Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Tak Capai Target, KPK Minta Maaf

Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

VIVA – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode M Syarif minta maaf karena pimpinan KPK belum dapat penuhi target skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia. 

Saat baru dilantik pada akhir 2015, pimpinan KPK jilid IV yang digawangi Agus Rahardjo, Laode Syarif, Alexander Marwata, Saut Situmorang dan Basaria Panjaitan ini menargetkan IPK Indonesia mencapai 50 poin pada 2019.
 
"Saya mau mohon maaf pada rakyat Indonesia. Pada waktu Bu Basaria, Pak Agus dan saya dilantik, setelah dilantik presiden bertemu berenam. Saya yang bicara. Mudah-mudahan karena kami hampir sama mulainya, insya Allah 50," kata Laode kepada wartawan, Rabu 30 Januari 2019.

Namun, target itu meleset. Berdasarkan rilis Transparency International Indonesia (TII), skor IPK Indonesia 38 poin atau hanya naik satu poin dibandingkan tahun 2017 dan 2016, yakni 37 poin.

Laode berharap, pimpinan KPK jilid V yang akan diseleksi tahun ini mampu meningkatkan secara signifikan skor IPK Indonesia. Setidaknya mencapai angka 40. 

Menurut dia, hal ini bisa tercapai jika pimpinan KPK dan pemerintah mendatang fokus membenahi sektor-sektor yang masih mendapatkan rapor merah dari survei yang dilakukan TII. "Kalau kita mau meningkatkan IPK Indonesia lebih baik, semua nilai yang merah itu dinaikkan ke atas," ujarnya.
  
Dalam menyusun CPI Indonesia tahun 2018, TII memakai sembilan sumber data. Terdapat dua sumber data yang menyumbang kenaikan IPK Indonesia tahun 2018, yakni Global Insight Country Risk Ratings dan PERC (Political and Economic Risk Consultancy) Asia Risk Guide.

Sementara lima sumber data memberikan skor stagnan yakni, World Economic Forum, PRS International Country Risk Guide, Bertelsmann Foundation Transform Index, Economist Intelligence Unit Country Ratings, dan World Justice Projects. 

Adapun dua sumber data mengalami penurunan, yakni lMD World Competitiveness Yearbook dan Varieties of Democracy Projects. TII menyebut, sumber data yang stagnan dan turun banyak berbicara relasi antara pebisnis dan politisi.

Komitmen Aktor Politik

Laode mengakui terdapat sejumlah faktor yang membuat KPK sulit mendongkrak skor IPK Indonesia. Terkait korupsi sektor politik misalnya, data dari TII sejalan dengan kasus korupsi yang ditangani KPK. Sekitar 88 persen koruptor yang ditangani KPK terkait dengan aktor politik, mulai dari DPR, DPRD, gubernur, bupati, wali kota dan lainnya. 

Menurut Laode, korupsi di sektor politik sulit diberantas lantaran rendahnya komitmen dan kesadaran aktor politik.
"Seharusnya yang memberi contoh itu adalah aktor-aktor politik tetapi mereka yang merusak itu," ujarnya.

Laode mencontohkan, komitmen dan kesadaran anggota DPRD dalam melapor harta kekayaan. Bahkan, terdapat sejumlah DPRD provinsi seperti Jakarta, Banten, Lampung dan lainnya yang tak satupun anggotanya menyerahkan LHKPN ke KPK.

"Jadi bagaimana mau memperbaiki tapi aktor politiknya tidak memberikan contoh. Yang ditangkap aktor politik dan yang belum ditangkap juga tidak mau lapor LHKPN," katanya.

Laode mengakui kepatuhan melapor harta kekayaan di Indonesia hanya sebatas moral dan belum ada sanksinya. Padahal, di negara lain, penyelenggara negara yang tidak melaporkan harta kekayaan sudah bisa dijerat oleh penegak hukum. 

Soal rendahnya komitmen aktor politik, Laode meragukan komitmen DPR RI untuk memperbaiki regulasi pemberantasan korupsi, termasuk mengenai LHKPN. "Kami meminta DPR perbaiki regulasi antikorupsi, tapi masalahnya kita harus percayakan hal ini kepada mereka yang tidak patuh," ujarnya.

Selain korupsi di sektor politik, masih rendahnya skor IPK Indonesia juga dipicu persepsi korupsi terkait lembaga penegak hukum. Menurut Laode, korupsi terkait aparat penegak hukum bisa dicegah dengan pebaikan sistem rekrutmen, sarana dan prasarana serta gaji yang layak. "Bukan satu-satunya cara bebas korupsi itu meningkatkan gaji, tapi penggajian yang rasional penting," ujarnya. (ren)