Capim Sujanarko Nilai KPK dalam Masa Kelam

Gedung KPK.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Foe Peace Simbolon

VIVA – Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang kini masih menjabat Direktur Jaringan dan Kerja Sama Antar Komisi dan Instansi KPK, Sujanarko, merasa bahwa institusi KPK di bawah kepemimpinan Agus Rahardjo cs sangat mengkhawatirkan. Menurutnya, berbeda dengan kondisi saat dipimpin era sebelumnya.

"Yang pertama yang mau saya sampaikan, secara umum kinerja KPK (periode) 2015-2019 ini memang sangat mengkhawatirkan," kata Sujanarko saat uji publik Capim KPK di Sekretariat Negara, Jakarta, Kamis, 29 Agustus 2019.

Dia mengatakan hal tersebut berdasar indeks persepsi korupsi (IPK) yang diraih saat Agus Rahardjo memimpin. Selama Agus memimpin, menurut Sujanarko, IPK KPK hanya naik satu poin, dari 37 menjadi 38.

"Indikatornya sangat sederhana, selama empat tahun terakhir kenaikan IPK hanya satu, itu bukan kebiasaan kinerja KPK. Karena kinerja KPK itu biasanya dalam satu periode biasanya paling tidak naik lima sampai enam poin," ujarnya.

Bahkan, menurut Sujanarko, dalam peringkat dunia, Indonesia hanya mampu melampaui satu negara saja. Sujanarko menilai, jika kinerja KPK benar, setidaknya Indonesia mampu melampaui puluhan negara dalam empat tahun.

"Bahkan kalau rating dunia, kita loncatannya puluhan negara, 4 tahun terakhir ini kita hanya melompat satu negara dari 90 menjadi 89 (dari 180 negara). Nah kalau ukuran kinerja itu adalah IPK, memang tahun 2015-2019 masa kelam KPK," ujar Sujanarko.

Dia menambahkan, salah satu hal yang membuat IPK tak naik secara signifikan lantaran KPK harus menangani 200 kasus per tahun. Padahal, menurut dia, dalam satu tahun idealnya KPK mengusut 67 sampai 70 kasus saja.

"Dengan 200 kasus itu sebenarnya kompleksitas internal KPK akan luar biasa, bisa dibayangkan penanganan perkara KPK itu tidak hanya libatkan penyelidik, penyidik, maupun penuntut. Kalau kita bicara tentang kasus KPK, itu tentu melibatkan tim pengelola informasi, analisa informasi tim riset dan lainnya, dan itu harus dihitung, saya khawatir dengan 200 kasus per tahun akan mengurangi kualitas yang ditangani, terutama tentang pemulihan aset," ucapnya.