Monas dan Polemik Proyek Revitalisasi

- ROMEO GACAD/AFP
Sumber :
  • bbc

Polemik revitalisasi Monumen Nasional (Monas), yang dihentikan baru-baru ini, dinilai terjadi lantaran adanya perbedaan cara pemerintah memahami fungsi Monas dibandingkan dengan visi Sukarno saat membangun monumen ikon Indonesia tersebut.

Menurut sejarawan Jakarta JJ Rizal, tugu bersejarah setinggi 132 meter tersebut sebenarnya dirancang oleh Sukarno untuk menjadi "ruang semedi" bagi masyarakat untuk memahami apa itu Indonesia.

Seiring dengan perubahan zaman, menurut Rizal, signifikansi Monas telah bergeser menjadi sebuah ruang publik yang penampilan fisiknya kerap direvisi oleh para gubernur Jakarta.

"Sukarno sebenarnya memindahkan konsep keraton Jawa, dalam hal ini tamannya. Taman di dalam keraton Jawa itu fungsinya sebagai ruang semedi, ruang berkontemplasi, ruang merekap diri, tapi sikapnya sangat feodal karena di dalam keraton," ujar JJ Rizal.

"Bung Karno mau memindahkan konsep feodal itu menjadi ruang yang sangat terbuka untuk semua orang, itu dari perspektif arsitektural ruang yang bersifat kultural," katanya.

Menurut JJ Rizal, dalam visinya, Sukarno membayangkan bahwa pengunjung Monas dapat menyaksikan garden of heroes , sebuah taman untuk mengenang pahlawan-pahlawan nasional.

Ketika masuk ke monumen, menurutnya, pengunjung dapat melihat diorama yang terdiri dari prestasi setiap generasi.

Ada juga sebuah ruang bernama ruang kemerdekaan, di mana pengunjung dapat mendengar lagu Indonesia Raya sambil melihat Bendera Pusaka, lalu naik ke puncak Monas untuk melihat luasnya Indonesia, katanya.

"Buat Bung Karno Monas itu mengajarkan pada kita, dengan pergi ke Monas kita belajar mengenal apa itu Indonesia, tapi juga ide Indonesia, jadi sangat signifikan, keributan hari ini sangat tidak signifikan dan menandakan krisis nilai, pengetahuan tentang apa itu Monas," kata JJ Rizal.

Revitalisasi Monas dari masa ke masa, menurut Rizal, menunjukkan bahwa visi Sukarno tersebut kurang dipahami oleh pemerintahan setelahnya, baik di tingkat pusat maupun provinsi.

"Dari zaman Bang Ali Sadikin, dan zaman-zaman setelahnya, sampai Anies Baswedan, itu contoh bagaimana (pemerintah provinsi) salah paham dan salah urus, dan debat hari ini adalah contoh bagaimana mereka gagal paham, di mana kita melihat pertunjukan yang kosong," ujarnya.

Beda gubernur, beda fungsi Monas

Ali Sadikin, yang menjadi gubernur DKI Jakarta pada 1966 sampai 1977 pernah memanfaatkan kawasan lapangan Monas untuk menjadi lokasi Jakarta Fair.

Namun, menurut JJ Rizal, Bang Ali "menyadari" bahwa Monas bukanlah lokasi yang tepat untuk Jakarta Fair dan berencana memindahkannya ke wilayah seluas 41 hektar di kawasan Ancol.

"Bang Ali di tahun 1969 membuat acara Jakarta Fair, itu konsepnya menasionalisasi konsep Pasar Malam Gambir yang digelar untuk merayakan ulang tahunnya Ratu Belanda. Tapi Bang Ali menyadari dia melakukan kesalahan, itu tidak permanen," katanya.

"Lalu Bang Ali menemukan 41 hektar di kawasan Ancol. Tapi setelah Bang Ali tidak memimpin, Monas tetap menjadi tempat PRJ. Ini awal dari perubahan pemahaman Monas," ujarnya.

Di masa pemerintahan Sutiyoso, yang menjadi gubernur Jakarta dari tahun 1997 sampai 2007, kawasan Monas pun dikelilingi pagar setinggi empat meter dengan anggaran sebesar Rp9 miliar.

Ia juga membangun taman, menanam berbagai pohon, dan menempatkan kijang-kijang untuk menciptakan sebuah kawasan hijau di tengah Jakarta.

Meski demikian, pemagaran Monas dianggap mengembalikan feodalisme lantaran kawasan Monas menjadi kawasan terbatas.

Pembangunan pagar adalah "contoh bagaimana Sutiyoso tidak mengerti Monas. Bung Karno membawa Monas dari konsep feodal ke konsep egaliter, di mana Monas bisa diakses semua orang. (Lalu) tiba-tiba Sutiyoso bangun pagar dan membuat Monas jadi feodal lagi," jelas JJ Rizal.

Di awal pemerintahan Joko Widodo sebagai gubernur Jakarta tahun 2012 sampai 2014, Pekan Raya Jakarta dan Jakarta Fair dipindahkan lagi ke Monas, bukan lagi di Kemayoran, yang kini dipakai untuk tempat pertunjukan bermodal besar.

Monas juga dipakai sebagai ajang pelepasan presiden, tempat berkumpul massa untuk merayakan perayaan agama, dan lain sebagainya.

Di masa gubernur Basuki Tjahaja Purnama, ia membangun kios untuk pedagang di sekitar kawasan Monas, sementara gubernur Djarot Saiful Hidayat pada tahun 2017 kembali mensterilkan Monas dan mengaktifkan kembali Air Mancur Menari, salah satu obyek favorit pengunjung yang rusak sejak 2007.

Revitalisasi Monas dari masa ke masa ini dinilai hanya menyentuh sisi estetikanya saja.

"Menurut saya ada upaya pembersihan Monas, tapi museumnya, yang adalah batin Monas, tidak disentuh sama sekali," kata JJ Rizal.

Revitalisasi Monas dihentikan

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memulai proyek revitalisasi Monas pada November 2019 dengan anggaran mencapai Rp150 miliar. Kisruh terjadi saat 205 pohon-pohon yang ada dalam area Monas ditebang, dengan rincian 150 pohon ukuran besar dan 55 pohon ukuran kecil.

Pemerintah provinsi DKI Jakarta mengatakan bahwa pohon-pohon tersebut tidak sekadar ditebang, melainkan dipindahkan.

Rencananya, di lokasi itu akan dijadikan Plaza Selatan dengan konsep amphiteater atau ruang terbuka. Selain itu, akan dibangun juga tribun dan kolam air seluas lapangan bola yang dapat memantulkan Monas di malam hari.

Proyek besar itu resmi dihentikan sementara pada 28 Januari setelah Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi mengecek lokasi revitalisasi tersebut.

Usai inspeksi, didapati bahwa pemerintah provinsi DKI Jakarta ternyata belum mendapat izin dari Komisi Pengarah Pembangunan Kawasan Medan Merdeka, sebuah tim yang dibentuk melalui Keppres 25/1995 yang anggotanya terdiri dari Menteri Sekretaris Negara, pemerintah provinsi DKI Jakarta, dan lima kementerian terkait lain.

Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan bahwa revitalisasi Monas harus dihentikan karena belum diberi izin oleh Komisi Pengarah.

"Kami minta kepada Pemprov DKI untuk meminta persetujuan dulu kepada Komisi Pengarah karena itu aturan yang masih berlaku dan tentu saja harus kita taati. Itu jelas belum ada prosedur yang harus dilalui ya kita minta untuk distop dulu," kata Pratikno kepada wartawan Senin (27/01).

Aktivis lingkungan menyayangkan proses revitalisasi yang tertutup karena lokasi pemindahan pohon-pohon tersebut tidak diketahui.

"Kalau dipindahkan ada cara-caranya, pohon yang besar bagaimana caranya? Kemarin kita cek bersama teman-teman, kami tidak melihat di mana lokasi pemindahan sementaranya," kata Tubagus Soleh Ahmadi, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta. "Ini dilakukan secara tertutup betul, tiba-tiba Pemprov melakukan itu. Kalau mau menambah pohon silahkan saja, tapi itu bukan berarti harus mengurangi pohon-pohon di Jakarta."

Menurut Tubagus, ini kali kedua Pemprov DKI menebang pohon dalam jumlah banyak: pada November tahun lalu, sejumlah pohon angsana di seberang Stasiun Cikini juga ditebang.

"Ini kan bukan kasus pertama, kasus kedua. Sebelumnya di Cikini begitu juga, mereka tiba-tiba menebang pohon. Situasi penebangan pohon ini terjadi ketika Jakarta sudah mengalami krisis ekologi yang genting, seharusnya perlakuan terhadap pohon itu tidak begitu. Ini menandakan bahwa Pemprov DKI Jakarta masih menomorsekiankan urusan lingkungan hidup di Jakarta," ujarnya.

Monas merupakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) terbesar di Jakarta dengan luas 80 hektar. Jakarta sendiri tercatat hanya memiliki RTH kurang dari 10 persen dari luas provinsi.

Penebangan pohon ini juga disesalkan oleh pengunjung.

"Tanamannya sudah tidak ada ya? Ditebangin kali ya? Dulu kan semua hutan, banyak tanaman. Saya lebih suka Monas yang dulu, karena lebih sejuk dan banyak tanaman," kata Uun Uniyati, pengunjung asal Cililitan, Jakarta Timur, yang terakhir kali berkunjung ke Monas tahun 1989.

Monas di masa depan

Dalam diskusi dengan Komisi Pengarah soal revitalisasi Monas, Yayat Supriatna, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, mengatakan bahwa dibutuhkan ketegasan soal pengelolaan Monas supaya kebijakan terkait bangunan ikon Indonesia tersebut tidak berubah setiap gubernur berganti.

Menurut Yayat, Monas tidak tercatat sebagai aset DKI Jakarta ataupun Kementerian Sekretaris Negara.

"Monas itu asetnya siapa? Sampai sekarang belum jelas. Sertifikatnya bukan atas nama Pemprov DKI, dan bukan atas nama Setneg, prosesnya masih di Kementerian ATR," kata Yayat.

"Kami mengusulkan harus ada ketegasan supaya setiap gubernur DKI jangan ganti-ganti kebijakan. Jadi kita sebetulnya berharap ada blue print , ada kelembagaan yang jelas," ujarnya.

Menurut sejarawan Jakarta JJ Rizal, signifikansi Monas di masa depan dipandang vital lantaran monumen bersejarah itu dapat menawarkan sumber keteladanan, dan pengunjung dapat memahami nilai-nilai ke-Indonesia-an sesuai dengan visi Sukarno ketika ia memulai pembangunan Monas pada 17 Agustus 1966.

"Fungsi Monas di masa depan justru menjadi sangat vital karena dia menjawab apa yang menjadi persoalan besar kita, apakah kita sanggup menjadi 100 tahun, apakah kita akan selamat ke masa depan? Monas itu menjadi alat kita berangkat ke masa depan karena ia menawarkan sumber keteladanan," jelasnya.

Bagi Reni Nur Syafitri, seorang pengunjung Monas asal Yogyakarta, Monas bukanlah sekadar tugu dengan puncak emas berkilau dalam komplek yang luas.

"Bagi saya, Monas adalah tempat untuk mengenang pahlawan zaman dulu, Monas ini dibangun buat mengingat mereka yang berjuang," ujar mahasiswa berusia 19 tahun tersebut.