Masa Tenang, Puti Napak Tilas di Posko PDI Pro Mega

Calon Wakil Gubernur Jawa Timur Puti Guntur Soekarno
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Rahmat Noto (Surabaya)

VIVA – Memasuki masa tenang pilkada, calon wakil gubernur Jawa Timur Puti Guntur Soekarno tidak beristirahat total. Pasangan calon gubernur Saifullah Yusuf (Gus Ipul) itu memilih napak tilas di bekas Posko PDI Pro-Megawati Jalan Pandegiling 223, Surabaya, Minggu, 24 Juni 2018.

Cucu Bung Karno tersebut disambut sesepuh nasionalis, Luwih Soepomo, bersama puluhan simpatisan. Pada 1996 sampai era Reformasi 1998, tempat itu dikenal dengan nama Posko Pandegiling.  

Masih tampak prasasti menandai pergerakan PDI Pro-Mega. Prasasti diresmikan Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, pada 2001.

Pada prasasti, Puti meletakkan karangan bunga. “Tempat dan prasasti ini menjadi saksi sekaligus bukti militansi dan kecintaan warga Surabaya kepada Bung Karno dan Ibu Megawati Soekarnoputri, yang terpatri dalam di sanubari,” katanya.

Mantan anggota DPR itu merasa bangga dengan perjuangan kaum nasionalis dalam mempertahankan komitmennya. “Semangat ini menunjukkan, betapa penting konsistensi dan komitmen dalam pengabdian dan bekerja," kata Puti.

Soepomo menceritakan, Posko Pandegiling menjadi awal dari perjuangan panjang PDI Pro Megawati, di bawah komando Sutjipto, mantan sekjen DPP PDI Perjuangan.

“Posko Pandegiling ini menjadi tetenger bahwa PDI Perjuangan didirikan dengan keringat, darah dan air mata. Bukan sekedar akta notaris. PDI Perjuangan didirikan dengan banyak pengorbanan. Pewarisan sejarah inilah yang kami lakukan tiada henti, pada para generasi penerus,” kata Soepomo. 

Dimulai 1996, posko itu menjadi tempat berkumpulnya massa, tempat koordinasi dan konsolidasi, sekaligus tempat Pak Tjip (panggilan Sutjipto) menjalankan bisnis konstruksi di zaman Orde Baru. 

Berdirinya Posko Pandegiling dipicu terjadinya Kongres PDI dari faksi Soerjadi, Buttu Hutapea, Fatimah Ahmad, dan Latief Pudjosakti, di Medan, April 1996. Tujuan kongres, mendongkel Megawati Soekarnoputri dari ketua umum DPP PDI Megawati Soekarnoputri. 

“Waktu itu belum berubah nama menjadi PDI Perjuangan. Perubahan itu baru dilakukan awal 1999, agar barisan PDI Pro Megawati, di seluruh Tanah Air bisa mengikuti Pemilu 1999,” kata Supomo. 

Megawati, putri Bung Karno itu, terpilih menjadi ketua umum  DPP PDI, tahun 1993, dalam Kongres Luar Biasa di Asrama Haji, Sukolilo, Kota Surabaya.

“Kongres Soerjadi cs di Medan, telah membakar kemarahan warga PDI yang setia pada Ibu Megawati. Masyarakat umum pun banyak yang ikut membela dan terlibat,” kata Soepomo.

Hampir tiap hari, menurut Soepomo, terjadi demonstrasi besar-besaran PDI Pro Mega di Kota Surabaya dan berbagai daerah di Jawa Timur serta di Tanah Air.

“Massa yang setia pada Ibu Megawati terus bertambah, makin besar dan bergelombang. Saat itu, kami disebut PDI Pro Mega atau Promeg. Nama ini menjadi pembeda dengan PDI Soerjadi,” ujarnya.

Di Kota Surabaya dan Jawa Timur, pusat pergerakan PDI Pro Mega terletak di Posko Pandegiling. “Yang memimpin Pak Tjip, ketua DPD PDI Jawa Timur. Hampir tiap hari terjadi mimbar bebas. Ada massa. Ada orasi. Ada dapur umum,” kata Soepomo, yang juga mantan ketua Gerakan Pemuda Marhaen (GPM) Kota Surabaya.

Dia mengenang masa-masa itu sebagai fase sulit nan panjang, yang menggembleng PDI Pro Mega. Karena mereka hidup di bawah pengawasan dan tekanan keras militer serta birokrasi.

“Banyak teman ditangkapi, dipukul dan disiksa. Jika di Jakarta pecah Tragedi 27 Juli 1996 (Kudatuli), yang menelan banyak korban, di Kota Surabaya terjadi, Minggu 28 Juli 1996. Banyak korban ditangkap dan dipukuli,” kata Soepomo. 

Di Posko Pandegiling pula, para eksponen dan warga PDI Pro Megawati melakukan cap jempol darah. Itu terjadi tahun 1996 dan 1999. Kemudian, berlangsung lagi tahun 2004, saat pemilihan presiden.