Pakai Kata Pribumi, Anies: Saya Bicara di Era Penjajahan

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat pidato di Balai Kota pada 17 Oktober 2017.
Sumber :
  • VIVA/Anwar Sadat

VIVA.co.id – Pidato Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan usai serah terima jabatan di Balai Kota DKI Jakarta menjadi sorotan masyarakat. Pasalnya dalam pidato tersebut Anies masih menggunakan kata 'pribumi' yang dianggap cukup sensitif dalam situasi seperti saat ini.

Ketika menjalani hari pertamanya di Balai Kota, Anies dicecar oleh awak media terkait penggunaan kata tersebut. Menurut Anies, kata tersebut harus dilihat konteksnya, dan kata itu ia gunakan untuk menceritakan kejadian zaman penjajahan di Tanah Air.

"Itu istilah digunakan dalam konteks pada saat era penjajahan. Karena saya menulisnya juga pada saat era penjajahan dulu," kata Anies, Selasa, 17 Oktober 2017.

Anies menjelaskan mengapa mengaitkan penjajahan di Tanah Air dengan Jakarta. Menurutnya, saat itu, penjajah Belanda menduduki Jakarta dalam waktu yang cukup lama. Warga Jakarta juga merasakan betul dan dapat melihat dari dekat penjajah belanda.

"Jakarta ini kota yang paling merasakan (penjajahan). Kalau kota-kota lain itu enggak lihat Belanda dari dekat. Yang lihat Belanda dari jarak dekat siapa? Orang Jakarta. Coba kita di pelosok-pelosok Indonesia, tahu ada Belanda tapi lihat depan mata? Enggak. Jadi yang lihat (penjajah) depan mata itu kita, orang Jakarta," tuturnya.

Anies mengatakan, saat ini penggunaan kata tersebut disalahartikan oleh media massa. Ia berharap semestinya media dapat membuat perbaikan dan tidak salah dalam menafsirkan penggunaan kata tersebut.

"Makanya itu digunakan untuk menjelaskan era kolonial Belanda. Itu pelintiran sejumlah media tapi sekarang sudah dikoreksi ya. Saya harap media lain juga koreksi isinya. Anda baca teksnya itu bicara era kolonial Belanda," kata Anies.

Berikut petikan pidato Anies terkait “pribumi” yang menjadi polemik:

Jakarta tumbuh dan hidup dari interaksi antarmanusia. Dalam sejarah panjang Jakarta, banyak kemajuan diraih dan pemimpin pun datang silih berganti. Masing-masing meletakkan legasinya, membuat kebaikan dan perubahan demi kota dan warganya. Untuk itu kami sampaikan apresiasi dan rasa terima kasih kepada para gubernur dan wakil gubernur sebelumnya, yang turut membentuk dan mewarnai wujud kota hingga saat ini.

Jakarta juga memiliki makna pentingnya dalam kehidupan berbangsa. Di kota ini, tekad satu Tanah Air, satu bangsa dan satu bahasa persatuan ditegakkan oleh para pemuda. Di kota ini pula bendera pusaka dikibartinggikan, tekad menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat diproklamirkan ke seluruh dunia.

Jakarta adalah satu dari sedikit tempat di Indonesia yang merasakan hadirnya penjajah dalam kehidupan sehari-hari selama berabad-abad lamanya. Rakyat pribumi ditindas dan dikalahkan oleh kolonialisme. Kini telah merdeka, saatnya kita jadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai terjadi di Jakarta ini apa yang dituliskan dalam pepatah Madura, "Itik se atellor, ajam se ngeremme." Itik yang bertelur, ayam yang mengerami. Seseorang yang bekerja keras, hasilnya dinikmati orang lain.

Kini kami datang untuk melanjutkan segala dasar kebaikan yang telah diletakkan para pemimpin sebelumnya, sembari memperjuangkan keberpihakan yang tegas kepada mereka yang selama ini terlewat dalam merasakan keadilan sosial, membantu mengangkat mereka yang terhambat dalam perjuangan mengangkat diri sendiri, serta membela mereka yang terugikan dan tak mampu membela diri. Jakarta adalah ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka selayaknya ia menjadi cermin dan etalasi dari semangat NKRI, semangat Pancasila dan semangat tegaknya konstitusi. Di kota inilah Pancasila harus mengejawantah, setiap silanya harus mewujud menjadi kenyataan. Dimulai dari hadirnya suasana ketuhanan dalam setiap sendi kehidupan kota. Indonesia bukanlah negara yang berdasar satu agama, namun Indonesia juga bukan negara sekuler. Ketuhanan, selayaknya menjadi landasan kehidupan warga.

(ase)