumlahnya yang sangat kecil.

“Kalau kami komunitasnya kecil, waria paling hanya 50 orang,” katanya.

Selain jumlahnya yang dinilai masih sangat kecil, alasan utama Sofie dan sejumlah rekannya menolak wacana perda itu adalah faktor keamanan. Mereka khawatir bakal ada tindakan kekerasan terhadap dirinya dan anggota Perwade.

“Itu kan kita bisa baca ancamannya gimana, tidak manusiawi pakai kekerasan, sebenarnya itu kan hak orang. Ancaman sosialnya melanggar HAM sebenarnya, karena berpenampilan wanita di muka umum itu terserah manusianya itu sendiri kan,” katanya.

“Jadi ancamannya bukan ancaman penjara, ancaman sosialnya, ya intimidasi yang juga kami khawatirkan,” ujarnya

Sofie meyakini, perda itu akan memicu terjadinya tindak kekerasan atau main hakim sendiri. Bisa saja keberada mereka dengan tegas akan ditolak oleh perangkat RT maupun RW di tempat tinggal mereka saat ini. Hal ini tentu akan menciptakan persoalan baru bagi anggota Perwade.

“Ancamannyakan bisa timbul persekusi ataupun RT RW yang di sekitar lokasinya ada waria nanti jangan diterima, usir. Karena wacananya begitu, cuma kan itu merugikan image kami,” katanya.

Lebih lanjut Sofie berharap, pemerintah seharusnya bisa memberikan perhatian secara khusus kepada para waria di Kota Depok. Banyak dari mereka adalah pemilik usaha dan pekerja kreatif di bidang tata rias. Memang ada yang tetap mengamen, tapi jumlahnya hanya hitungan jari.

“Di Depok ini waria sebenarnya kebanyakan pekerja, memiliki salon, rias pengantin. Kalaupun ada yang ngamen cuma hitungan jari. Harusnya pemerintah membuat suatu pelatihan untuk kami jadi lebih terarah, atau kami dirangkul sebagai manusia. Bagaimana caranya mencari uang yang baik, gitu aja. Misalnya pelatihan salon, make up. Dari Dinsos kan ada dana khusus buat pelatihan, tapi kita enggak diberi, yang diajak kan cuma anak jalanan,” katanya.

Diketahui, rencana pembuatan perda itu telah mempertimbangkan beberapa landasan teoritis. Secara filosofis, perilaku LGBT dinilai telah bertentangan dengan Pancasila sila pertama dan kedua, di mana Pancasila sebagai landasan ideologi berbangsa dan bernegara.

Kedua, secara sosiologis, telah ditemukan fakta yang terjadi di Kota Depok terkait fenomena LGBT. Meliputi jumlah penderita HIV/AIDS yang ditemukan oleh Dinas Kesehatan Kota Depok pada September 2018 lalu sebanyak 168 orang. Dengan dominan pengidap adalah laki-laki.

Serta yang ketiga rencana pembuatan perda ini berdasarkan landasan yuridis. Di antaranya, melanggar Fatwa MUI No. 57 Tahun 2014 tentang LGBT, melanggar nilai dan norma agama dalam Alquran, serta dianggap sebagai perilaku menyimpang. Terkait hal itu, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Depok menargetkan perda tersebut bakal disahkan dalam waktu dekat.

“Kajian dari Kemenkumham sudah selesai, bahwa kajian itu karena ini kearifan lokal sah-sah saja bila suatu wilayah itu dimasukkan peraturan-peraturan daerah atas kearifan lokalnya. Saat ini masih dalam proses dan akan berjalan melakukan pembahasan terkait perda LGBT,” kata Ketua Badan Kehormatan Dewan, DPRD Depok, Hamzah. (ase)