2019, Hampir Setengah Jumlah Perempuan Dilecehkan di Transportasi Umum

Merujuk berbagai survei dan kajian akademis, angkutan umum terus-menerus menjadi tempat yang berbahaya bagi penumpang perempuan. - AFP/GOH CHAI HIN
Sumber :
  • bbc

Sepanjang tahun 2019, nyaris 50% penumpang perempuan mengalami pelecahan seksual di transportasi publik di berbagai kota di Indonesia menurut survei terbaru Koalisi Ruang Publik Aman (KPRA).

Meski terus terjadi, belum ada efek jera yang dinilai membuat pelaku berpikir dua kali. Hukuman di luar proses persidangan dianggap penting untuk menghentikan rantai pelecehan seksual ini.

Monde, perempuan pengguna transportasi umum di Jakarta, mengaku tak bisa melupakan kejadian yang ia sebut menjijikkan.

Suatu kali saat tengah bepergian menggunakan kereta rel listrik (KRL), seorang laki-laki paruh baya mendekatinya. Monde berkata, laki-laki itu melihatnya dengan tatapan penuh nafsu.

"Dia sengaja mendekati saya karena gerbong sebenarnya tidak penuh. Saya langsung pergi, tidak menegurnya."

"Saya hanya balas menatapnya agar dia sadar bahwa saya tahu dia telah melecehkan saya," kata Monde kepada BBC Indonesia di Jakarta, Rabu (27/11).

Menerima perlakuan itu, Monde kemudian melapor ke petugas keamanan yang berjaga di dalam gerbong. Sayangnya, kata dia, pelecehan itu tak sempat diproses karena pelaku kabur.

Walau mendapat pengalaman tak menyenangkan, Monde tak punya pilihan lain. Ia kini tetap berpergian dengan transportasi publik. Monde was-was tapi waspada.

"Sekarang setiap kali naik transportasi umum, saya selalu dalam posisi waspada, itu efek trauma mengalami pelecehan. Saya harus waspada pada setiap risiko keamanan saya," ujarnya.

Monde adalah salah satu responden survei pelecehan seksual di transportasi publik yang dihimpun KPRA.

Jajak pendapat itu melibatkan 62.224 responden. Sekitar 46,8% di antara mereka atau 29.120 perempuan mengaku pernah menjadi korban.

Seperti Monde, 3.325 perempuan mengaku pernah dilecehkan laki-laki yang bermain mata dengannya. Ada juga 1.445 responden yang berkata pernah didekati secara agresif dan terus-menerus.

Pelecehan seksual yang paling marak adalah siulan (5.392 orang). KRPA total mengkategorikan 19 jenis pelecehan, termasuk komentar atas tubuh, diraba, gestur vulgar, digesek dengan alat kelamin, hingga dipertontonkan masturbasi.

Penyedia layanan transportasi bus transit cepat, PT TransJakarta mengklaim telah membuat sejumlah prosedur untuk mencegah dan menangani pelecahan seksual terhadap penumpang perempuan.

Nadia Diposanjoyo, juru bicara perusahaan milik Pemprov DKI itu, menyebut korban bisa meminta bantuan pegawainya hingga menghubungi pusat kontak TransJakarta.

"Pemisahan penumpang sampai saat ini sangat berdampak. Laporan pelecehan seksual sudah jauh lebih berkurang, sekarang lebih tertib," kata Nadia.

"Kalau memang ada kasus, di bus ada petugas layanan bus, kasus bisa mereka tangani. Tapi saat tidak ada siapa-siapa, penumpang di sekitarnya diharapkan bisa menegur atau melaporkan pelaku," tuturnya.

Dalam survei KRPA, pelecehan seksual paling banyak terjadi di bus, yaitu 35,45%. Di peringkat berikutnya adalah angkot (30%) dan KRL (17,79%).

Kementerian Perhubungan mengakui regulasi di sektor transportasi belum optimal mencegah terjadinya pelecehan seksual terhadap penumpang.

Kepala Pusat Pengelolaan Transportasi Berkelanjutan Kemenhub, Ari Widianto, menyebut lembaganya sejauh ini baru fokus terhadap ibu hamil, penyandang disabilitas dan manula.

Setelah publikasi survei ini, Ari berjanji akan berkoordinasi dengan berbagai lembaga advokasi perempuan untuk merumuskan regulasi yang melindungi penumpang perempuan.

"Kami akan merespons data ini, mendorong operator menyempurnakan standar operasional prosedur dan bekerja sama dengan penegak hukum yang dikeluhkan kerap mengesampingkan kasus seperti ini," kata Ari.

"Apalagi sekarang pemerintah berencana membuat omnibus law yang khusus pelayanan kepada masyarakat," tuturnya.

Bagaimanapun Komisioner Komnas Perempuan, Magdalena Sitorus, mendesak pemerintah membuat aturan sederhana yang mudah menjerat dan menimbulkan efek jera pada pelaku pelecehan seksual di angkutan umum.

Menurut Magdalena, aduan ke penegak hukum selama ini terbukti tak dapat memutus mata rantai kasus.

"Data penyedia transportasi harus terintegrasi, kalau pelaku tertangkap harus dicatat nama dan nomor kependudukannya," ujar Magdalena.

"Sebar data pelaku itu ke semua operator bahwa dia pernah melanggar hukum. Hukumannya, misalnya, selama satu minggu dia tidak bisa naik MRT atau bus," ucapnya.

Sebelumnya, kajian Badan Perempuan PBB dan Pulse Lab Jakarta menyebut perempuan sangat rentan menjadi korban kekerasan saat menumpang angkutan umum.

Studi tahun 2017 itu menemukan fakta, kalau pun menjadi korban, para penumpang perempuan enggan melaporkan pelecehan yang mereka alami ke penegak hukum.