Jadi Stafsus Jokowi, Billy: Saya Anak Miskin, Bukan Privillege

Duta SDGs (Pembangunan Berkelanjutan) Indonesia Billy Mambrasar
Sumber :
  • Istimewa

VIVA –  Tujuh millenial yang diangkat menjadi staf khusus Presiden Joko Widodo, sempat ramai dikait-kaitkan dengan privillege, atau hak istimewa, sehingga mereka bisa duduk di lingkaran Istana. Benarkah demikian?

Gracia Billy Mambrasar (31) membantahnya. Billy adalah salah satu staf khusus yang merupakan putra Papua asli. Ia berasal dari Serui, Kepulauan Yapen Papua. Hidup yang susah, orangtua hanya pekerja lepas dan ibunya penjual kue, membuat dia membantah ada privillege.

"Saya bukan anak dengan privillege. Saya anak miskin dari kampung. Jangan menganggap kami semua anak dengan privillege. Paling utama adalah kami semua fokus membangun negeri ini," tulis Billy dalam akun twitternya @kitongbisa beberapa waktu lalu, seperti dikutip VIVAnews, Minggu 24 November 2019.

Pernyataan Billy itu, menyinggung salah satu tulisan yang diunggah akun lain. Akun itu menyampaikan, staf khusus presiden diangkat karena privillege. Juga menyebut ketujuh millenial itu bukanlah cerminan anak muda dan menjadi tamparan bagi jutaan anak yang tidak memiliki privillege.

Billy kemudian membeberkan bagaimana kisahnya, dari rumah yang tak berlistrik, susah bayar SPP, hingga ia bisa bersekolah di Oxford Inggris. "Tolong baca kisah perjuangan saya di atas untuk memahami bahwa saya anak orang susah," lanjut Billy.

Bahkan mengenai gaji, Billy juga sempat menceritakan bahwa ia sebenarnya menjadi staf khusus bukan lantaran gaji Rp51 juta. Tetapi, karena ia cinta terhadap Indonesia. Bahkan dikatakan Billy, gaji itu tidak seberapa dibanding saat ia bekerja di perusahaan sebelumnya.

"Maaf sekali tapi tuduhan bahwa kami akan bermewah-mewah dengan gaji segitu, jujur, waktu kerja sebagai insinyur di perusahaan migas, gaji saya jauh di atas itu. Saya juga punya company sendiri saat ini dengan penghasilan jauhhh di atas angka itu. Saya terima tawaran stafsus karena saya begitu mencintai Indoenesia," cuitnya.

Anak Penjual Kue

Billy berasal dari keluarga yang kurang mampu di Serui, Kepulauan Yapen, Papua. Sehari-hari, ibunya berjualan kue dan makanan di pasar untuk menghidupi keluarganya. Ayahnya seorang guru. Tak jarang, ia membantu ibunya berjualan kue.

Sebagai penjual kue, ia memiliki semangat pantang menyerah dalam menjual dagangannya. Pasalnya, jika kue tersebut tidak habis maka tidak bisa dijual kembali keesokan harinya. Sisa kue jualan itu, dimakannya bersama saudaranya ketimbang basi.

Rumahnya juga tidak memiliki listrik, sehingga Billy harus belajar menggunakan pelita dan lampu minyak. Meski terbatas, mimpi Billy untuk meraih sukses ternyata tak terbatas. Oleh karena dari keluarga tidak mampu maka dia berusaha untuk berprestasi sehingga bisa mendapatkan beasiswa.

Saat di bangku SMA, ia mendapatkan beasiswa dari Pemprov Papua. Saat itu, hanya anak-anak terbaik dari sembilan kabupaten di Papua yang bisa mendapatkan beasiswa SMA favorit di Jayapura. Billy termasuk salah satunya.

Saat duduk di bangku SMA itu, ia bermimpi bisa menjadi insinyur dan kuliah di kampus teknik. Ia mengaku terinspirasi Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno, yang merupakan mahasiswa teknik sipil dan bersekolah di kampus kulit putih milik Belanda, yakni Institut Teknologi Bandung.

Orang tuanya bilang jika hal itu tidak mungkin tercapai karena tak ada biaya, apalagi sekolahnya di Pulau Jawa, bukan di Papua. Biaya perjalanan juga tidak ada. Singkat cerita, biaya untuk tes masuk terkumpul dan ia berangkat ke Bandung, Jawa Barat.

Akhirnya, ia diterima di kampus itu di Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB. Biaya kuliah didapat dari beasiswa afirmasi dan otsus dari pemerintah.

Saat kuliah, ia kembali berjualan untuk mendapatkan tambahan penghasilan guna bertahan hidup. Padahal, pekerjaan itu sudah ditinggalkannya saat SMA. Ia juga mengamen, menyanyi di kafe dan pernikahan, serta berjualan kue untuk mendapatkan tambahan uang makan dan biaya hidup.

Billy juga pernah diundang untuk magang oleh Pemerintah Amerika Serikat dan berbicara di State Department Amerika Serikat. Dalam kunjungan ke Gedung Putih, ia juga bertemu dengan Presiden Barack Obama.

Pada 2017, ia ditunjuk sebagai utusan Indonesia yang berbicara tentang isu pendidikan di Kantor Pusat Perserikatan Bangsa Bangsa di New York, Amerika Serikat.


Dirikan Yayasan Kitong Bisa
                                                                
Lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan bergengsi mungkin menjadi impian banyak mahasiswa. Akan tetapi, tidak dengan Billy. Lulus kuliah di ITB, ia langsung mendapatkan pekerjaan bergengsi di salah satu perusahaan minyak dan gas asal Inggris.

Namun, meski mendapat pekerjaan dan gaji yang fantastis, hatinya tetap gelisah. Keputusannya bulat, memilih mengurus yayasan yang fokus pada pendidikan anak-anak Papua, Kitong Bisa, yang didirikan pada 2009.

Kitong Bisa mempunyai arti "kita bisa", dengan kata lain semua anak-anak Papua bisa meraih pendidikan meski berasal dari keluarga miskin. Melalui Kitong Bisa, ia ingin memberikan akses pendidikan untuk anak-anak tidak mampu, khususnya di Papua dan Papua Barat. Sejumlah pelatihan keterampilan juga diselenggarakan.

Saat ini, Kitong Bisa melalui usaha sosialnya, mengoperasikan sembilan pusat belajar, dengan 158 relawan dan 1.100 anak. Sekitar 20 dari anak didiknya menempuh ilmu di sejumlah perguruan tinggi ternama dunia. Lainnya ada yang menjadi pengusaha dan juga bekerja di sejumlah perusahaan.

Sumber dana untuk pengoperasian pusat belajar berasal dari dua perusahaan di bawah naungan Kitong Bisa, yakni Kitong Bisa Consulting dan Kitong Bisa Enterprise.

Sekitar 30 persen dari keuntungan kerajinan tangan yang dijual melalui Kitong Bisa Enterprise disumbangkan ke yayasan. Kemudian 10 persen dari pendapatan Kitong Bisa Consulting juga disumbangkan untuk yayasan.

Dengan kiprahnya di Kitong Bisa, Billy akhirnya berhasil meraih beasiswa di Oxford University. Ke depan, dia berharap pemerintah dan masyarakat fokus serta bahu membahu dalam membangun pendidikan di Papua dan Papua Barat, yang disesuaikan dengan konteks geografis dan psikologis masyarakat di wilayah itu.

Hasil pembangunan SDM, tidak bisa terlihat dalam waktu satu tahun dua tahun. Namun, ia optimistis dalam jangka panjang, lima hingga 10 tahun ke depan, upaya mewujudkan Indonesia dengan SDM yang andal, termasuk dari kampung halamannya di Tanah Papua itu akan terasa.