ICW Khawatir Independensi KPK Terganggu Timnas Pencegahan Korupsi

Gedung KPK di kawasan HR Rasuna Said, Jakarta.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Hafidz Mubarok A

VIVA – Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi atau Stranas PK telah diteken Presiden Joko Widodo pada 20 Juli 2018. Lembaga baru di bidang korupsi ini kemudian diberi nama Tim Nasional Pencegahan Korupsi.

Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo menyampaikan tanggapannya terkait lembaga baru ini. Kata dia, meski agak terlambat, tapi payung hukum dari lembaga ini cukup baik sebagai upaya pemberantasan korupsi.

"Dari semula tahun lalu baru kemarin perpres terbit. Ada beberpa modifikasi yang dilakukan dibandingkan perpres yang dikeluarkan pada era SBY (Susilo Bambang Yudhoyono)," katanya kepada VIVA, Jumat 27 Juli 2018.

Salah satunya menyangkut tim koordinasi nasional yang leading sector-nya dikendalikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut Adnan, ini berbeda pendekatannya dengan agenda pemberantasan korupsi pada era SBY.

Masuknya KPK dalam tim dianggap memiliki dampak yang akan berbeda, karena selama ini hasil dari evaluasi upaya pemberantasan korupsi salah satunya dengan pencegahan dianggap tak berjalan.

"Itu dibuktikan dari terjadinya kasus yang sama yang dilakukan aktor-aktor yang berbeda," katanya.

Tapi soal keterlibatan KPK, juga perlu dipertanyakan karena akan mengganggu independensi KPK. Ini karena KPK adalah lembaga independen yang tak sepenuhnya diatur Presiden.

"Pencegahan tak bisa sendirian. Harus berhubungan dengan pihak lain terutama pengendalian pada wilayah eksekutif, itu dimiliki Presiden, tanpa kerja sama dengan eksekutif, lembaga-lembaga independen pemberantasan korupsi bisa menghadapi situasi yang sulit untuk mendorong pencegahan korupsi yang efektif," katanya.

Menurut Adnan, kerja-kerja penindakan dan independensi harus dijaga. Ini harus menjadi karakter utama lembaga independen.

Namun, bila dimaknai semuanya harus independen, pada saat yang sama KPK sendiri tak punya daya paksa untuk meminta adanya perubahan-perubahan yang mendasar dari sistem penyelenggaraan pemerintahan. Itu terbukti dalam banyak kasus korupsi yang terjadi dan identik antara satu kasus dan yang lain.

"Bahkan pernah terjadi sebelumnya tapi terjadi lagi, artinya tak ada pembelajaran untuk mendorong perbaikan yang sistemik, sehingga celah korupsi bisa dikurangi. Kita harus sadar kerja pemberantasan korupsi tak kedap pressure politik, sistem yang baik akan ditentukan aktor politik yang sehat," katanya.

Adnan menambahkan, kondisi politik yang kuat akan sangat membantu upaya percepatan pemberantasan korupsi. Tapi tantangannya ada pada pemerintah. Harus dilihat sejauh mana pemerintah memiliki kepedulian terhadap kerja pemberantasan korupsi.

"Karena sekarang disokong KPK, semestinya kerja-kerja itu jauh lebih efektif. Penting bagi pemerintah mengevaluasi guna mengukur perkembangan kerja pemberantasan korupsi. Selama ini hanya punya KPK, kenapa tak disusun sendiri secara faktual hasil pemberantasan korupsi yang telah dilakukan. Sifatnya setahun sekali dikeluarkan badan independen," katanya.